TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Strategi Justitia Lawan Pasal yang Jadi Sandungan Korban Kekerasan

Pasal-pasal tersebut kurang mendukung korban

KAKG dibantu teman-teman advokat dan lawyer (instagram.com/advokatgender)

Penyelesaian kasus kekerasan seksual tak akan pernah mudah bagi korban. Terlebih, banyak pasal yang justru kurang mendukung. Hal ini diungkapkan oleh Justitia Avila, seorang advokat sekaligus penerima apresiasi bidang kesehatan SATU Indonesia Awards 2022 oleh ASTRA Indonesia.

Avila menjelaskan ternyata banyak korban kekerasan seksual (KS) yang berpikir ribuan kali jika ingin lapor ke polisi. Hal ini dikarenakan rasa khawatir jika laporan tersebut justru bisa membuat dirinya menjadi tersangka. Salah satu contohnya dalam kasus penyebaran konten intim.

Lantas, apa yang sebenarnya harus dilakukan? Berikut beberapa strategi Justitia Avila untuk lawan pasal yang jadi penghambat korban kekerasan seksual.

1. Program pendampingan untuk korban kekerasan seksual

Justitia Avila menerima penghargaan dari SATU Indonesia Awards 2022 (instagram.com/advokatgender)

Avila mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau KAKG pada Juni 2020. Program sosial ini tak hanya memberikan bantuan hukum, tapi juga membantu pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang dialami korban kekerasan seksual selama penyelesaian perkaranya.

Namun, dalam prosesnya ternyata penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan perlakukan khusus dan tidak bisa disamaratakan. Terlebih lagi ada pasal-pasal yang justru bisa jadi bumerang bagi korban.

"Kami berusaha untuk memberikan gambaran komprehensif bahwa ada penyelesaian hukum dan non hukum. Ini penting, karena sistem hukum kita masih sangat tidak mengakomodasi kebutuhan korban, tidak sensitif dengan konten-konten kekerasan seksual,” jelas Avila.

2. Pemulihan secara psikologis menjadi prioritas utama bagi korban

kegiatan KAKG (instagram.com/advokatgender)

Setiap kasus memiliki penanganan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi korban. Avila menjelaskan dalam menyelesaikan kasus harus tahu kapan perlu ke jalur hukum, kapan tidak, dan kapan harus melawan.

"Kalau korban merasa pengin maju dengan pelaporan ke polisi, di situ ada proses tanda tangan surat kuasa, lalu kami akan lakukan laporan ke polisi. Itu tergantung dengan kebutuhan korban,” kata Avila.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan fokus penyelesaian justru kepada kondisi psikologis korban. Dengan begitu, sebelum menempuh jalur hukum, kondisi korban secara mental sudah siap. Jadi, semua itu tergantung dari korban itu sendiri.

“Korban mungkin gak siap langsung penyelesaian hukum, mereka justru pemulihan psikologis dulu," terangnya.

Baca Juga: Kegigihan Justitia Avila Beri Pendampingan Korban Kekerasan Seksual

3. Penyelesaian kasus sering kali berbenturan dengan pasal-pasal

Ilustrasi hukum (pexels.com/CQF-Avocat)

Terkadang, dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual kerap bertabrakan dengan pasal-pasal. Salah satu contohnya adalah kasus penyebaran konten intim. Sebenarnya hal ini sudah diatur dalam UU ITE pasal 27 ayat 1.

Pasal ini kurang lebih berbunyi "Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan". Namun, menurut Avila, gak jarang pasal ini kurang memberi manfaat bagi korban.

“Permasalahan dari pasal tersebut, misalnya, ada korban pacaran sama pelaku dan share foto ke pelaku, padahal niatnya untuk konsumsi pribadi, konsumsi berdua saja. Namun, kemudian disebarkan sama pelaku dan saya melaporkan kasus ini ke polisi. Polisi akan memandangnya ketika korban pertama kali share konten itu kepada pelaku, itu sendiri sudah termasuk ke rumusan pasal," terangnya.

Menurut Avila, pasal itu gak bisa melihat dimensi, karena tujuannya untuk konsumsi pribadi kedua orang itu saja.

4. Korban terkadang ragu membawa kasus penyebaran konten intim ke polisi

Ilustrasi perempuan ragu (pexels.com/Austin Guevara)

Avila menjelaskan, gak sedikit korban yang merasa ragu untuk melapor ke polisi ketika terjerat kasus penyebaran konten intim. Sebab, bisa-bisa korban yang seharusnya mendapat perlindungan, justru berakhir sebaliknya.

“Itu yang membuat bukan cuma KAKG, tapi banyak pengacara yang membantu korban berpikir ratusan kali untuk membawa kasus konten intim ke polisi,” jelas Avila.

Avila melanjutkan, semua itu dikarenakan dalam studi putusan yang ia lakukan, pada akhirnya korban juga jadi tersangka. Ia akan masuk penjara bersama sang pacar yang menyebarkan.

Baca Juga: Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual

Verified Writer

Robertus Ari

Sedang mengetik...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya