TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kelebihan dan Kekurangan dalam Sharenting, Orangtua Wajib Tahu!

Coba lakukan dengan bijak jika memang diperlukan

ilustrasi bonding time antara anggota keluarga (pexels.com/timamiroshnichenko)

Sharenting atau kebiasaan berbagi informasi tentang anak-anak di media sosial telah menjadi fenomena yang semakin umum di era digital ini. Meskipun banyak orangtua melihatnya sebagai cara yang alami dan tidak berbahaya, namun fenomena ini membawa sejumlah kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan secara serius.

"Sharenting dilakukan ketika orang tua atau pengasuh lainnya yang terlibat dalam perawatan anak membagikan tahap perkembangan anak di platform media sosial," kata Gabrielle Usatynski, seorang konselor profesional berlisensi dan pendiri Power Couples Education, dilansir Parents.

Sharenting dapat menjadi cara efektif untuk membangun komunitas orangtua yang saling mendukung dan berbagi pengalaman. Namun di sisi lain, sharenting juga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi anak dan keamanan online. Agar jadi orangtua yang lebih cerdas dan teliti, cari tahu lebih dalam tentang kelebihan dan kekurangan dalam sharenting melalui artikel berikut.

1. Adanya koneksi dan dukungan sosial

ilustrasi keluarga mutigenerasi (pexels.com/askarabayev)

Orangtua yang sering membagikan tumbuh kembang anak di media sosial mungkin memiliki berbagai alasan mengapa mereka melakukan sharenting. Kelley Kitley, seorang terapis yang berbasis di Illinois, dilansir Parents, menyatakan, sebagian orangtua yang melakukan sharenting cenderung menghadapi kesulitan untuk berbagi kesusahan atau menerima umpan balik secara langsung dari lingkungan sekitarnya.

Sebab lainnya, mungkin orangtua yang melakukan sharenting, tidak memiliki teman sejawat yang juga berstatus orangtua di sekitarnya. Atau, mereka jarang bersua dengan keluarga, sehingga bagi mereka, berinteraksi secara online dengan kemudahan yang ada dianggap memiliki dampak yang signifikan.

"Kemampuan untuk terhubung dan tetap berkomunikasi dengan teman dan keluarga dalam dunia di mana orang semakin tinggal jauh satu sama lain adalah salah satu hal positif yang bisa dihasilkan dari sharenting," kata Laura Anderson Kirby, PhD, seorang psikolog klinis dari Lauren Turner Brown, Ph.D., PLLC, dan penulis buku anak "Henrietta’s Thistleberry Boots, dilansir Verywell Mind.

Seseorang dapat mengakses berbagai pendapat dari banyak orang, bukan hanya satu sudut pandang. Menurut Kitley, kemungkinan besar setidaknya setengah dari partisipan tersebut akan memberikan dukungan kepada orangtua yang mencari pertolongan atau berbagi pengalaman.

2. Rekaman kenangan

ilustrasi bonding time antara anggota keluarga (pexels.com/timamiroshnichenko)

Bagi beberapa orangtua, sharenting menjadi cara untuk merekam dan menyimpan kenangan keluarga. Posting foto di media sosial dapat berfungsi sebagai catatan digital yang dapat diakses kembali di masa depan. 

Ditambah lagi dengan kamera yang selalu siap untuk mengabadikan momen-momen berharga si kecil, sering kali orangtua memotret tanpa berpikir panjang.Tidak jarang, tanpa ragu-ragu, orangtua dengan senang hati meluangkan waktu untuk berbagi kenangan ini melalui media online.

"Berbagi di media sosial memberi kita cara menghargai atau menikmati pengalaman dengan bonus mendapatkan validasi sosial," kata Pamela B. Rutledge, PhD, Direktur di Media Psychology Research Center, dilansir Mother.ly.

"Berbagi juga bisa menjadi cara untuk membuat pengalaman sebagai orangtua terasa normal dan merasa seperti melakukan hal-hal dengan benar. Ini menguatkan identitas sebagai orangtua," lanjutnya.

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Orangtua Harus Memberikan Kepercayaan pada Anak

3. Menunjukkan sisi apa adanya dalam parenting

ilustrasi orang tua dan anak bermain bersama (pexels.com/gustavofring)

Kitley mencatat bahwa sebelumnya banyak orang merasa tertekan karena membandingkan kehidupan mereka dengan keluarga lain yang terlihat selalu melakukan hal-hal menyenangkan dan berkesan. Namun, sekarang beberapa orangtua menggunakan media sosial untuk menunjukkan bahwa di balik foto keluarga yang bahagia, sering kali ada momen kesulitan dan kekacauan yang tidak terlihat.

Hal ini dianggap sebagai cara untuk mengurangi stigma dan memberikan dukungan emosional, sehingga orangtua merasa lebih nyaman dengan kenyataan bahwa tidak ada yang sempurna. Ini juga menunjukkan bahwa orangtua tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan dalam mengemban tugas merawat anak.

4. Masalah keamanan identitas

ilustrasi ibu dan anak bermain laptop di tempat tidur (pexels.com/olly)

Jejak digital anak-anak sering kali dimulai sejak mereka lahir, ketika orangtua mengambil foto dan membagikannya di media sosial bersama dengan informasi pribadi seperti nama lengkap dan tanggal lahir. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperkenalkan anak kepada teman dan keluarga di lingkaran sosial orangtua.

Meskipun niatnya baik, kegiatan ini juga dapat meningkatkan risiko pencurian identitas pada anak-anak. Menurut Security.org, 14 persen orangtua melaporkan bahwa anak-anak mereka pernah mengalami pencurian identitas.

Pencurian identitas ini dapat memiliki dampak negatif pada anak-anak dalam jangka pendek, seperti kerugian finansial jika mereka memiliki akun keuangan. Tindakan orangtua dalam membagikan informasi pribadi anak di media sosial dapat menjadi faktor risiko besar dalam keamanan identitas anak di masa depan.

"Pencurian identitas merupakan risiko bagi anak dalam jangka pendek karena dapat berdampak negatif pada kredit mereka. Ditambah jika mereka memiliki akun keuangan, ini dapat mengakibatkan kerugian keuangan," kata Aliza Vigderman, seorang analis dan penyunting senior Security.org, dilansir Parents.

"Dalam jangka panjang, kredit yang rusak dapat menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan, pinjaman, dan tempat tinggal," lanjutnya.

5. Mengekspos anak kepada predator

ilustrasi seorang anak menangis (pexels.com/yankrukov)

FBI telah mengeluarkan peringatan mengenai penculikan yang terkait dengan media sosial. Namun, saat ini ada bentuk penculikan yang berbeda yang dikenal sebagai penculikan digital. Aliza Vigderman menjelaskan, bahwa situasi ini terjadi ketika seseorang mengambil gambar seorang anak dan mengunggahnya di platform media sosial milik mereka sendiri.

"Orang asing akan menggunakan foto seorang anak dan mempostingnya seolah-olah itu adalah anak mereka hanya untuk mendapatkan like dan komentar," ujar Vigderman.

"Seorang pedofil mungkin menyukai penampilan tertentu dari seorang anak, sehingga mereka mengambil wajah tersebut dan menyatukannya dengan gambar lain yang mereka temui secara daring dari gambar pelecehan seksual anak-anak," kata Signy Arnason, direktur Cypertip.ca yang berbasis di Winnipeg dan dioperasikan oleh Canadian Centre for Child Protection, dilansir National Post.

Dilansir laman yang sama, sebuah studi berdasarkan tinjauan terhadap hampir 152.000 laporan ke Cybertip menemukan hampir 80 persen gambar dan video yang melibatkan pelecehan seksual terhadap anak-anak melibatkan anak-anak di bawah 12 tahun. Mayoritas berusia di bawah delapan tahun.

Foto-foto ini menampilkan anak-anak yang melakukan hal-hal tampak normal, seperti seorang balita bermain dengan truk. Jadi, berhati-hatilah ketika mengunggah anak di media sosial.

Baca Juga: 6 Cara Mendidik Anak Agar Suka Memberi, Orangtua Wajib Tahu!

Verified Writer

Shasya Khairana

expecto patronum

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya