Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Akhir-akhir ini makin banyak orang sadar akan isu lingkungan dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, tren sustainable living atau eco living makin diminati karena dinilai lebih ramah lingkungan.
Bagi kamu yang baru memulai konsep sustainable living, pastinya sedang semangat banget, dong, ya. Hal ini wajar, kok, tapi ada baiknya kamu gak melakukan beberapa kesalahan dalam menerapkannya.
Berikut ini persepsi dan kesalahan umum yang terjadi saat seseorang mulai menerapkan gaya hidup sustainable living. Coba kurangi, kalau bisa jangan dilakukan, ya.
1. Membuat perubahan gaya hidup yang drastis dan berlebihan
ilustrasi makan bersama (pexels.com/olly) Kesalahan umum yang terjadi pada orang-orang yang baru memulai sustainable living adalah membuat perubahan gaya hidup yang drastis dan berlebihan.
Misalnya, kamu langsung membuang semua barang sekali pakai, lalu menggantinya dengan barang reusable. Atau kamu langsung menjadi vegan yang anti terhadap produk hewan karena peternakan menghasilkan jejak karbon yang besar.
Perubahan drastis ini akan berdampak pada keuangan kamu, sebab dirimu bakal lebih boros dengan adanya pergantian perlengkapan di rumah yang lebih ramah lingkungan. Ada baiknya, kamu habiskan dahulu barang lama kamu, ya. Beralihlah dengan bijak!
2. Hanya peduli pada jejak karbon primer
ilustrasi mobil di jalanan (pexels.com/bulat) Jejak karbon merupakan gas emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia. Terdapat dua macam jejak karbon, yakni primer dan sekunder. Contoh dari jejak karbon primer adalah hasil pembakaran bahan bakar fosil atau penggunaan sampah plastik sekali pakai. Nah, jejak karbon inilah yang sering dipandang sebagai penyebab utama dari lepasnya gas emisi.
Namun kamu jangan lupakan jejak karbon sekunder. Jenis karbon ini muncul karena adanya pengolahan suatu barang yang meninggalkan gas emisi. Misal, sepiring makanan yang tersaji di mejamu itu berasal dari pembuatan, pengolahan hingga distribusi yang juga melepas karbon dioksida.
Jadi kamu perlu memastikan sumber dan proses pembuatan dari produk yang kamu pakai, ya. Apakah sudah ramah lingkungan, atau belum? Ada baiknya, kamu kini membeli produk lokal di kotamu. Sebab, produk lokal gak menghabiskan banyak proses kimiawi serta lebih cepat sampai ke tangan konsumen.
Baca Juga: Frugal Living: Patut Diterapkan di Tengah Pamer Kekayaan
3. Kurang percaya diri
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
ilustrasi bekal makan siang (pexels.com/katerina-holmes) Pernahkah kamu merasa kurang percaya diri membawa bekal dan set alat makan ke kantor atau kampus? Akhirnya kamu memilih tidak membawa bekal dan makan di luar, yang mana peralatan makannya berasal dari plastik sekali pakai.
Biasanya kamu sedikit canggung dan tidak nyaman karena lingkunganmu belum mendukung kebiasaan hidup eco-friendly. Kamu khawatir akan penilaian orang di sekitar yang menganggapmu sebagai sok pencinta lingkungan. Sehingga kamu mengurungkan niat untuk memulai perubahan gaya hidup sustainable.
Kamu tidak perlu takut dengan penilaian orang, kok. Ubah sedikit demi sedikit kebiasaan yang meninggalkan banyak jejak karbon. Kamu mungkin saja bisa mengajak dan mengedukasi teman-temanmu tentang pentingnya hidup berkelanjutan.
4. Menolak keberadaan plastik
ilustrasi memilah sampah plastik (pexels.com/julia-m-cameron) Keberadaan plastik menjadi permasalahan lingkungan yang serius karena bahan ini butuh ratusan tahun untuk dapat terurai. Namun, jangan sampai kamu menjadi anti terhadap plastik. Meskipun memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan, plastik sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Plastik punya sifat yang lebih padat, kuat, dan anti air.
Hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan barang sekali pakai. Plastik sekali pakai hanya menambah tumpukan sampah. Tidak masalah jika masih menggunakan produk plastik, asalkan produk tersebut masih digunakan secara terus menerus. Jika suatu saat barang tersebut rusak, kamu bisa mendaur ulangnya kembali. Lalu, mengganti dengan barang yang lebih ramah lingkungan.
Baca Juga: 5 Desa Wisata Indonesia Berkonsep Sustainable Tourism, Green Living!