TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hukum Badal Haji untuk Orang yang Sudah Meninggal

Ada kondisi dan syarat tertentu

Ilustrasi jemaah calon haji Indonesia (IDN Times/Umi Kalsum)

Haji merupakan salah satu rukun Islam. Bagi orang yang sudah memenuhi syarat, maka diwajibkan untuk pergi haji. Adapun syarat yang dimaksud berupa fisik, ilmu, serta mampu secara ekonomi. Ibadah haji biasanya dilaksanakan pada bulan Syawal, Zulqaidah, dan Zulhijjah.

Dalam Islam, dikenal istilah badal haji atau menggantikan proses pelaksanaan haji orang lain. Termasuk menggantikan haji untuk orang yang sudah meninggal dunia. Lantas, bagaimana dalil dan hukum badal haji untuk orang yang sudah meninggal?

1. Orang yang hajinya boleh digantikan

Suasana Jamaah Haji di depan Ka'bah, Masjidil Haram, Makkah (IDN Times/Umi Kalsum)

Menurut situs resmi Kemenag Bali, ada kondisi yang memungkinkan seseorang boleh diwakilkan hajinya. Hal tersebut tercantum juga dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab dari Imam Al-Nawawi. Ada dua orang yang diperbolehkan hajinya digantikan oleh orang lain.

Pertama, orang yang ketika hidup sudah memiliki kewajiban dan nazar untuk berhaji, tetapi sudah meninggal terlebih dulu. Kedua, orang yang memiliki kewajiban berhaji (sudah mampu secara finansial), namun fisiknya gak mampu. Misalnya, orang yang sakit dan gak kunjung sembuh atau orang tua dengan kondisi renta. Maka, dua golongan itu diperbolehkan untuk digantikan hajinya oleh orang lain.

Baca Juga: Apa Itu Badal Haji? Berikut Pengertian, Hukum, dan Syaratnya

2. Hukum menghajikan orang yang sudah meninggal menurut Mazhab Syafi’i

ilustrasi ibadah haji (pexels.com/mjlo)

Dilansir NU Online, permasalahan ini merupakan kasus fikih yang kerap diperdebatkan para ulama. Hal tersebut pernah dibahas juga oleh Mazhab Syafi’i. Menurut Mazhab ini, badal haji boleh dilakukan jika orang yang akan menggantikannya sudah haji bagi dirinya sendiri. Jadi, gak boleh hukumnya menggantikan haji orang lain jika kita sendiri belum haji.

"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi saw mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: 'Labbaika dari Syubrumah.' Beliau pun meresponsnya dengan bertanya: 'Siapa Syubrumah?' Laki-laki itu menjawab: 'Saudara atau kerabatku.' Nabi tanya lagi: 'Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?' Orang itu menjawab: 'Belum.' Nabi pun bersabda: 'Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah,'" (HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih)."

Dari hadis di atas, Mazhab Syafi’i menegaskan bahwa kita harus haji terlebih dahulu sebelum menggantikan haji orang lain. Apabila nekat melakukannya, maka ibadah haji tersebut tetap menjadi haji bagi dirinya sendiri.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya