Found Footage, Ciptakan Teror yang Membaurkan Fiksi dan Realita

Subgenre yang begitu lekat dengan film horor

Ada saja cara unik yang dipakai oleh para pegiat film horor untuk menebar teror. Salah satunya dengan menggunakan format found footage. Gaya pendekatan menarik satu ini menawarkan pengalaman menonton yang mendebarkan dengan menempatkan audiensnya berpartisipasi langsung dalam mengungkap misteri lewat rekaman amatiran.

Terdengar cukup familier, bukan? Namun, apa sebenarnya found footage itu? Apa betul found footage hanya dapat ditemukan dalam genre horor? Kini saatnya kamu mengenal dan mengetahui beberapa fakta found footage dalam film, nih!

Baca Juga: 5 Film Horor Indonesia Bertema Pelecehan Seksual, Segera Tayang Vina!

1. Apa itu found footage?

Found Footage, Ciptakan Teror yang Membaurkan Fiksi dan RealitaREC] (dok. Filmax/REC])

Found footage merupakan subgenre yang menampilkan sebuah film layaknya rangkaian rekaman-rekaman video amatir yang telah lama hilang atau ditinggalkan pemiliknya yang menghilang atau meninggal secara misterius. Subgenre ini menawarkan pengalaman menonton realistis dengan mengaburkan batas antara fiksi dan realita.

Format found footage dapat ditemukan dengan mudah dalam film horor maupun thriller. Bukan tanpa sebab, hal tersebut ada kaitannya dengan kemampuannya dalam memposisikan penonton berada tepat di tengah-tengah situasi mencekam dan menakutkan.

2. Sejarah di balik found footage

Found Footage, Ciptakan Teror yang Membaurkan Fiksi dan RealitaCannibal Holocaust (dok. F.D. Cinematografica/Cannibal Holocaust)

Istilah found footage pertama kali digunakan oleh kritikus film Roger Ebert. Dalam ulasan yang dipublikasikan pada 1975, Ebert menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada jenis film horor yang mengandalkan archival footage buatan untuk menakuti audiensnya.

Dilansir Studiobinder, awal mula kemunculan film found footage dapat ditemukan pada 1980-an melalui perilisan Cannibal Holocaust (1980). Dinobatkan sebagai film found footage pertama, film arahan sutradara Ruggero Deodato tersebut mengikuti seorang profesor yang tengah melakukan misi penyelamatan Hutan Amazon tidak sengaja menemukan gulungan film milik sekelompok kru film yang telah lama dikabarkan hilang.

Memiliki muatan konten seksual dan kekerasan yang dinilai terlalu sadis dan brutal, Cannibal Holocaust sempat dilarang tayang di sejumlah negara. Deodato sendiri harus berurusan dengan pihak berwajib atas tuduhan pembunuhan. Faktanya, para aktor yang terlibat telah menandatangani kontrak yang mana mereka dilarang tampil di berbagai acara yang bersangkutan dengan film tersebut selama setahun setelah perilisan filmnya.

Kontroversi tersebut ternyata sukses mendongkrak popularitas film tersebut. Dengan ongkos produksi 100 ribu Dollar Amerika, Cannibal Holocaust mengantongi pendapatan global box office hingga 200 juta Dollar Amerika, lho!

Film found footage baru benar-benar menemukan popularitasnya lewat The Blair Witch Project (1999). Kreator Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez menggunakan pendekatan yang cukup unik. Dengan naskah setebal 35 halaman dan biaya 35 ribu Dollar Amerika, keduanya bergantung pada improvasi para aktornya. Dikombinasikan dengan teknik pemasaran inovatif, The Blair Witch Project meraup total pendapatan sebesar 250 juta Dollar Amerika.

Sejak saat itu, film found footage digandrungi banyak orang. Tidak hanya fokus pada genre horor, teknik pembuatan found footage juga digunakan sebagai format baru dalam menggarap genre sci-fi thriller, seperti Cloverfield (2008) dan Chronicle (2012). 

Baca Juga: 5 Film Horor Found-Footage Indonesia di Bioskop! Terbaru Pasar Setan

3. Karakteristik film found footage

Found Footage, Ciptakan Teror yang Membaurkan Fiksi dan RealitaChronicle (dok. Dune Entertainment/Chronicle)

Terdapat sejumlah karakteristik yang membuat film found footage tampil menonjol dari genre film lainnya. Sebut saja kualitas rekaman video yang tidak stabil dan ala kadarnya khas buatan amatiran. Hal tersebut sejalan dengan konsep film found footage yang berkutat pada serangkaian video rekaman amatiran.

Pada umumnya, film found footage direkam menggunakan hand-held camera atau kamera genggam, seperti handycam, kamera video, hingga ponsel. Oleh sebab itu, kebanyakan film found footage direkam langsung oleh para karakter di dalamnya. Teknik pengambilan gambar ini sengaja digunakan untuk menghasilkan rekaman yang kasar dan realistik. 

Tidak berhenti di situ, pendekatan film found footage dalam membangun tensi dan menebar teror terbilang cukup unik. Alih-alih menggunakan scoring yang mampu membuat bulu kuduk meremang atau terlonjak dari tempat duduk, film found footage justru mengandalkan ambience atau suasana dari latar film tersebut. Dikombinasikan dengan pemilihan para aktor yang kurang terkenal, teror yang dihadirkan dalam film found footage terasa jauh lebih otentik dan natural. 

4. Eksistensi found footage di industri perfilman modern

Found Footage, Ciptakan Teror yang Membaurkan Fiksi dan RealitaMissing (dok. Stage 6 Films/Missing)

Di awal 2000-an, found footage menjelma sebagai komoditas panas yang digandrungi banyak orang. Sejumlah rumah produksi latah menggarap film horor dalam format found footage dengan harapan mampu mengulang kesuksesan The Blair Witch Project.

Menggunakan formula yang hampir serupa–mengandalkan gimik “kisah nyata” dan teknik marketing yang brilian–film found footage menjadi ladang cuan yang menjanjikan. Sebut saja Paranormal Activity (2007). Dengan ongkos produksi 15 ribu Dollar Amerika, di luar biaya marketing, film besutan sutradara Oren Peli tersebut meraup total penghasilan box office global sekitar 194 juta Dollar Amerika. Lebih dari cukup untuk membuat Paramount dan Blumhouse mengeksploitasinya dengan menggarap enam film sekuel.

Bukan hal yang aneh jika perlahan-lahan film found footage mulai ditinggalkan oleh penggemarnya. Di sisi lain, hal tersebut menjadi pelecut bagi para pegiat film untuk terus berinovasi demi menjaga keberlangsungan subgenre yang satu ini. 

Salah satunya adalah dengan mengikuti perkembangan teknologi. Tidak lagi bergantung pada rekaman khas amatiran, found footage kini menggunakan screenlife lewat layar komputer, tablet, hingga ponsel pintar. Sebut saja Searching (2018) dan Missing (2023) yang sukses memikat penontonnya dari awal durasi film.

Found footage bukan hanya sekedar pendekatan unik yang digunakan dalam menggarap sebuah film. Found footage bertransformasi sebagai batu lompatan bagi para sineas untuk mengeksekusi sebuah narasi dari pakem yang ada. Apa film found footage favoritmu?

Baca Juga: 5 Film Berlatar Gua yang Menguji Nyali, Ada Found Footage!

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

hehe

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya