TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Eksistensi Tudung Manto, Wastra Desain Paspor asal Kepulauan Riau

Selalu menghiasi tudung kepala ala para bangsawan Riau

Tudung Manto yang dipakai Ketua Dekranasda Kabupaten Bintan (bintankab.go.id)

Provinsi Kepulauan Riau atau yang lebih dikenal dengan Bumi Segantang Lada menyimpan kekayaan wastra Nusantara yang memesona. Salah satunya adalah Tudung Manto yang menjadi selalu hadir sebagai penutup kepala khas Melayu. Tudung Manto berasal dari bahasa Melayu, di mana "tudung" berarti penutup kepala, sedangkan "manto" mengacu pada sulaman atau bordiran dengan benang khusus yang disebut pelingkan.

Konon, kain Tudung Manto biasanya digunakan sebagai pelengkap pakaian adat perempuan Melayu di Kepulauan Riau. Kain ini juga sering dikenakan oleh perempuan yang sudah menikah dan dalam acara adat seperti pernikahan. Meskipun kini kain Tudung Manto sudah bisa dipakai oleh siapa saja, dulunya kain ini memiliki tempat istimewa karena hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan. Kain Tudung Manto ini juga terpilih sebagai salah satu motif wastra untuk desain paspor yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2024, mewakili kain dari Kepulauan Riau. Tertarik dengan berbagai fakta menarik lainnya tentang Tudung Manto? Langsung kepoin artikelnya sampai habis, yuk!

1. Tudung manto telah ada sekitar tahun 1755 silam pada zaman kerajaan Riau Lingga

ilustrasi Kesultanan Riau Lingga tahun 1783 (commons.wikimedia.org/Wikimedia)

Bagi masyarakat Kepulauan Riau, kain tudung manto bukanlah hal yang asing. Tudung manto diperkirakan sudah ada sejak tahun 1755, di era Kerajaan Riau Lingga yang berkuasa di Semenanjung Melayu. Namun, menurut situs Warisan Budaya Kemendikbud, asal-usul penggunaan tudung oleh perempuan Melayu telah tercatat dalam naskah Sulalatus Salatin. Tudung manto diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdullah Muayat Syah, yang memindahkan ibu kota Kerajaan Melayu Johor-Riau ke Pulau Lingga pada tahun 1618 untuk menghindari pengaruh Aceh. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tudung manto baru muncul pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (1722-1760).

Pada masa ini, pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Johor-Riau berada di Hulu Riau, sementara Pulau Lingga dipimpin oleh Megat Kuning, putra Datuk Megat Merah, yang diyakini berasal dari Tanjung Jabung, Jambi. Mereka dikenal sebagai Suku Mantang, Suak, Tambus, dan Nyenyah. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, disebutkan bahwa perempuan Melayu di Daik sudah mengenakan kain penutup kepala yang disebut melayah atau tudung. Kehadiran melayah sebagai penutup kepala diperkirakan sebagai hasil dari enkulturasi dengan budaya Arab dan India.

2. Ciri khas dari kain ini adalah menggunakan benang khusus yang disebut kelingkan

Potret bentuk kain Tudung Manto (facebook.com/Tudong Manto)

Tudung Manto adalah penutup kepala perempuan khas Melayu Kepulauan Riau yang panjangnya sekitar 150 - 200 cm dan lebarnya 70 - 80 cm. Tudung ini dibuat dari kain sifon, kase, sari, atau sutra. Ciri khasnya adalah motif atau hiasan khusus yang disebut genggeng atau kelingkan, yang harus terbuat dari bahan asli dan tidak boleh diganti.

Kelingkan dibuat dari kawat lentur yang menyerupai benang emas atau perak. Jika menggunakan benang emas, maka jarumnya terbuat dari perak. Sementara jika menggunakan benang perak maka jarumnya terbuat dari tembaga.

Baca Juga: 5 Fakta Kain Tenun Corak Insang yang Ada di Desain Paspor Terbaru

3. Warna tudung manto kerap disesuaikan dengan status sosial yang ada dalam masyarakat

Kain Tudung Manto asal Kepulauan Riau (facebook.com/Makka Trip)

Pada masa lalu, warna tudung manto memiliki makna khusus yang terkait dengan status sosial dalam masyarakat. Tudung manto berwarna kuning dikhususkan untuk keturunan sultan atau raja. Sedangkan warna hijau dipakai oleh perempuan bergelar syarifah, tuan said ataupun tengku. Masyarakat umum biasanya menggunakan tudung manto berwarna hitam. Warna-warna lain juga memiliki makna tertentu, seperti warna merah yang dikenakan oleh istri-istri pembesar dan warna putih yang dapat dipakai oleh masyarakat umum. Kemudian, warna biru biasanya digunakan oleh bangsawan Riau dan warna hijau untuk yang bergelar tuan said.

Tudung manto awalnya hanya dipakai oleh perempuan yang telah menikah saat menghadiri acara-acara tertentu, dengan cara pemakaian yang sederhana, yaitu meletakkan tudung di atas kepala dan menjulurkannya hingga ke pipi dan ke bawah. Seiring waktu, penggunaan tudung manto menjadi lebih fleksibel sehingga dapat digunakan oleh siapa saja. Perempuan yang belum menikah mengenakan tudung di leher, sementara yang telah menikah memakainya di kepala. Perempuan yang berstatus janda dapat memilih untuk mengenakan tudung di leher maupun di kepala.

4. Ada beragam motif tudung manto yang sebagian besar adalah sekuntum bunga

Motif Tudung Manto (facebook.com/Makka Trip)

Motif Tudung Manto dapat diklasifikasikan secara sederhana sebagai berikut:

  • Pertama, motif tali air atas dan bawah, yaitu pola berbentuk garis yang terletak di bagian paling ujung kain, mengelilingi kain dan berfungsi sebagai pembatas motif.
  • Kedua, bunga kaki bawah, yaitu motif yang berada di antara tali air atas dan bawah. Beberapa pola yang sering digunakan sebagai bunga kaki bawah meliputi itik pulang petang dan bunga pecah piring, awan larat dan kelok paku, kelok paku dan bunga kangkung, awan larat dan pecah piring, semut beriring, cengkeh dengan kelok paku, serta kelok paku dan bunga kendur.
  • Ketiga, bunga tabur dan bunga pojok. Bunga tabur adalah motif bunga tunggal yang tersebar dengan jarak tertentu di kain. Contoh motif yang digunakan adalah bunga melur, kuntum sekaki, bintang-bintang, bunga cengkeh, dan lainnya. Sedangkan bunga pojok adalah motif yang ditempatkan di keempat sudut tudung dan memiliki bentuk yang lebih beragam, seperti motif kembang setaman, awan larat dengan bunga setandan, dan bunga melur.
  • Keempat, motif bulat kecil atau mutu, yaitu pola berbentuk bulatan kecil yang digunakan untuk mengisi ruang kosong pada tudung.
  • Terakhir, motif hiasan pinggir yang terdiri dari oyah (jalinan benang emas dengan kelingkan yang berbentuk pola ombak), selari (pola ombak yang langsung dibuat menyatu dengan motif tali air bawah), dan jurai (dibuat dari manik-manik).

Verified Writer

Reyvan Maulid

Penyuka Baso Aci dan Maklor

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya