5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!

Pernahkah kamu merasa idemu diremehkan?

Pernahkah kamu merasa kesal saat idemu ditolak mentah-mentah? Atau, kamu pernah merasa curiga dengan ide orang lain, hanya karena kamu tidak menyukainya? Nah, ada kemungkinan kamu mengalami Reactive Devaluation, lho.

Reactive Devaluation adalah bias kognitif yang membuat kita cenderung meremehkan usulan dari pihak lain, terutama jika pihak tersebut dianggap negatif atau antagonis. Fenomena ini bisa terjadi dalam berbagai situasi, mulai dari konflik interpersonal hingga negosiasi politik.

Meskipun Reactive Devaluation mungkin terdengar rumit, tapi sebenarnya fenomena ini cukup sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah lima fakta menarik tentang Reactive Devaluation yang mungkin belum kamu ketahui. Yuk, simak!

1. Reactive Devaluation memengaruhi keputusan di tempat kerja

5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!ilustrasi prasangka (pexels.com/Mikhail Nilov)

Di lingkungan kerja, bias ini dapat menyebabkan kita menolak ide yang baik hanya karena datang dari seseorang yang tidak kita sukai atau hormati. Hal ini dapat menghambat kolaborasi dan memperburuk konflik di tempat kerja.

Misalnya, jika seorang karyawan mengusulkan solusi untuk masalah yang telah lama berlangsung, tetapi karyawan tersebut memiliki reputasi yang buruk atau hubungan yang tegang dengan rekan kerjanya, usulan tersebut mungkin akan diremehkan atau ditolak, meskipun itu bisa membawa perubahan positif.

Ini dapat mengakibatkan peluang yang terlewatkan untuk kolaborasi dan pemecahan masalah, serta mempertahankan konflik di tempat kerja dan mengurangi kekompakan tim.

2. Reactive Devaluation dapat menghambat negosiasi politik

5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!ilustrasi politisi (pexels.com/Werner Pfennig)

Dalam diplomasi internasional, Reactive Devaluation dapat membuat negara-negara meremehkan proposal yang dibuat oleh negara rival, meskipun proposal tersebut bisa menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya, dalam konflik yang berkepanjangan seperti di Jalur Gaza, peneliti telah menerapkan teori Reactive Devaluation untuk memahami resolusi konflik antara Israel dan Palestina.

Ketika proposal perdamaian yang sebenarnya diajukan oleh Israel disajikan kepada peserta Israel sebagai berasal dari sumber Palestina, mereka menilainya lebih rendah daripada jika mereka diberitahu (secara benar) bahwa proposal identik tersebut berasal dari pemerintah Israel.

Baca Juga: 6 Tips Bijaksana di Usia Muda, Hindarkanmu dari Keputusan Keliru

3. Reactive Devaluation terkait dengan konsistensi diri

5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!ilustrasi kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Salah satu faktor yang menyebabkan Reactive Devaluation adalah keinginan untuk mempertahankan citra diri yang konsisten. Kita cenderung menolak usulan yang tidak sejalan dengan pandangan atau sikap kita yang sudah ada. Ini dapat dilihat dalam eksperimen di mana pejalan kaki di AS ditanya apakah mereka akan mendukung program pengurangan senjata nuklir bilateral yang drastis.

Jika mereka diberitahu proposal tersebut berasal dari Presiden Ronald Reagan, 90% mengatakan itu akan menguntungkan atau adil bagi Amerika Serikat. Jika mereka diberitahu proposal tersebut berasal dari sekelompok analis kebijakan yang tidak ditentukan, 80% menganggapnya menguntungkan atau adil.

Namun, jika responden diberitahu itu berasal dari Mikhail Gorbachev, hanya 44% yang menganggapnya menguntungkan atau netral bagi Amerika Serikat.

4. Reactive Devaluation memiliki dampak sistemik

5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!ilustrasi kerja (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Bias kognitif ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada sistem dan institusi. Dari negosiasi antara pekerja dan manajemen hingga konflik global, Reactive Devaluation dapat memiliki konsekuensi yang mengubah hidup. Tendensi irasional ini menjadi tertanam dalam psikologi institusional dan konflik skala besar.

Negosiasi antara buruh dan manajemen membentuk upah, kondisi kerja, dan keuntungan perusahaan. Bahkan lebih jauh, negosiasi antara negara-negara yang berperang menentukan nasib banyak orang. Dengan demikian, hambatan untuk negosiasi seperti Reactive Devaluation dapat memiliki konsekuensi yang mengubah hidup.

5. Reactive Devaluation dipengaruhi oleh kehilangan aversi

5 Fakta Reactive Devaluation, Fenomena di Mana Ide Ditolak Mentah!ilustrasi berbincang (pexels.com/lexander Suhorucov)

Kehilangan aversi, atau rasa takut kehilangan sesuatu, adalah faktor psikologis yang kuat yang dapat memperkuat Reactive Devaluation. Ketika kita dihadapkan pada usulan yang mungkin mengakibatkan perubahan atau kehilangan, insting pertama kita adalah untuk meremehkannya, bahkan jika perubahan tersebut pada akhirnya menguntungkan. Ini karena otak kita secara alami lebih sensitif terhadap potensi kerugian daripada keuntungan yang setara.

Dalam konteks bisnis, misalnya, seorang pemimpin mungkin menolak strategi baru yang diusulkan oleh pesaing, bukan karena strategi itu buruk, tetapi karena takut kehilangan posisi pasar yang sudah ada. Ini bisa terjadi meskipun strategi tersebut mungkin memberikan keuntungan jangka panjang atau membuka peluang baru yang belum dieksplorasi.

Reactive Devaluation adalah fenomena psikologis yang kompleks dan sering tidak disadari. Dengan memahami lebih dalam tentang bias ini, kamu dapat belajar untuk mengidentifikasi dan mengatasinya, sehingga dapat membuat keputusan yang lebih objektif dan adil. Semoga bermanfaat!

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Kamu Sering Mengambil Keputusan Salah, Apa Saja?

Muhamad Aldifa Photo Verified Writer Muhamad Aldifa

Menulis di saat senggang

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi

Berita Terkini Lainnya