TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perkembangan Fast Fashion di Indonesia, Sudah Menjadi Gaya Hidup?

Dampaknya membahayakan lingkungan, bagaimana solusinya?

ilustrasi limbah tekstil (freepik.com/freepik)

IDN TIMES - Jakarta, Fast fashion telah menjadi fenomena global yang tak terhindarkan, termasuk di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan fast fashion di Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Padahal, jika dilihat, dampaknya sangat membahayakan planet dan lingkungan. Berangkat dari hal ini, Forum Diskusi Denpasar 12 menggelar diskusi bertajuk 'Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan' pada Rabu (17/7/2024) secara daring.

Kini, fast fashion bukan hanya sekadar tren, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Kemudahan akses terhadap mode terkini membuat banyak orang semakin tertarik untuk terus memperbarui penampilan mereka. Yuk, simak di bawah ini bagaimana perkembangan fast fashion, dampaknya, hingga solusi yang bisa diterapkan!

1. Fast fashion itu sulit dihilangkan, karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup

Tangkapan layar acara Forum Diskusi Denpasar 12 menggelar diskusi bertajuk 'Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan' pada Rabu (17/7/2024) secara daring. (IDN Times/Nisa Zarawaki)

Fast fashion telah menyatu dengan gaya hidup modern, membuatnya sulit dihilangkan dari keseharian masyarakat. Salah satu alasan utamanya adalah kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan oleh industri ini dalam mengikuti tren mode terkini. Konsumen dapat dengan cepat memperbarui penampilan mereka dengan pakaian yang selalu up-to-date.

Chief Brand Officer Akademi Femina sekaligus pengamat gaya hidup, ⁠Petty S Fatimah, mengatakan, "Berpakaian itu sebenarnya salah satu bentuk dari gaya hidup. Gaya hidup ini merefleksikan minat seseorang atau sekelompok orang. Saat berbicara gaya hidup itu bermacam-macam, salah satu consumption pattern, ini mungkin yang paling berkaitan dengan fast fashion. Pola konsumsi seseorang akan sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dia."

Selain itu, kemajuan teknologi dan e-commerce telah memperluas aksesibilitas, memungkinkan siapa saja untuk membeli pakaian baru hanya dengan beberapa klik di ponsel mereka. Hal ini terutama berlaku bagi generasi muda yang cenderung lebih responsif terhadap perubahan tren dan media sosial. 

"Fast fashion itu kan gak bisa dihilangkan, apalagi di tengah kondisi media sosial seperti ini. Kebutuhan untuk tampil, salah satunya dari busana, itu dari remaja hingga dewasa," kata Indrastuti, Wartawan Media Indonesia.

2. Di sisi lain, produksi pakaian menjadi proses yang 'jahat' terhadap lingkungan

Tangkapan layar acara Forum Diskusi Denpasar 12 menggelar diskusi bertajuk 'Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan' pada Rabu (17/7/2024) secara daring. (IDN Times/Nisa Zarawaki)

Di balik popularitas fast fashion, tersembunyi dampak lingkungan yang serius dan mengkhawatirkan. Proses produksi pakaian dalam industri fast fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar pencemaran lingkungan. Mulai dari penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pewarnaan kain, pembuangan limbah industri ke sungai-sungai, hingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik.

"Industri pakaian menyerap air bersih dalam prosesnya dan pewarnaannya juga, pemutihannya juga berbahaya untuk lingkungan, terutama pada sungai-sungai. Untuk produksi rayon pun, itu kan diperlukan beberapa pohon," ujar Arimbi Heroepoetri, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI.

Belum lagi jika kita berbicara tentang penggunaan pakaian yang berkelanjutan. Hal ini sulit ditemukan pada produksi fast fashion. Karena umumnya jenis pakaian ini digunakan hanya 1-3 kali pakai saja. Asri Hadiyanti Giastuti, Perencana Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas pun menyoroti hal ini. Ia menyebutkan, konsumsi manusia semakin meningkat dengan adanya gaya hidup. Ibaratnya dari 100 persen konsumsi, pada tahun 2022 hanya 8,6 persen yang berkelanjutan, sisanya dibuang.

Ia melanjutkan, "angkanya terus menurun setiap tahunnya, di tahun 2023 jadi 7,2 persen. Penggunaan material yang tidak berkelanjutan ini berkontribusi pada 70 persen emisi gas rumah kaca global dan 90 persen hilangnya keanekaragaman hayati global."

Aryenda Atma, Founder & CEO PT. Daur Langkah Bersama (Pable), juga menyebutkan hal yang serupa. Menurut data di lapangan yang sudah Pable kumpulkan, gak heran jika akhirnya limbah tekstil kita sangat tinggi. Pable pernah mendatangi salah satu brand fashion nasional dan mendapatkan fakta bahwa 1 bulan saja minimal ada 245 ton limbah perca yang dihasilkan. Lantas, ke mana larinya limbah itu? belum ada yang tahu. Lalu, jika melihat UMKM fashion saja, itu setidaknya ada 500kg limbah perca yang dihasilkan.

Baca Juga: 5 Upaya Sederhana Menghindari Dampak Buruk Fast Fashion

3. Fast fashion juga memungkinkan manusia hanya menggunakan pakaian 1-3 kali saja, sisanya dibuang

ilustrasi fast fashion (freepik.com/freepik)

Fast fashion mendorong perilaku konsumsi yang berlebihan dan pendekatan 'sekali pakai' terhadap pakaian. Dengan koleksi baru yang dirilis setiap beberapa minggu, konsumen tergoda untuk terus membeli item-item terbaru untuk tetap mengikuti tren mode. Akibatnya, banyak orang hanya mengenakan pakaian mereka satu hingga tiga kali saja sebelum membuangnya atau membiarkannya tertimbun di lemari.

"Di sisi lain, ketika jumlah pakaian bertambah, tapi kan jumlah masyarakatnya mungkin tidak sebanding. Rata-rata manusia itu cenderung membuang pakaian setelah pemakaian 7 kali, mungkin ada juga yang kurang dari 7 kali. Padahal di dalam membuat pakaiannya ini resource-nya cukup tinggi, dari sisi air dan material. 3 dari 5 pakaian ini berakhir di TPA. 3 terbuang dan hanya 2 yang mungkin masih digunakan atau di-recycling," tutur Asri.

Asri juga menambahkan, Indonesia termasuk dalam 10 negara penghasil tekstil terbesar di dunia. Tahun 2023, PDRB sektor industri dan pakaian mencapai 275,68 ribu miliar. Sampah tekstil di Indonesia 2,3 juta ton per tahun yang hanya 12 persen didaur ulang. Sisanya dibakar atau menumpuk TPA.

"Sepengalaman saya, kebanyakan itu memang jarang dibuang ke TPA, biasanya dihibahkan atau dijadikan kain lap di rumah. Mungkin sekarang belum terlihat sebagai limbah atau sampah, tapi mungkin beberapa tahun lagi bisa menjadi bom waktu terkait tekstil ini," lanjutnya.

4. Bagaimana dengan thrifting, apakah bisa menjadi solusi?

Ilustrasi thrifting (pexels.com/Liza Summer)

Thrifting, atau membeli pakaian bekas, telah muncul sebagai salah satu alternatif yang dianggap lebih berkelanjutan dalam menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh fast fashion. Thrifting menawarkan cara untuk memperpanjang umur pakaian yang masih layak pakai. Namun, beberapa waktu lalu, thrifting ini sempat dipermasalahkan. Lantas, bagaimana posisi thrifting sebagai solusi sustainable fashion?

"Thrifting itu sebenarnya gak apa-apa, tetapi yang terjadi di Indonesia itu sebenarnya impact dari begitu banyaknya barang bekas yang mayoritasnya malah berbentuk sampah. Thrifting sendiri sebenarnya bagian dari sirkular fashion untuk memperpanjang usia baju. Tapi sekarang di kita, thrifting itu jadi melampaui batas, karena yang datang itu barang-barang sampah," kata Petty.

Hal serupa disebutkan oleh Asri, jika dilihat dari industri, sebenarnya thrifting ini menjadi kurang efektif. Apalagi sekarang penjual membelinya dalam bentuk bal yang besar. Gak jarang bal tersebut berisikan pakaian kurang layak pakai dan akhirnya menjadi sampah. Bisa dikatakan, thrifting ini mungkin bisa menjadi solusi. Dengan catatan, pakaian yang dijual memang layak pakai, bukan malah mengumpulkan lebih banyak sampah.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya