Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata Psikolog

Korban bullying dapat menjadi pelaku, tanpa penanganan tepat

Intinya Sih...

  • Kasus perundungan atau bullying semakin marak terjadi di Indonesia, tidak mengenal usia.
  • Perilaku agresif pelaku bullying disebabkan rendahnya self-esteem dan kebutuhan akan pengakuan dari pihak eksternal.
  • Korban bullying cenderung kurang berkembang secara sosial dan memiliki rasa percaya diri yang tidak dibangun dengan baik.

Kasus perundungan atau bullying kian marak terjadi di Indonesia. Menurut American Psychological Assocition, bullying didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dilakukan secara intens dan berulang hingga mengakibatkan cedera fisik maupun perasaan tidak nyaman bagi korban.  

Menariknya, bullying tidak mengenal usia. Bila selama ini perundungan dianggap sebagai aksi abusive yang terjadi pada orang dewasa, ternyata keliru. Anak di bawah umur hingga orang dewasa memungkinkan untuk terlibat dalam perilaku agresif dengan bentuk kontak fisik, kata-kata, dan tindakan lainnya yang merugikan korban. 

Psikolog pendidikan Putri Sari menyebutkan, perundungan ternyata juga banyak terjadi pada anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) berdasarkan penelitiannya. "Selama ini kita menganggapnya, kalau ada anak berantem sekali itu, kita anggap bullying. Tapi sebenarnya, bisa dibilang bullying itu karena terjadi berulang oleh orang yang sama dan korbannya sama."

1. Pelaku bullying membutuhkan pengakuan sosial, di mana pada dasarnya menginginkan status yang lebih tinggi dari teman sebaya

Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata Psikologilustrasi bullying di sekolah (unsplash.com/mpbasham)

Kasus perundungan muncul sebagai respons akan rendahnya self esteem dan empati atau meningkatnya kecemasan, depresi, serta kemarahan dalam diri pelaku. Keterangan tersebut ditulis dalam laman Britannica oleh Robert W Faris sebagai Associate Professor of Sociology at University of California. 

Putri juga menjelaskan sudut pandang yang sama bahwa permasalahan ini dapat timbul karena rendahnya rasa percaya diri pada anak. Anak-anak melakukan perundungan karena membutuhkan validasi atau pengakuan dari pihak eksternal.

"Jadi, kenapa sih anak itu cenderung menjadi pelaku bullying atau korban bullying? Kalau untuk yang pelaku bullying-nya, karena mereka butuh pengakuan dari kita. Mereka butuh untuk dilihat bahwa 'aku ini lebih loh dari yang lain gitu'," jelas Putri. 

Rasa percaya diri tak semata-mata jadi penyebab utama meningkatnya kasus perundungan. Dalam penelitian berbeda yang dipaparkan Robert, pola lain dari kasus perundungan justru muncul dari anak-anak yang memiliki perilaku intimidatif, bahkan merasa memiliki harga diri yang lebih tinggi dari korbannya. Pada dasarnya, para agresor menginginkan status sosial yang lebih tinggi sebagai bentuk pengakuan di antara teman sebaya. 

2. Korban perundungan memiliki sikap percaya diri yang rendah. Bahkan menurut riset, cenderung kesulitan dalam berteman

Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata Psikologilustrasi seseorang yang kehilangan reputasi (freepik.com/freepik)

Jika pelaku perundungan cenderung memiliki sikap agresif, lalu, bagaimana dengan korban bullying? Anak yang menjadi korban perundungan cenderung kurang berkembang atau terisolasi secara sosial dan mengalami kesulitan dalam berteman. Pemaparan tersebut berdasarkan sejumlah penelitian yang disebutkan Robert dalam Britannica.

Putri turut menerangkan dalam kasus perundungan, korban bullying juga memiliki rasa percaya diri yang tidak dibangun dengan baik. Akibatnya, kasus perundungan bergulir secara terus-menerus pada dirinya, tanpa ada kekuatan atau keberanian untuk melawan. 

"Sementara korban bullying, kenapa dia punya kecenderungan untuk jadi korban bullying? Hari ini dikerjain, besok dikerjain lagi, kenapa? Karena dia gak punya rasa percaya diri untuk bisa membela dirinya ke orang yang mem-bully atau orang lain," kata Putri. 

Kasus bullying yang terjadi terus-menerus di sekolah, berimbas pada perubahan perilaku dan demotivasi pada anak. Tanpa adanya social support, utamanya dari orangtua, akan menyebabkan perilaku destruktif terjadi secara berulang. Anak akan menjadi pribadi yang murung, pendiam, dan sensitif bila terlibat dalam kasus perundungan. 

Putri menerangkan, baik perundung maupun anak yang mengalami bullying, seyogyanya memiliki benang merah yang sama, yakni rasa percaya diri,  "Ini berarti kalau kita tarik persamaanya adalah rasa percaya diri," sebutnya.

3. Cegah perilaku agresif dan perundungan dengan meningkatkan rasa percaya diri

Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata PsikologIlustrasi tindakan bullying (pexels.com/Keira Burton)

Penanganan kasus perundungan bukan hanya tugas satu pihak, orangtua, atau guru saja. Akan tetapi, seluruh komponen masyarakat harus berkontribusi menciptakan lingkungan positif.

Dapat dipahami bahwa kasus perundungan muncul akibat rendahnya rasa percaya diri dan self esteem yang kurang baik pada anak. Untuk mencegah perbuatan agresif di kemudian hari, orangtua perlu membangun rasa percaya diri pada si kecil. 

"Gimana cara mencegahnya? Jadi yang pertama adalah memang fokus terhadap pengembangan kepercayaan dirinya anak-anak dulu," ujar Putri seraya menambahkan pentingnya memberi dukungan terhadap potensi anak.

Memahami potensi anak, tidak melakukan penghakiman terhadap perbedaan, dan selalu memberi dukungan optimis akan menumbuhkan rasa percaya diri. Tujuannya supaya anak-anak tidak lagi membutuhkan validasi orang lain maupun 'status' atau 'labeling' dari sekitar. 

"Kalau anak-anak sudah percaya diri, insyaallah dia gak akan jadi pelaku bullying atau korban bullying karena dia akan percaya dengan dirinya sendiri. Dia tahu harus bersikap seperti apa, menempatkan dirinya seperti apa dengan orang lain," tambah Putri 

Baca Juga: 60 Kata-kata Stop Bullying, Ayo Berani Lawan!

4. Saat anak ketahuan terlibat dalam kasus bullying, orangtua perlu berkomunikasi secara terbuka untuk menguraikan masalah tersebut

Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata Psikologilustrasi bullying (pexels.com/Yan Krukau)

Sebuah studi nasional Amerika Serikat mengungkapkan, bullying atau tindakan agresif lain berdampak pada setidaknya 30 persen pelajar SMP hingga SMA. Padahal, masa sekolah menjadi fase penting untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan keterampilan emosional. 

Betul bahwa tindakan pencegahan menjadi bagian penting dalam mengurangi kasus perundungan. Tetapi, langkah represif juga harus dipahami dengan baik. Bagaimana jika seorang anak kedapatan melakukan perundungan atau menjadi korban bullying? 

Orangtua dan guru sebagai pihak terdekat dengan anak, setidaknya peka akan perubahan sikap yang terjadi pada anak. Misalnya, buah hati menjadi pemurung, pendiam, hingga mengalami demotivasi. 

"Pertama, biasanya kalau ini terjadinya di sekolah, yang pertama pasti bertanya dulu sama guru, 'Ini sebenarnya apa yang terjadi?' karena kita melihat dulu dari POV gurunya seperti apa. Nah, kemudian yang berikutnya, tentu konfirmasi ke anaknya. 'Emang yang tadi terjadi itu seperti apa? Kenapa kamu melakukan itu?' karena kadang POV orang beda dengan POV anak kita," disampaikan Putri pada kesempatan sama.

Berkomunikasi secara terbuka menjadi tahap pertama yang diambil oleh orangtua saat si kecil terlibat dalam kasus perundungan. Tanyakan kronologi kejadian dan alasan mengapa anak melakukan tindakan tersebut, tanpa menghakimi. Mungkin ini menjadi insting pertama orangtua, namun cobalah untuk menciptakan obrolan yang nyaman agar anak tak merasa tertekan atau terbebani. 

"Sebenarnya tuh yang bisa dilakukan orangtua adalah hal yang umum, yang sebenarnya klise, semua orang juga pasti tahu caranya, adalah diajak mengobrol baik-baik. Tapi, kunciannya itu sebenarnya adalah di seberapa komunikasi kita bisa baik sama anak," tambah Putri. 

Orangtua yang telah terbiasa mengobrol dengan anak, tak akan mengalami kesulitan untuk mengungkap kronologi maupun mengeksplorasi perasaan anak kala itu. Berkomunikasi memang terdengar klise, namun hubungan orangtua dan anak yang berjarak, akan membuat salah satu pihak merasa kesulitan untuk mengungkapkan sesuatu, bahkan merasa tidak nyaman.

Putri sampaikan pendapatnya menyoal kualitas komunikasi antara anak dan orangtua, "Ini tentang apakah berkomunikasi dengan anak itu menjadi kebiasaan atau gak. Misalnya, hubungan antara orangtua dan anak gak dekat, atau kualitas komunikasinya kurang, gak terbiasa ngobrol, gak terbiasa diskusi, jadi sekali-kalinya ditanya sama orang tua, pasti kan anak jadi langsung defense dong. Tapi, kalau misalnya memang kita terbiasa membangun obrolan yang berkualitas sama mereka, terbiasa memang diskusi, mau kita mengobrol dengan kata-kata yang santai, ya insyaallah anak akan jadi nyaman untuk cuhat atau cerita."

5. Benarkah korban bullying ketika dewasa dapat menjadi pelaku?

Bullying Terjadi karena Anak Butuh Pengakuan Sosial? Ini Kata PsikologIlustrasi gak semangat belajar(pexels.com/Mikhail Nilov)

Meski penanganan bullying terdengar kompleks, namun tindakan preventif diharapkan mampu menjadi langkah konkret mengurangi kemungkinan kasus perundungan di masa mendatang. Sedini mungkin, anak-anak dapat diberi bekal pengetahuan dan keterampilan emosi agar tak melampiaskan sikap agresif kepada orang lain. 

'Sedini' mungkin menjadi penting sebab bullying dapat menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat, tanpa penanganan yang tepat. Anak yang pernah menjadi korban perundungan, sangat mungkin jadi perundung di kemudian hari. Begitu sebaliknya bagi pelaku. 

"Kalau di psikologi, kita bisa bilang ada yang namanya trauma atau emosi yang dipendam. Nah, kalau misalnya si emosi ini dipendam ketika kecil, terus ada sesuatu yang nanti men-trigger emosi ini untuk muncul, bisa aja (terjadi bullying)," kata Putri. 

Sejalan dengan hal tersebut, Putri juga menilai emosi yang terpendam tanpa penanganan yang baik, berpotensi untuk terealisasikan di masa mendatang. Misalnya, ketika si kecil pernah jadi korban bullying, orangtua atau guru akan mengenali kasus tersebut. Maka ketika tumbuh besar, kemudian bertemu dengan anak yang dianggap lesspower daripada dirinya, akan ada kemungkinan anak me-recall memori yang dulu dan melancarkan aksi perundungan. 

"Tapi, kalau waktu kecil dia menjadi korban, terus ketahuan sama guru atau orangtua, diajak mengobrol dengan baik. Emosinya di-maintain dengan baik untuk dilepaskan, diarahkan untuk menjadi sesuatu yang positif. 'Oh, iya kamu pernah kayak gini. Gimana perasaannya?'. Jadi, harapannya justru ketika dia melihat orang lain yang jadi korban. Dia malah gak cuma jadi bystander, tapi dia bisa membantu karena dia tahu perasaannya," tutup Putri. 

Baca Juga: 5 Cara Atasi Konflik Ibu dan Anak Akibat Berbeda Pandangan, Calm Down!

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya