TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Aturan Tak Tertulis Tentang Sikap Mengalah, Jangan Mau Diperalat!

Mengalah bukan berarti rela ditindas

ilustrasi mengalah (pexels.com/Liza Summer)

Untuk meredam konflik dan perselisihan, terkadang kita perlu mengalah dengan orang lain. Tidak ada perlawanan berarti saat mereka menyudutkan. Boleh-boleh saja menerapkan sifat mengalah, asal tidak kebablasan.

Kamu perlu mematuhi beberapa aturan tentang sikap mengalah. Karena di sini menyangkut wibawa dan integritas diri. Membiarkan orang lain berbuat sewenang-wenang, justru merugikan diri sendiri. Berikut enam aturan tak tertulis tersebut, pastikan kamu mematuhinya.

1. Mengalah bukan berarti mengorbankan diri

ilustrasi kelelahan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Mengalah memang diperlukan agar permasalahan tidak semakin meruncing. Setidaknya, emosi dan kemarahan lebih cepat redam. Di sisi lain, mengalah juga ada batasan yang perlu diperhatikan.

Ingat, mengalah bukan berarti mengorbankan diri. Kamu berhak mempertahankan kebahagiaan dan keberhasilan. Mengorbankan diri dalam waktu berkelanjutan bukan bentuk sikap mengalah. Namun, sengaja merusak kehidupan yang sudah tertata.

2. Sikap mengalah harus melihat situasi dan tempat

ilustrasi mengalah (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Mungkin kamu tipe orang yang tidak ingin berkonflik dengan orang lain. Suasana tanpa permasalahan jauh lebih menenangkan. Saat berhadapan dengan perselisihan, lebih memilih mengalah walaupun menjadi pihak yang terpojok.

Kamu tidak bisa mengalah secara asal. Karena ada beberapa aturan tidak tertulis  yang wajib diperhatikan. Dalam mengalah perlu melihat situasi dan tempat. Jangan terus-terusan mengalah untuk orang yang tidak tahu diri.

Baca Juga: 3 Alasan Mengalah Bukan Tanda Kamu Lemah

3. Mengalah tidak bisa dilakukan secara berkelanjutan

ilustrasi mengalah (pexels.com/Cottonbro studio)

Mengalah untuk sekali waktu mungkin masih bisa diwajarkan. Tindakan ini dinilai efektif meredam perselisihan. Tapi pada kenyataannya seseorang mengalah secara berkelanjutan. Termasuk rela mengumpankan diri sebagai orang yang menanggung konsekuensi.

Sikap demikian ini tidak bisa disebut mengalah. Aturan dalam mengolah tidak boleh dilakukan secara berkelanjutan.  Bentuk sikap mengalah seperti ini bisa merusak nama baik. Orang lain yang berbuat kesalahan, tapi kamu harus turut menanggung akibatnya.

4. Di samping sikap mengalah juga perlu membangun ketegasan

ilustrasi perempuan tegas (pexels.com/Fauxels)

Sifat mengalah memang dinilai efektif dalam meredakan permasalahan. Tidak ada sikap terpancing apalagi saling berselisih paham. Namun, mengalah bukan soal sikap rela disalahkan. Karena ini menyangkut wibawa dan integritas diri.

Di samping sifat mengalah, juga perlu membangun ketegasan. Jangan biarkan seseorang bertindak sewenang-wenang dalam waktu berkelanjutan. Karena setiap manusia berhak mendapat perlakuan yang baik dan setara.

5. Mengalah bukan berarti rela ditindas

ilustrasi mengalah (pexels.com/Yan Krukau)

Fakta menunjukkan di lingkungan sekitar tidak semua orang berperilaku tulus. Kamu harus siap berhadapan dengan mereka yang suka menindas satu sama lain. Termasuk menempatkan orang lain sebagai bawahan yang berhak diperintah semena-mena.

Perintah secara asal dari orang seperti mereka tidak layak untuk diikuti. Mengalah berbeda halnya dengan ditindas. Jika memang sudah di luar batas wajar, kamu berhak melakukan perlawanan. Orang-orang seperti mereka harus tahu jika tindakannya sudah bertentangan dengan aturan.

Baca Juga: Gak Mau Mengalah? Ini 5 Kerugian dari Superiority Complex!

Verified Writer

Mutia Zahra

Let's share positive energy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya