TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

8 Sikap Orangtua yang Bikin Anak Kesal, Lucu Bagimu tapi Tidak Baginya

#IDNTimesLife Gak cuma ulah teman yang bikin anak menangis

ilustrasi ayah dan putrinya (pexels.com/Oleksandr P)

Biasanya anak menangis saat bermain dengan teman sebayanya. Ada sikap kawan yang dirasa kurang menyenangkan baginya. Tapi gak cuma sikap teman saja yang bisa membuat anak merasa kesal. Perilakumu dan pasangan juga dapat bikin anak tidak suka. Kalau anak marah pada orangtua malah lebih sulit ditenangkan daripada saat dia menangis ketika bermain dengan teman.

Anak kehilangan rasa percaya terhadap orangtua sehingga bujukanmu tidak digubrisnya. Maka lebih baik mencegah anak bad mood karena tindakanmu atau pasangan yang kurang memperhatikan dampak terhadap psikisnya. Bahkan jika kalian hanya bermaksud bercanda, di mata anak mungkin tampak serius. Hindari delapan sikap di bawah ini kalau gak mau anak mengambek.

1. Mengambil uang di celengannya tanpa bilang

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Artem Podrez)

Celengan anak kadang malah lebih penuh daripada dompet orangtua. Anak lagi senang-senangnya menabung. Suatu hari, kamu ada kebutuhan mendesak tetapi repot kalau mau mengambil uang dulu di ATM. Atau, dirimu cuma butuh uang receh buat beli sesuatu dan di celengan anak ada banyak.

Maka kamu mengambilnya dengan pemikiran simpel nanti akan diganti. Tapi saat dirimu lupa dan anak terlebih dahulu mengetahui isi celengannya berkurang, dia pun marah sekali. Kamu sudah melanggar kepemilikannya. Berapa pun uang yang dirimu pinjam tanpa izin, buat anak sangat berarti. Anak kesal karena kamu seakan-akan merasa lebih berhak atas celengannya.

2. Mentertawakan tingkahnya yang lucu

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Ron Lach)

Orang dewasa sering secara refleks mentertawakan setiap perilaku anak yang tampak lucu. Termasuk saat anak salah bicara karena belum mengerti banyak kosakata. Namun, apa yang terasa menggelikan bagimu ternyata bisa melukai hati anak. Dia gak lagi bermaksud melucu sehingga responsmu yang tertawa keras malah membuatnya sebal.

Bagi anak, rasanya seperti ia sedang dipermalukan di depan banyak orang. Apalagi bila sifatnya lebih sensitif daripada anak-anak yang lain. Memang ada anak yang malah suka sengaja memancing tawa orang dewasa di sekitarnya. Tapi ada juga anak yang menyamakan tawa orangtua atas perilakunya dengan ejekan. Anak yang malu berat karena ditertawakan biasanya akan menangis.

3. Memanggil dengan panggilan yang tidak disukainya

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Antoni Shkraba)

Tak jarang orangtua sendiri yang menciptakan nama panggilan yang kesannya lebih ke arah negatif, seperti olok-olok. Misalnya, panggilan Kriwil untuk anak yang rambutnya keriting atau Ndut buat anak yang tubuhnya berisi. Segera setelah anak mengetahui arti nama panggilan itu tentu dia akan merasa rendah diri. 

Seharusnya orangtua memanggilnya dengan nama yang baik. Untuk apa ia diberi nama panjang yang bagus dan selalu ditulis di sekolah, tapi di rumah malah dipanggil begitu oleh orangtua? Menyebalkannya lagi, anak tidak bisa seenaknya balas memanggil orangtua dengan sebutan yang buruk biar adil. Ini membuatnya merasa diperlakukan dengan semaunya sendiri oleh orangtua. 

4. Terlalu banyak membicarakannya dengan guru atau teman-temannya

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/RDNE Stock project)

Kadang orang dewasa lupa rasanya menjadi anak-anak. Anak diperlakukan seakan-akan tidak tahu segalanya sehingga bakal cuek saja ketika dirinya dijadikan bahan pembicaraan. Padahal, anak juga punya perasaan seperti orang dewasa. Bahkan perasaannya lebih sensitif karena belum memahami konteks serta tujuan pembicaraan.

Ketika orangtua terlalu banyak membicarakan anak dengan guru serta teman-temannya, rasanya seperti saat kamu digunjingkan. Pasti dirimu juga merasa tidak nyaman bila berada di posisinya. Apalagi kamu membahas hal-hal yang menurut anak memalukan seperti sifat manjanya di rumah. Kalaupun dirimu perlu berkonsultasi dengan gurunya tentang beberapa kelemahan anak, lakukan tanpa sepengetahuannya.

Baca Juga: 5 Tips bagi Orangtua dalam Memilih Kurikulum Terbaik untuk Sang Anak

5. Selalu menyebutnya masih kecil

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Юлия)

Di mata orangtua, anak yang sudah dewasa pun bisa selamanya dianggap sebagai anak kecil. Apalagi anakmu yang memang masih berusia di bawah 10 tahun atau malah masuk SD saja belum. Akan tetapi, terus-menerus mengatakan dia masih kecil bisa terkesan meremehkan. Walaupun itu kenyataan, anak kadang ingin dianggap sudah besar.

Alih-alih selalu bilang ia masih kecil, kamu dapat menggantinya dengan nanti kalau dia sudah lebih besar lagi. Dengan begitu, anak merasa sekarang pun ia sudah dianggap besar. Tapi masih kurang besar untuk sesuatu, seperti main sendiri ke rumah teman. Anak akan lebih mau bersabar menunggu saat itu tiba ketimbang jika dirimu selalu mengingatkannya tentang betapa kecil dirinya.

6. Kamu dan pasangan tiba-tiba berhenti bicara saat anak muncul

ilustrasi keluarga (pexels.com/RDNE Stock project)

Jika isi percakapan memang gak layak untuk didengar anak, pandai-pandailah mencari tempat dan waktu buat membahasnya dengan pasangan berdua saja. Misalnya, ketika anak sudah tidur atau sedang bersekolah. Bila kalian mendadak berhenti mengobrol saat anak mendekat, ia merasa sama gak nyamannya dengan kalian.

Anak punya sifat ingin mengetahui segalanya, apalagi terkait kedua orangtuanya. Dia akan cemas hingga merasa tersisih jika orangtua tidak memberitahukan apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan. Kalau kamu bilang itu urusan orang dewasa dan anak yang masih kecil tak perlu tahu, ia malah tambah kesal. 

7. Membandingkannya dengan kakak atau adik

ilustrasi ayah dan putrinya (pexels.com/George Pak)

Rasa persaingan di antara saudara memang nyata. Bahkan dalam hal-hal kecil di keseharian mereka. Contohnya, siapa yang dinilai sebagai anak yang paling rajin atau pintar. Anak yang dinilai kurang dibandingkan dengan saudaranya akan merasa patah hati. Penilaianmu yang lebih tinggi terhadap saudaranya juga dimaknai oleh anak sebagai dirimu lebih menyayanginya. 

Meski maksudmu membandingkan mereka hanya supaya anak mencontoh perilaku baik saudaranya, pesan itu justru kurang sampai padanya. Anak lebih cepat merasa marah daripada mampu mencerna tujuan orangtua. Jika kamu ingin menasihati anak, langsung ke perilaku yang dikoreksi dan harapanmu seperti apa. Gak usah membandingkannya dengan anak lain atau memintanya mencontoh adik atau kakaknya.

Verified Writer

Marliana Kuswanti

Penulis fiksi maupun nonfiksi. Lebih suka menjadi pengamat dan pendengar. Semoga apa-apa yang ditulis bisa memberi manfaat untuk pembaca. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya