[REVIEW] The Traveler, Obsesi Nonton Sepak Bola yang Berakhir Getir

Akhir nyesek siap menghantuimu

Intinya Sih...

  • Abbas Kiarostami merilis film hitam putih berjudul The Traveler pada 1974. Ceritanya tentang perjuangan bocah yang ingin menonton klub sepak bola favoritnya berlaga di stadion.
  • Kisah Qassem, yang impulsif ingin menonton tim kesayangannya berlaga, membuatnya menghalalkan segala cara.
  • Kiarostami menggunakan teknik close-up shot dan membiarkan orang dewasa hanya tampak sampai leher di layar. Ini membuat penonton fokus pada sosok Qassem.

Dekade 1980—1990-an memang puncak kariernya Abbas Kiarostami. Trilogi Koker garapannya laris manis. Ia pun sukses meraih Palem Emas lewat film Taste of Cherry (1996). Namun, sadarkah kamu kalau sebelum itu semua, sang maestro sinema minimalis asal Iran tersebut pernah membuat film berjudul The Traveler?

Rilis pada 1974, film hitam putih ini mengikuti perjuangan bocah yang ingin menonton langsung klub sepak bola favoritnya, Persepolis FC, berlaga di stadion. Saat tahu timnya bakal berlaga di ibu kota yang jaraknya sekitar 4 jam dari desa tempatnya tinggal, ia bertekad untuk tak melewatkan kesempatan langka itu. Seperti biasa, plotnya sederhana, tetapi ini bakal jadi film paling berkesan yang pernah kamu tonton. 

 

1. Inovasi muncul saat terimpit jadi trope utama film ini

[REVIEW] The Traveler, Obsesi Nonton Sepak Bola yang Berakhir GetirThe Traveler (dok. Janus Films/The Traveler)

"Bisa karena kepepet" itu ungkapan yang lumrah kita temukan dalam pergaulan sehari-hari karena benar adanya. Kadang, situasi mendesak yang memaksa kita berpikir cepat dan kreatif. Inilah yang sedang terjadi pada lakon film The Traveler, Qassem (Hassan Darabi). Ia tinggal di sebuah perkampungan sederhana bersama tipikal ayah yang hampir tak peduli pada anaknya karena sibuk bekerja dan ibu yang uring-uringan karena tekanan ekonomi serta tugas domestik yang menumpuk. Lantas, Qassem punya mimpi yang susah diwujudkan oleh anak dengan kondisi ekonomi dan sosial seperti dirinya. 

Gibol alias gila bola ditambah muak dengan keterbatasan ekonomi dan akses yang selama ini dirasakannya, Qassem secara impulsif membulatkan niat untuk nonton tim sepak bola kesayangannya berlaga langsung di stadion. Namun, untuk bisa mewujudkannya, Qassem butuh dana yang tak sedikit. Meminta orangtuanya jelas mustahil. Lantas, mulailah ia berinovasi untuk bisa mendapat uang dengan sumber daya yang ia punya. 

Caranya, ia mulai menggelapkan uang titipan orangtuanya sampai menjual jasa foto dengan kamera rusak yang tak sengaja ia temukan. Melihat jungkir balik Qassem mengingatkan kita pada fenomena dana usaha (danus) yang biasa dilakukan anak kuliah untuk menggalang dana kegiatan. Kocak, tapi ini juga lekat dengan pengalaman pribadi. 

Baca Juga: 8 Film dan Serial dengan Sekuens Bisu Terbaik

2. Makin realistis dengan kamera yang diletakkan selevel dengan sang lakon

[REVIEW] The Traveler, Obsesi Nonton Sepak Bola yang Berakhir GetirThe Traveler (dok. Janus Films/The Traveler)

Abbas Kiarostami adalah sosok yang dikenal lewat teknik close-up shot-nya. Tak heran bila teknik pengambilan gambar ini bakal menemanimu sepanjang film. Ia sengaja meletakkannya selevel dengan sang bocah dan pada beberapa adegan yang membiarkan orang dewasa hanya tampak sampai leher di layar. Ini membuat penonton bisa fokus pada sosok Qassem.

Segala kekhawatiran, keresahan, dan rasa frustrasinya bisa terpotret dengan detail. Teknik macam ini kemudian dipakai oleh banyak sineas pada era modern saat mendapuk anak-anak sebagai lakon. Dampaknya memang besar. Film jadi terasa lebih imersif saat kamera dipasang mengikuti gerak-gerik lakon lekat-lekat.

3. Adegan akhirnya sederhana, tetapi menohok

[REVIEW] The Traveler, Obsesi Nonton Sepak Bola yang Berakhir GetirThe Traveler (dok. Janus Films/The Traveler)

Lewat berbagai aksi curangnya, Qassem berhasil mengumpulkan uang yang dibutuhkannya. Namun, seperti hidup, selesai satu masalah, muncul masalah lain. Sesampainya di Teheran, Qassem harus menghadapi hal-hal yang tak pernah ia sangka, mulai dari kehabisan tiket sampai harus menunggu berjam-jam sebelum sepak mula (kick off).

Kiarostami seolah ingin menekankan kalau apa pun yang dimulai dengan sesuatu yang tak baik tak akan berakhir lancar. Menariknya, Kiarostami hanya menyajikan satu adegan minimalis untuk menutup filmnya. Di balik ketiadaan dialog dan keberadaan satu karakter dalam frame, ia mampu menampilkan akhir menohok yang membekas. 

The Traveler mungkin tak sepopuler film-film Kiarostami lainnya, tetapi ini mengonfirmasi gaya sinematik khasnya. Caranya mengemas cerita-cerita bersahaja bikin penonton betah memantengi layar sampai kredit bergulir. Tentu, gak semua sineas bisa mengeksekusinya. Untuk sebuah karya brilian di awal karier epik sang sutradara, The Traveler berhak dapat skor 5/5.

Baca Juga: [REVIEW] Tangerine, Sisi Lain Los Angeles yang Wajib Kamu Tahu

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya