Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDM

Berpotensi perluas jurang kesetaraan gender

Dengan AI yang terus mengambil alih, pekerja perempuan merupakan pihak yang 1,5 kali lebih terdampak oleh adanya adopsi AI dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Menurut laporan dari McKinsey Global Institute, jenis pekerjaan perempuan yang paling terpengaruh oleh AI adalah mereka yang berprofesi di bagian administratif dan penjualan.

Sementara di Indonesia, data dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2022, pekerja perempuan paling banyak bekerja di bidang penjualan, dengan persentase sebesar 28,44 persen dari seluruh pekerja perempuan.

Sejalan dengan ini, laporan dari IMD World Competitiveness Center (WCC) menjelaskan bahwa AI juga mengancam lapangan pekerja yang bergantung di pekerjaan yang bisa diotomatisasi. Lebih lanjut, laporan IMD juga mengungkap pengaruh adopsi AI dapat memperburuk adanya pengurangan karyawan, peningkatan ketimpangan, dan diskriminasi kerja. 

1. AI ancam pekerja perempuan, terutama di negara maju

Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDMilustrasi ilmuwan perempuan (unsplash.com/National Cancer Institute)

Data ILO menunjukkan perbedaan gender ternyata memberi dampak berbeda akibat implementasi AI dan otomatisasi pekerjaan. Pasalnya, pekerja perempuan di negara maju (7,9 persen) lebih terdampak otomatisasi pekerjaan dengan AI ketimbang laki-laki (2,9 persen). Sementara di negara berkembang, perempuan  (2,7 persen) pun lebih terdampak AI ketimbang pria (1,3 persen).

Berdasarkan penelitian dari McKinsey Global Institute, sejalan dengan tingkat pendidikan, adopsi AI juga berdampak lebih tinggi bagi para pekerja perempuan karena jumlah perempuan tanpa gelar sarjana dianggap tidak proporsional untuk mengisi pekerjaan tingkat pemula yang kemungkinan besar akan paling terpengaruh oleh otomatisasi.

“Beberapa negara memiliki sistem pendidikan yang sangat baik, tetapi gagal mempersiapkan SDM mereka dan menarik talenta asing berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja,” jelas Arturo Bris, Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC), berdasarkan rilis yang diterima IDN Times.

Pekerjaan otomatisasi di antaranya seperti asisten administrasi, pegawai ritel, dan personel keuangan sudah mengalami pemutusan hubungan kerja. Tidak berhenti di situ, tren ini juga dapat meningkat seiring dengan penggunaan AI secara lebih luas dan merata di berbagai sektor.

Belum lagi karena adanya kesenjangan gender di bidang ekonomi, sudah menjadi fakta umum bahwa rata-rata perempuan memiliki penghasilan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, memperburuk pekerja perempuan yang profesinya berpotensi digantikan oleh AI.

2. AI berpotensi menggantikan karyawan di negara berpendapatan tinggi

Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDMilustrasi stres kerjaan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Selain pekerja perempuan, AI juga berpotensi menggantikan para karyawan di negara berpendapatan tinggi. Berdasarkan Riset Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), PBB menunjukkan bahwa AI akan mengubah sebanyak 5,5 persen pekerjaan di negara berpendapatan tinggi dan kurang dari 0,4 persen di negara berpendapatan rendah. Hal ini pun terjadi karena negara berpendapatan rendah masih memiliki akses teknologi yang masih terbatas, yang juga membutuhkan perhatian lebih.  

IMD juga melakukan riset yang mencakup para eksekutif di 67 negara, dan 12 persen di antara mereka mengaku AI telah menggantikan sebagian pekerjaan untuk mengurangi jumlah karyawan. Sementara sebanyak 7 persen eksekutif berpikir bahwa AI menyebabkan karyawan membatasi kerja pada batas minimum (quiet quitting) atau bahkan memilih pensiun dini. Data ini pun memperjelas urgensi adopsi AI di perusahaan-perusahaan yang masih perlu ditekan. 

3. Adopsi AI untuk SDM juga meningkatkan diskriminasi bagi para pekerja

Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDMilustrasi menulis di laptop (pexels.com/Anna Shvets)

Pada penelitian yang dilakukan oleh IMD, responden yang berpikir "AI akan menggantikan karyawan" ternyata menunjukkan ketakutan mereka mengenai peningkatan diskriminasi. Hal ini digambarkan dengan bagaimana AI memperdalam celah diskriminasi gender di dunia kerja, terutama bagi para pekerja perempuan yang masih belum memiliki gelar sarjana.

Tentunya, peningkatan diskriminasi ini dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan adopsi AI yang berdampak mengurangi daya saing SDM suatu negara, hal ini pun akan mengurangi ketertarikan tenaga kerja asing berkualitas untuk masuk dan bekerja di negara yang diskriminatif. Lebih lanjut, korporasi besar yang menggerakan ekonomi negara pun akan kesulitan mendapatkan variasi SDM dan talenta yang dibutuhkan.

Baca Juga: 4 Risiko Jika Kamu Sering Menunda Pekerjaan, Rentan Stres!

4. Terdapat beberapa cara untuk mengatasi adopsi AI dalam membangun SDM andal

Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDMilustrasi seseorang yang sedang mengoperasikan laptop (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Di China misalnya, cara untuk melawan adopsi AI dapat dilakukan dengan meningkatan produktivitas tenaga kerja, mendistirbusikan modal, dan menyempurnakan pembagian kerja dapat dilakukan melalui pengenalan robotika. Sehingga, alih-alih menganggap bahwa teknologi robotika merupakan musuh para pekerja, teknologi ini dapat berdampak kepada ekonomi secara lebih positif, daripada menyingkirkan para SDM di pasar tenaga kerja.

Adapun cara lain yang berasal dari Singapura juga dapat dicontoh. Untuk melawan adopsi AI yang merugikan, Singapura melanggenggkan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan tenaga kerja secara lebih optimal agar dapat menyesuaikan kualitas setiap SDM dengan talenta yang dibutuhkan di dunia kerja. Tidak hanya itu, sistem pendidikan yang mumpuni di Singapura juga memiliki peranan besar dalam menyiapkan SDM, mempersiapkan generasi agar lebih melek mengenai perkembangan teknologi terbaru

5. Bisakah risiko adopsi AI diminimalisasi untuk tidak terlalu berdampak kepada para pekerja perempuan?

Pekerja Perempuan Riskan Bersaing dengan AI, Ancam Daya Saing SDMilustrasi pekerja perempuan (pexels.com/Polina Tankilevitch)

Sebagai kaum yang paling terdampak, tentunya diperlukan pernyataan untuk menjawab bagaimana adopsi AI dapat diminimalisasi. Untuk meresponsnya, Darrel M. West selaku peneliti senior di Pusat Inovasi Teknologi mengemukakan, bahwa adopsi AI dapat dilakukan secara keseluruhan oleh para pembuat kebijakan, pemimpin bisnis, dan innovator teknologi yang harus peka terhadap urgensi adopsi AI di pasar tenaga kerja.

Untuk itu, ia pun menyarankan bahwa dengan seiring berkembangnya teknologi, semua unsur pemerintah perlu merancang perlindungan pekerja yang tepat agar perubahan tenaga kerja tidak merugikan perempuan atau orang-orang yang rentan lainnya.

Dengan mencontoh pemerintah Singapura yang sigap dan responsif dalam menyiapkan SDM, negara-negara lain, terutama Indonesia, perlu memasukkan perkembangan teknologi ke dalam kurikulum, menjadi cara untuk menyiapkan SDM dari dasar agar dapat bersaing secara lebih optimal.

Baca Juga: 6 Aktivitas Seru Sore Hari untuk Pekerja Kantoran, Lepas Penat! 

Topik:

  • Muhammad Tarmizi Murdianto

Berita Terkini Lainnya