The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwards

Tampilkan visual megah di balik bujetnya yang tak fantastis

Rasanya tak berlebihan jika menyebut 2023 sebagai tahun kembalinya para sutradara berbakat. Setelah Kelly Fremon Craig (Are You There God? It's Me, Margaret.), Gerard Johnstone (M3GAN), Rob Marshall (The Little Mermaid), dan Greta Gerwig (Barbie), kali ini giliran Gareth Edwards yang kembali setelah sukses dengan Rogue One: A Star Wars Story (2016) 7 tahun silam.

Lewat karya terbarunya yang berjudul The Creator (2023), sineas kelahiran Warwickshire, Inggris 48 tahun silam tersebut menggebrak lewat kisah peperangan antara manusia dan kecerdasan buatan. Bermodalkan visual megah seperti yang ditampilkan dalam trailernya, mampukah film fiksi ilmiah yang tayang sejak Rabu (27/9/2023) di bioskop Indonesia ini menjadi sebuah epic comeback bagi sang sutradara?

Sebelum melangkahkan kaki ke bioskop terdekat, ada baiknya kamu menyimak lebih dulu review film The Creator di bawah ini. Meski ada beberapa kekurangan, film ini mempunyai beberapa poin positif yang membuatnya sayang untuk dilewatkan, lho!

Baca Juga: 5 Alasan Film The Creator Wajib Ditonton, Visualnya Juara

1. Angkat kisah perlawanan terhadap AI yang relate dengan dunia nyata

The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwardsadegan dalam film The Creator (dok. 20th Century Studios/The Creator)

Belakangan ini, kamu pasti sering mendengar pemberitaan mengenai semakin canggihnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). Namun, meski sebagian besar orang takjub dengan kabar tersebut, rupanya tak sedikit pula yang mengkhawatirkan dampak negatif di baliknya. Salah satunya yakni ancaman kehilangan pekerjaan akibat digantikan oleh AI.

Seolah terinspirasi, Gareth Edwards mencoba menerjemahkan kengerian tersebut dalam The Creator. Alkisah, AI yang seharusnya membantu manusia malah berbalik menyerang, sehingga menimbulkan peperangan selama belasan tahun. Akibatnya, dunia pun terbagi menjadi dua kubu: barat, yang mendukung penghapusan AI dengan mendirikan pasukan khusus bernama Nomad, dan timur—di sini disebut Asia Baru—yang percaya bahwa AI tak ada hubungannya dengan serangan terhadap manusia.

Di antara mereka, berdiri Joshua (John David Washington), mantan tentara yang memiliki masa lalu kompleks, dan Alphie (Madeleine Yuna Voyles), robot berwujud anak kecil yang dipercaya sebagai jalan untuk menemukan “sang pencipta” yang disebut Nirmata. Meski awalnya memiliki misi yang berbeda, keduanya kemudian memulai perjalanan yang akan menentukan masa depan antara manusia dan kecerdasan buatan.

2. Meski berbujet rendah, The Creator punya efek visual yang memukau!

The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwardsadegan dalam film The Creator (dok. 20th Century Studios/The Creator)

Semua sinefili pasti sepakat kalau salah satu syarat untuk menghadirkan efek visual memukau dalam sebuah film adalah anggaran yang besar. Star Wars: The Force Awakens (447 juta dolar AS), Jurassic World: Fallen Kingdom (432 juta dolar AS), Avengers: Endgame (356 juta dolar AS), dan Avatar: The Way of Water (350 juta dolar AS) adalah beberapa judul yang telah membuktikannya.

Uniknya, The Creator hanya membutuhkan sekitar seperempat bujet dari keempat film di atas, yakni 80 juta dolar AS, untuk menghasilkan visual masa depan yang imersif. Yap, percayalah, The Creator mempunyai kualitas CGI yang sangat mulus. Bahkan, mampu mengalahkan film-film berbujet lebih besar yang rilis tahun ini, seperti Indiana Jones dan Dial of Destiny dan The Flash.

Salah satu bentuk pemaksimalan anggaran untuk efek visual bisa kamu tengok pada desain Asia Baru yang dihadirkan. Menggabungkan alam (nature) dengan teknologi canggih (future), Asia Baru tampil bak versi masa depan dari gabungan beberapa negara Asia. Bahkan, salah satu penampakan kotanya berhasil mengingatkan penulis pada anime legendaris Akira (1988)!

3. Akting Madeleine Yuna Voyles yang menggemaskan!

The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwardsposter film The Creator (dok. 20th Century Studios/The Creator)

Menampilkan sederet nama kondang, seperti John David Washington (BlacKkKlansman, Tenet), Gemma Chan (Crazy Rich Asians, Eternals), Ken Watanabe (The Last Samurai, Godzilla), dan Allison Janney (I, Tonya, Bad Education), The Creator memang tak perlu diragukan lagi perihal akting pemain. Namun, penampilan Madeleine Yuna Voyles sebagai Alphie adalah lain soal.

Meski The Creator merupakan pengalaman akting pertamanya, aktris cilik pendatang baru tersebut tak kesulitan dalam membangun chemistry dengan lawan mainnya, yakni John David Washington. Dalam The Creator, Voyles bahkan mampu menampilkan dua sisi: ekspresi datar robot tak berjiwa dan ekspresi polos anak kecil dengan segala celetukannya yang menggelitik.

Baca Juga: 5 Alasan Film The Creator Wajib Ditonton, Visualnya Juara

4. Tampilkan soundtrack yang jarang dipakai di film fiksi ilmiah, ada lagu Indonesia!

The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwardsadegan dalam film The Creator (dok. 20th Century Studios/The Creator)

Keterlibatan Hans Zimmer, komposer peraih dua Oscar lewat The Lion King (1994) dan Dune (2021), berhasil menambah kemegahan dalam The Creator. Sejumlah scoring garapannya, seperti "A Place in the Sky", "Missile Launch", dan "Heaven", ditambah dengan momen-momen epik yang disuguhkan oleh Gareth Edwards menjadi pengalaman sinematik yang bakal kamu dapatkan selama 133 menit durasinya.

Selain scoring, kemunculan sejumlah lagu yang antimainstream untuk ukuran sebuah film fiksi ilmiah juga menambah keunikan tersendiri di The Creator. Selain "Dream On" milik band legendaris Aerosmith, film ini juga menampilkan tiga lagu Indonesia, yakni "Kasih Suci", "Hanny", dan "Hari Yang Mulya", milik band rock era 70-an Golden Wing. Bangga!

5. Sayangnya, naskah The Creator tak semulus visualnya

The Creator, Momen Epic Comeback Seorang Gareth Edwardsadegan dalam film The Creator (dok. 20th Century Studios/The Creator)

Meski memiliki visual dan scoring yang memanjakan mata dan telinga para sinefili, The Creator harus mengakui kelemahannya dalam hal menjalin cerita. Naskah garapan Gareth Edwards dan Chris Weitz (Cinderella, Pinocchio) terlampau terburu-buru dalam membangun kedekatan antara Joshua dan Alphie. Hal tersebut otomatis memengaruhi dampak emosional yang ingin dibangun, terutama di momen-momen menjelang ending.

Karena terlalu fokus pada perjalanan Joshua dan Alphie, naskahnya pun lalai dalam mengeksplorasi dunianya sendiri. Padahal, melihat keberanian Edwards dalam menghadirkan robot biksu lengkap dengan kuil yang identik dengan unsur religi, seharusnya banyak potensi yang bisa digali. Namun, lagi-lagi naskahnya hanya menjadikan semua itu sebagai "tempelan" semata.

Terlepas dari segala kekurangan tersebut, penulis cukup kagum dengan beberapa alegori yang ditampilkan. Salah satunya yakni penggambaran Nomad sebagai “manusia yang berlagak menjadi Tuhan”. Bukankah situasi seperti itu kerap terjadi di dunia nyata dewasa ini?

Meski lemah dari segi naskah, The Creator tetaplah sebuah sajian fiksi ilmiah terbaik tahun ini karena mampu mengangkat isu yang sedang hangat tanpa melupakan sisi sinematiknya.

Hebatnya lagi, walau beranggaran rendah, film ini mampu menyajikan CGI sekelas film berbujet fantastis. Oh ya, agar lebih maksimal, kamu wajib menyaksikannya di layar sebesar mungkin, seperti IMAX, lho!

Baca Juga: A Haunting in Venice, ketika Hercule Poirot Berurusan dengan Alam Gaib

Satria Wibawa Photo Verified Writer Satria Wibawa

Movies and series enthusiast. Feel free to read my reviews on Insta @satriaphile90 or Letterboxd @satriaphile. Have a wonderful day!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya