TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perjuangan Bidan di Gaza: 60 Persalinan Sehari, Bertaruh Nyawa! 

Ita Muswita bagikan pengalamannya jadi Bidan di Palestina

Dokumentasi Ita Muswita, relawan bidan MER-C saat bertugas di Gaza pada Senin (15/7/2024). (dok. Pribadi/Ita Muswita)

Konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina, berdampak pada seluruh kehidupan masyarakatnya. Termasuk perempuan hamil dan anak-anak yang tumbuh di wilayah tersebut. 

Ita Muswita menjadi bidan perempuan asal Indonesia yang diterbangkan ke Gaza, Palestina selama 74 hari untuk membantu tenaga medis di daerah tersebut. Ia membagikan perjuangannya membantu perempuan melahirkan melalui program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times pada Senin (15/7/24). Simak kisah menyentuh Ita di medan perang dalam artikel ini.

1. Menerima 50 sampai 60 persalinan sehari, hanya diberi waktu istirahat 2 jam

Dokumentasi Ita Muswita, relawan bidan MER-C saat bertugas di Gaza (dok. Pribadi/Ita Muswita)

Ita terbang ke Mesir sebelum masuk ke Wilayah Gaza pada bulan Maret. Ia dan rombongan tak bisa langsung masuk ke wilayah Gaza, perlu menunggu izin dan berbagai pengecekan keamanan.

Setelah berhasil masuk ke Palestina melalui Mesir, Ita ditempatkan di guest house yang ditandai sebagai area hijau atau area yang aman, tidak boleh dijatuhi bom. Selama bertugas sebagai sukarelawan, Ita membantu tenaga medis lokal di salah satu rumah sakit persalinan sebab ia telah menempuh pendidikan kebidanan.

"Karena itu rumah sakit persalinan, dua minggu pertama saya di kamar bedah. Asistensi, operasi kebidanan, seksio sesarea, kemudian setelah minggu ketiga, saya mulai di kamar bersalin yang masyaallah overload. Bisa dibayangin, orang se-Gaza itu lahirannya di situ semua. Jadi pada saat kami dinas, sehari itu 50-60 persalinan normal di situ," tutur Ita. 

Kondisinya serba sulit dan terbatas. Saking ramainya rumah sakit tersebut, setiap ibu yang baru melahirkan hanya diperkenankan beristirahat selama 2 jam untuk kemudian kembali diarahkan ke tenda pengungsian.

Sementara, ibu hamil yang masih dalam proses pembukaan lima dan belum mengalami pecah ketuban diminta untuk menunggu di luar ruang persalinan sambil bersiap. Sebab, fasilitas terbatas sementara pasien membludak. 

2. Kondisi Gaza saat ini: Seperti lorong waktu

Dokumentasi Ita Muswita, relawan bidan MER-C saat bertugas di Gaza (dok. Pribadi/Ita Muswita)

Rutinitas masyarakat di Gaza tentu berbeda dengan keseharian warga di negara lain yang tak berkonflik. Ita gambarkan kehidupan di Gaza selama masa perang seperti tertinggal di masa lalu. Krisis yang sulit sangat bertolak belakang dengan modernitas di dunia luar. 

"Seperti lorong waktu. Saya masuk ke sana, masih ada keledai, karena memang saat itu, transportasi yang paling aman itu, karena gak butuh bensin. Tapi ada kesulitannya dikemudian hari, pakan ternak habis," Ita menambahkan, jika pakan ternak mulai habis, para akan hewan mati, transportasi kembali sulit dijangkau. 

Sementara itu, perbatasan ditutup sehingga bahan bakar minyak atau bensin tidak bisa masuk. Masyarakat di Gaza biasanya mencampur bensin dengan minyak sayur atau minyak biji bunga matahari untuk menggerakan kendaraan.

Setiap pagi anak-anak akan mengantri air sedangkan tenaga medis seperti dokter, perawat, dan bidan pergi ke rumah sakit. Para jurnalis akan bersiap di depan rumah sakit untuk mewartakan informasi. 

3. Tenaga medis seperti keluarga, ibu hamil tidak didampingi suami selama persalinan

Dokumentasi Ita Muswita, relawan bidan MER-C saat bertugas di Gaza (dok. Pribadi/Ita Muswita)

Di Palestina, Ibu hamil yang hendak melahirkan tidak didampingi suami. Biasanya para perempuan berangkat sendiri ke rumah sakit persalinan atau ditemani pihak keluarga perempuan. 

Hal ini membuat tenaga kesehatan harus melibatkan emosi ekstra untuk membuat perempuan percaya dan merasa nyaman, sejalan dengan cerita Ita, "Tenaga kesehatan lokal dalam menerima ibu-ibu, karena sama-sama susah dan di sana dalam melahirkan suami gak boleh mendampingi, jadi kami sebagai tenaga kesehatan menjadi keluarga dia juga, menjadi penolong. Jadi benar-benar ibu-ibu harus kita buat nyaman, ibu-ibu itu percaya penuh ke tenaga penolong, sehingga kita berharap persalinan itu lancar."

Sebagai tenaga sukarelawan dari non governmental organization, Ita hanya bekerja di pagi hari. Ia tidak diperkenankan untuk berdinas di malam hari dan diarahkan untuk kembali ke guest house sebelum malam. Tugas malam hari ditangani oleh tenaga medis lokal yang jumlahnya terbatas.

Di lain sisi, Ita takjub bagaimana mahasiswa kedokteran memiliki semangat tinggi untuk belajar, "Jadi ketika saya ketemu dengan anak-anak kedokteran semester enam, tahun ketiga, itu dalam pertolongan persalinannya itu skill-nya itu bagus banget."

Mahasiswa kedokteran yang ikut terjun langsung ke lapangan, cepat belajar dari para senior sebab situasi darurat yang dihadapi. Keterampilan para pelajar dalam menangani pasien yang sangat baik, transfer knowledge yang cepat dari dokter spesialis, serta ilmu yang didapatkan dalam situasi krisis membuat Ita kagum. 

Baca Juga: Kisah Inspiratif Hanif dalam Menjaga Tanaman Buah Kalimantan

4. Cerita haru Ita menjadi bidan di medan perang, siap ditinggal pergi kapan saja

Dokumentasi Ita Muswita, relawan bidan MER-C saat bertugas di Gaza pada Senin (15/7/2024). (dok. Pribadi/Ita Muswita)

Bertugas di daerah konflik tentu membuahkan perasaan campur aduk. Salah satu pengalaman haru yang tak terlupakan oleh Ita adalah ketika menangani pasien perempuan yang datang tanpa pendampingan suami. 

Kala itu sang ibu sudah memasuki pembukaan 8. Saat hendak dilakukan tindakan, ibu mertuanya yang menemani, membisikkan kalimat dalam bahasa Arab, memohon pertolongan Ita untuk membantu menantunya sebab sang suami baru saja meninggal seminggu lalu.

"Bagi kita menolong persalinan mungkin sudah menjadi rutinitas, tapi ketika saya dikasih tau bahwa yang akan saya tolong seorang janda, melahirkan anak ketiga sementara suaminya minggu lalu baru meninggal, di situ perasaan saya, emosi saya bermain," cerita Ita berlinang air mata. 

Kondisi serupa sering terjadi di Gaza, tutur Ita. Namun masyarakat di sana juga mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang menimpa dirinya dan keluarga. 

"Mereka itu memang seperti sudah siap dengan segala kondisi. Kondisi terburuk pada saat ini menjadi janda dengan punya anak, tinggal di tenda, kemudian dalam kondisi perang dan tidak baik-baik saja," katanya. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya