TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Alasan Orang Suka Mengajak Bertengkar, Ada Inferioritas Terselubung?

Usahakan tak terpancing biar dia ribut sendiri

ilustrasi pertengkaran (pexels.com/Karolina Grabowska)

Kamu yang cinta damai tentu paling malas, kalau harus meladeni seseorang yang seperti gak ada capeknya buat bertengkar. Apa saja dijadikannya alasan buat ribut-ribut. Baik bertemu langsung maupun melalui chat, kalimat-kalimatnya negatif dan akan memancing emosimu. 

Kerjanya marah-marah dan sikapnya menantang semua orang. Dia seperti jagoan yang menunggumu menjawab tantangannya buat cekcok. Perlukah kamu menanggapinya?

Walaupun di awal-awal dirimu gagal menahan emosi, sekarang usahakan buat tampil lebih tenang. Sebab, ketenangan malah akan memenangkanmu darinya. Supaya kamu lebih mudah melakukannya, mari pahami lima alasan berikut ini yang mungkin jadi latar belakang seseorang gemar sekali mengajak bertengkar siapa pun yang ditemuinya.

1. Haus akan perhatian

Ilustrasi bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)

Keinginan untuk lebih diperhatikan sebetulnya tidak salah. Namun, kalau sudah berlebihan serta caranya justru negatif, maka ini menjadi penyebab rusaknya hubungan. Ada perasaan bahwa semua orang harus selalu memperhatikannya.

Kalau tidak, dia seperti anak kecil yang tantrum. Kebutuhannya akan perhatian orang lain amat besar. Sayangnya, ia tak mencarinya dengan cara-cara yang positif melainkan justru mengobarkan pertengkaran. 

Cara positif buat menarik perhatian orang misalnya dengan meraih prestasi serta menjadi sosok yang menginspirasi. Kamu dan orang-orang pun bakal dengan senang hati memperhatikan sosok yang seperti itu. Sedang caper alias cari perhaian yang dilakukan dengan cara buruk tidak perlu diladeni. Ia harus terus belajar mencari atensi publik dengan jalan yang lebih berkelas.

2. Ingin mendominasi hubungan

ilustrasi pertengkaran (pexels.com/Diva Plavalaguna)

Ajakan bertengkar sama seperti ajakan bertarung. Siapa yang paling tahan bertengkar bakal merasa dirinya sebagai pemenang. Ada pula anggapan bahwa orang yang paling banyak serta keras bicaranya sebagai sosok yang berkuasa.

Itulah kemenangan versinya dalam hubungannya dengan orang lain. Kamu gak boleh terpengaruh. Patahkan keinginannya mendominasi hubungan justru dengan sikapmu yang acuh tak acuh. Bagaimanapun juga, ia gak bisa bertarung sendirian.

Selama kamu menolak untuk memasuki arena, ia hanya akan menghardik ruang kosong. Tidak ada lawan bertikai, tak ada kemenangan. Ia gagal mendominasi siapa pun karena dirimu bahkan berada di luar jangkauannya. 

Makin dia bersikap agresif, makin kamu perlu bersikap cuek. Toh, ia tidak akan betul-betul menyerangmu. Dia cuma berusaha memancing emosimu kemudian menunjukkan kekuatannya dengan membantaimu melalui kata-kata. Tetaplah berada di tepian dan cukup menonton sikap uring-uringannya atau tinggalkan bila dirimu tidak tahan.

Baca Juga: 5 Tips Mengatasi Konflik dalam Hubungan Tanpa Bertengkar

3. Menutupi perasaan inferior dengan sikap superior

ilustrasi pertengkaran (pexels.com/RDNE Stock project)

Perasaan lemah, kecil, dan bukan siapa-siapa tidak selalu ditampilkan dalam perilaku malu-malu atau takut. Terkadang inferioritas dalam diri justru keluar dalam bentuk kesan superior. Kamu dapat melihat tandanya lebih jelas dengan memperhatikan orang-orang yang diajaknya bertengkar.

Ia gak bakal berani mengajak ribut orang yang secara status atau usia sedikit saja di atasnya. Bahkan dengan orang yang kedudukannya setara pun tidak. Dia cuma bernyali pada orang yang dipastikan berada di bawahnya dalam sejumlah kriteria. 

Seperti status ekonomi, kedudukan dalam pekerjaan, atau adik-adiknya yang dididik untuk lebih menghormatinya sebagai kakak. Ini pun jika salah satu dari mereka berani balik menghardik, nyalinya pasti langsung ciut. Sikap superiornya tak sungguh-sungguh menggambarkan jiwanya yang pemberani.

Dia hanya berusaha menyembunyikan sisi inferioritasnya. Ketika ia gagal mengajakmu bertengkar, dia merasa amat malu dalam hati. Ia tak ubahnya seorang prajurit bersenjata pedang berkilat, tetapi tidak berdaya buat menembus benteng besar nan kukuh yang bergeming. Bahkan pedangnya yang patah begitu menghantam dinding seketika menunjukkan bahwa ia tak punya kekuatan apa pun.

4. Kemampuannya memecahkan masalah rendah

ilustrasi pertengkaran (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Orang dengan kemampuan problem solving yang rendah pasti mudah merasa buntu kemudian panik sendiri. Dia gagal dalam dua hal sekaligus, yaitu memecahkan persoalan yang dihadapi serta menenangkan diri. Satu-satunya hal yang dapat dilakukannya dengan atau tanpa sadar ialah menularkan rasa frustrasinya pada orang lain. 

Sebagian besar masalah yang dihadapinya akan dijawab dengan kemarahan. Karena dia juga gak mungkin terus marah-marah sendiri, maka ia mulai menyasar orang lain. Ada harapan yang tidak masuk akal bahwa entah bagaimana caranya pertengkarannya dengan siapa pun bisa membantunya menyelesaikan masalah yang sesungguhnya.

Tentu harapannya tidak akan terpenuhi dan justru kian menjauhkannya dari solusi. Pembawaannya berkebalikan dengan orang yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah. Mereka tak akan gampang tersulut emosi apalagi menyulut emosi orang lain sebagai pelampiasan kekalutan pikiran yang dirasakan.

Verified Writer

Marliana Kuswanti

Penulis fiksi maupun nonfiksi. Lebih suka menjadi pengamat dan pendengar. Semoga apa-apa yang ditulis bisa memberi manfaat untuk pembaca. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya