Review Film Flux Gourmet: Paduan Horor, Satire, dan Seni Kuliner

Film yang menentang status quo dunia perfilman saat ini   

Saat dunia perfileman mainstream didominasi dengan film superhero atau film franchise kemukaan, masih ada, lho, alternatif film yang patut kamu tonton. Film tersebut tentu mengandung elemen seni yang mengungkap misteri dan layak untuk kamu tonton. 

Seperti halnya film dari Peter Strickland, sang sutradara ikonik asal Inggris yang memilih untuk melawan arus mainstream. Strickland bekerja dengan kebebasan imajinasinya tanpa batasan apapun. Dia membawa jati dirinya dalam Flux Gourmet, sebuah film horor satir artistik yang menentang status quo dunia perfilman saat ini. Tayang 24 Juni lalu, mari simak review film Flux Gourmet. 

1. Sinopsis

https://www.youtube.com/embed/oHraElR_v60

Flux Gourmet menceritakan tentang sebuah band Sonic Cathering Collective yang memiliki tiga personil, Elle di Elle (Fatma Mohamed), Billy (Asa Butterfield), dan Lamina Propria (Ariane Labed).

Band ini memproduksi koleksi suara yang berasal dari makanan dan proses memasak, contohnya seperti ASMR. Mereka memenangkan kesempatan untuk tinggal selama 3 minggu di sebuah asrama bernama Sonic Catering Institute yang dikepalai oleh Jan Stevens (Gwendoline Christie).

Proses pembuatan karya mereka sedari awal hingga akhir didokumentasikan oleh seorang jurnalis bernama Stone (Makis Papadimitriou) yang memiliki gangguan pencernaan sehingga membuat perutnya selalu berbunyi dan sulit menahan kentut. Gangguan pencernaan Stone justru menimbulkan ide dalam benak Elle di Elle, ia kemudian berinisiatif untuk menjadikan penyakit Stone tersebut sebagai bahan karya untuk suara kolektifnya. Horror dimulai dari sini, tidak ada sensor terhadap kengerian yang dilakukan oleh ketiga orang ini kepada Stone.

2. Sinematografi yang kontras dengan alur ceritanya

Review Film Flux Gourmet: Paduan Horor, Satire, dan Seni KulinerPoster Flux Gourmet (ifcfilms.com)

Flux Gourmet benar-benar film yang mindblowing. Pemilihan backsound dan voice over-nya berlawanan dengan nuansa film yang komikal dan colorful ala film komedi fiksi tahun 1970-an. Selain visualisasi yang unik, jalan ceritanya juga menarik, dengan tema artistik yang dieksekusi dengan baik.

Sekilas, mengingatkan kita dengan sinematografi pada film horror garapan A24 yakni Midsommar, yang mengusung tone cerah dan terang benderang, sangat berbanding terbalik dengan backsound serta narasinya yang mencekam, lalu dikemas dengan sentuhan gore yang disturbing.

Flux Gourmet memang bukan film yang ‘ringan’, banyak adegan yang terlalu maniak dan mengganggu, namun bagi para penikmat body horror, tentu film ini wajib banget masuk watchlist kalian. Film ini sedikit banyak bikin kehilangan selera makan, jadi kurang cocok untuk tipe penonton yang harus nyemil sambil nonton.

3. Koprofagia dan kanibalisme

Review Film Flux Gourmet: Paduan Horor, Satire, dan Seni KulinerMakis Papadimitriou sebagai Stone yang akan menjalani colonoscopy dalam Flux Gourmet (dok. ifcfilms/flux gourmet)

Familiar dengan istilah kolonoskopi? Kolonoskopi adalah prosedur pendeteksi kelainan pada bagian usus besar dan rektum, prosesnya dilakukan dengan memasukkan sebuah selang yang memiliki kamera kecil dan dimasukkan ke dalam tubuh melalui anus. Dokter kemudian dapat mengetahui luka dan penyakit pada rektum dan usus besar melalui layar yang menampilkan hasil tangkapan kamera pada selang kolonoskop.

Kebayang gak kalau proses tersebut ditayangkan secara live dan disaksikan oleh banyak orang melalui layar besar, macam nonton bioskop? Ya, pada Flux Gourmet terdapat cuplikan adegan ketika Stone (Makis Papadimitriou) yang memiliki masalah pencernaan menjalankan kolonoskopi bersama Dr. Glock (Richard Bremmer). Kolonoskopi tersebut kemudian ditayangkan live dan disaksikan oleh banyak orang. 

Para penonton kolonoskopi yang menjijikan tersebut adalah para penderita Sindrom Pica, yaitu seseorang hanya tertarik memakan sesuatu yang bukan makanan, seperti makan pensil, sabun, daging manusia, bahkan kotoran manusia atau hewan. Sebutan spesifik bagi kelainan pemakan kotoran makhluk lain adalah koprofagia. 

Baca Juga: [REVIEW] MADiSON—Horor Psikologis dengan Segudang Teka-teki Menantang

4. Karakter yang eksentrik

Review Film Flux Gourmet: Paduan Horor, Satire, dan Seni KulinerFatma Mohamed sebagai Elle di Elle dalam Flux Gourmet (dok. ifcfilms/flux gourmet)

Mari kita resapi sebuah keunikan dari nama-nama personil band Sonic Cathering Collective ini, Elle di Elle (baca: LDL),  Billy Rubin, dan Lamina Propria. LDL sendiri merupakan nama ilmiah dari kolestrol jahat, bilirubin merupakan zat pemberi warna merah pada darah, dan Lamina Propria adalah jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung kolagen. Dapat, kan, satirnya?

Selain nama, fashion style mereka juga cukup nyentrik ditambah dengan wajah tanpa ekspresinya (deadpan). Kemudian Jan Stevens yang diperankan oleh Gwendoline Christie yang juga berperan dalam serial Game of Thrones ini, menampilkan fashion gotik yang flamboyan dengan sentuhan kemewahan royal. 

Masing-masing karakter mendapat spotlight-nya sendiri, keunikan dari masing-masingnya terpapar dalam film dan tidak berat sebelah. Disamping keanehan dan twist pada narasi film ini, penonton tetap akan dibuat hanyut oleh keunikan percakapan mereka yang dibumbui humor satir dan image yang diusung oleh masing-masing pemerannya.

5. Definisi surrealisme yang sebenarnya

Review Film Flux Gourmet: Paduan Horor, Satire, dan Seni KulinerPertunjukan band Sonic Catering Collectives dalam Flux Gourmet (ifcfilms.com)

Banyak yang miskonsepsi dengan definisi kata “surreal”. Visual unik dan surreal memang memiliki persamaan namun intinya berbeda. Surrealisme merupakan penggambaran suatu objek yang tidak rasional, seperti dalam mimpi atau alam bawah sadar, misalnya pulau yang melayang, kuda dengan badan manusia, dan lain-lain. Gambar surrealisme memberikan suatu makna yang dalam dan bukan sekadar coretan abstrak biasa.

Dalam film ini salah satunya adalah lokasi Sonic Catering Institute. Terletak pada suatu lokasi terpencil yang tidak diberi penjelasan latar tempat dan waktunya tersebut merupakan contoh visualisasi yang surreal. Sangat make sense dan akan dimengerti seiring berjalannya waktu film.

Peter Strickland merupakan sosok jenius dan absurd. Namun di balik itu semua, ia memiliki perspektif berbeda dalam membawakan narasi filmnya. Hasilnya? Film yang rilis selalu berhasil menuai decak kagum.

Setelah membaca review film Flux Gourmet, kalian bisa melihat karya lain dari Strickland antara lain Berberian Sound Studio, The Duke of Burgundy, dan In Fabric. Bisa dijadikan referensi watchlist terbaru kalian, terutama bagi yang sudah bosan dengan jenis film itu-itu saja.

Baca Juga: Review Film Horor Incantation, Kutukan yang Mendarah Daging

Tamara Puspita Ayu Photo Verified Writer Tamara Puspita Ayu

I write what i know & know what i write

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya