TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Resensi Novel 'Heaven' Mieko Kawakami, Tipis tapi Membekas 

Sebuah potret bullying di Jepang

novel Heaven karya Mieko Kawakami. (instagram.com/picadorbooks)

Sebuah statistik mencengangkan dirilis National Police Agency (institusi kepolisian nasional Jepang) pada Maret 2023 lalu. Ada 514 anak usia sekolah yang mengakhiri hidupnya sendiri pada 2022. Itu adalah rekor tertinggi sejak data tersebut rutin dirilis sejak 1980. 

Mirisnya, menurut data yang dihimpun The Japan Times, sejak 2007 angkanya relatif stabil di 300-an per tahun. Bullying di sekolah sampai sekarang jadi teori yang dipercaya banyak orang sebagai pemicu utamanya. Berkaca pada statistik terbaru itu, regulasi anti-bullying yang dibuat pada 2013 sepertinya belum menunjukkan dampak signifikan.

Fakta itu yang membuat novel Heaven karya Mieko Kawakami belum kehilangan relevansinya. Pertama kali terbit pada 2009 di Jepang, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris lebih dari satu dekade kemudian. Setebal 150 halaman saja, novel Heaven langsung mampu menjegal beberapa isu perundungan yang patut jadi perhatian. 

Baca Juga: 5 Novel tentang Hubungan Platonik, Manis Tanpa Adegan Eksplisit

1. Fenomena bullying di sekolah lewat kacamata remaja 14 tahun

novel Heaven (instagram.com/europaeditions)

Premis buku ini adalah memotret kehidupan murid SMP yang jadi korban perundungan teman-teman sekelasnya. Ditulis dengan kata ganti orang pertama, Kawakami sengaja tak menyebut nama sang narator. Sebaliknya, nama-nama orang di sekitarnya, termasuk para perundungnya disebut jelas. 

Satu hari, sang narator menemukan sepucuk surat misterius. Sempat diabaikannya beberapa kali, ia akhirnya merespons surat tersebut dan bertemu dengan rekan sekelasnya, Kojima. Sama sepertinya, Kojima juga sasaran empuk para bully di kelas. Lewat pertemuan itu, mereka membentuk koneksi dari persamaan nasib. 

Pada fase ini, Kawakami dengan piawai menciptakan dialog-dialog yang bikin pembaca terenyuh. Meski begitu, terkadang percakapan mereka terasa terlalu filosofis seolah Kawakami lupa bahwa mereka masih berusia 14 tahun. Atau, apakah ini karena kita membaca terjemahan dari bahasa Jepang? 

2. Dialog filosofis mewarnai buku tipis ini 

novel Breasts and Eggs dan Heaven karya Mieko Kawakami. (instagram.com/picadorbooks)

Meski begitu, narasi Kawakami cukup menghipnotis. Rasanya Kawakami berhasil membuat pembacanya ketagihan membolak-balik halaman demi halaman. Momen demi momen disusun rapi dan menawan. Namun, hati-hati dengan beberapa penggambaran adegan bullying-nya yang cukup detail. Untuk beberapa pembaca, bukan tak mungkin adegan tersebut memicu trauma masa lalu. 

Satu hal yang jadi highlight dari buku ini adalah adegan ketika sang narator akhirnya memberanikan diri untuk meminta penjelasan pada salah satu perundungnya. Dengan santai, si perundung menjawab alasan mengapa ia melakukan bullying dan menyasar sang narator. Lagi-lagi, Kawakami membuat percakapan dua remaja 14 tahun tersebut dengan gaya filosofis. Meski dikemas dengan gaya bahasa yang santai ala anak muda, pemikiran-pemikiran sang perundung yang diejawantahkan tetap terasa seperti isi otak orang dewasa ketimbang remaja. 

Baca Juga: 50 Kata-kata Stop Bullying, Ayo Berani Lawan!

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya