Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Pendidikan jadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua untuk anaknya. Saat ini, ada cukup banyak pilihan metode pendidikan yang tersedia, salah satunya adalah Waldorf Education atau metode pendidikan Waldorf yang mulai banyak diperbincangkan.
Lantas, apa itu Waldorf Education dan apa saja kekurangan serta kelebihannya? Biar gak penasaran, yuk simak pemaparan lebih jauhnya di bawah!
1. Pengertian Waldorf Education
ilustrasi anak bermain sepak bola (pexels.com/Lukas) Waldorf education pertama kali dikembangkan oleh filsuf Austria, Rudolf Steiner, pada 1919 silam. Sekolah ini gak hanya akan fokus pada aspek akademik saja, lebih jauh dari itu metode yang diterapkan akan berfokus pada perkembangan anak seutuhnya. Di sini, anak akan dilatih perkembangan emosional, spiritual, serta fisik secara seimbang.
Samantha Cosentino, direktur pemasaran di San Francisco Waldorf School, dilansir US News, mengungkapkan, lingkungan belajar di sekolah ini sering kali meluas ke luar ruangan dan menerapkan pembelajaran dan keterlibatan langsung dengan alam. Anak akan dilatih kreativitasnya, ekspresi diri, hingga keterampilan praktis.
"Ruang kelas Waldorf adalah ruang yang aman di mana pengajar dan staf menghormati kepolosan dan imajinasi anak usia dini. Mereka akan mendukung tahap pertumbuhan, rasa ingin tahu, dan empati anak sekolah dasar yang sedang berkembang, serta menginspirasi kapasitas dan keterlibatannya," ujar Cosentino.
Baca Juga: 5 Alasan Sex Education Sulit Diterapkan di Indonesia, Masih Tabu!
2. Sistem pendidikan Waldorf Education
ilustrasi pelajar yang aktif di kelas (pexels.com/Yan Krukau) Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Sistem pendidikan yang diterapkan dalam sekolah Waldorf cukup berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sekolah ini lebih mengutamakan alam dibandingkan teknologi. Sehingga, dalam praktiknya siswa mungkin akan belajar di alam dengan menekankan pada seni dan imajinasi. Di tahun-tahun pertama, siswa belum akan belajar membaca atau menulis, melainkan lebih banyak mendengar cerita.
Anak akan mulai belajar bahasa dengan menggunakan metode eurythmy, yakni melalui gerakan yang biasanya diiringi piano di ruangan besar. Nancy Hoose, guru taman kanak-kanak, dikutip NY Times, memaparkan, lewat gerakan tersebut akan muncul suara yang menampilkan nada dan perasaan musik serta ucapan.
Di sekolah Waldorf, guru-guru didorong untuk bisa lebih memahami dan berpartisipasi dalam perkembangan setiap anak. Lingkungan belajarnya dibuat lebih personal, sehingga bisa menciptakan hubungan yang kuat antara guru dengan anak dan anak dengan anak.