[REVIEW] How to Have Sex, Sebuah Edukasi Penting Buat Anak Muda

Karya debut yang mengesankan

Judul yang provokatif dan trailernya yang berisi adegan pesta khas anak muda mungkin akan membuat sebagian orang berpikir How to Have Sex hanya film coming of age biasa. Namun, karya debut sutradara Molly Manning Walker ini bukan film remaja yang layak dilewatkan. 

Sebaliknya, film ini padat edukasi dan pedoman yang amat dibutuhkan anak-anak muda zaman sekarang. Mendapuk pendatang baru brilian, Mia McKenna-Bruce, kamu akan menyelami pergolakan batin remaja 18 tahun, Tara, yang liburan ke Yunani bersama dua sahabatnya, Em dan Skye, usai ujian nasional. Namun, ini bakal jadi liburan yang tak akan pernah ia lupakan. 

Baca Juga: 7 Film dan Series Coming-of-Age yang Cocok Ditonton bareng Anak

1. Adegan pembukanya tak spesial, tetapi mampu meneropong kepribadian para protagonisnya

[REVIEW] How to Have Sex, Sebuah Edukasi Penting Buat Anak MudaHow to Have Sex (dok. MUBI/How to Have Sex)

Tak ada adegan pembuka yang bombastis, Walker membuka filmnya dengan adegan tiga remaja berlogat Inggris yang sedang berada di taksi menuju hotel mereka di Malia, Yunani. Dilanjut dengan kegiatan-kegiatan seru macam berenang di laut lepas hingga mabuk sambil berdansa sampai mual. Ocehan-ocehan soal menemukan pasangan kencan baru juga muncul.

Pada sepertiga awal film, Walker fokus pada interaksi ketiga gadis itu tanpa menambah karakter baru. Ia dengan saksama memperkenalkan perbedaan sifat ketiganya dengan tetap menjadikan Tara sebagai titik berat. Tak hanya paling mungil secara fisik, Tara juga yang paling tak berpengalaman soal seks dan hubungan asmara di antara semuanya. 

2. Konflik mulai muncul saat mereka bertemu sekelompok anak muda lain dari kamar sebelah

[REVIEW] How to Have Sex, Sebuah Edukasi Penting Buat Anak MudaHow to Have Sex (dok. MUBI/How to Have Sex)

Tensi mulai terbentuk kala Tara dan kawan-kawannya bertemu sekelompok anak muda lain yang tinggal di kamar sebelah, Badger, Paddy, dan Paige. Bendera merah mulai tampak dan mengubah dinamika cerita. Bukan dari tiga kenalan baru mereka, justru itu datang dari internal pertemanan Tara sendiri. Pada fase ini, Walker mulai menyenggol isu pertemanan toksik dan seksisme internal, yakni sikap misogini yang ditunjukkan perempuan dan menyasar sesama perempuan sendiri.

Peer-pressure juga nyata adanya pada fase ini. Anak-anak muda yang butuh persetujuan sangat mudah terjebak untuk mengambil keputusan berdasar rekomendasi teman sebaya . Itu mereka lakukan setidaknya untuk menciptakan impresi yang bagus terhadap rekan seumuran. Terkadang atau bahkan seringkali itu dilakukan tanpa memprioritaskan kenyamanan diri sendiri.

Ketegangan memuncak ketika Tara tak terlihat di kamera selama beberapa saat. Meninggalkan beberapa rekannya kebingungan, mengkhawatirkan dan mencarinya. Adegan menyeramkan ini sempat membuat penonton khawatir dan percaya kalau Tara dalam bahaya. Namun, Walker ternyata sedang menyiapkan perangkap tak terduga. 

Baca Juga: [REVIEW] Fool Me Once, Serial Misteri Kuak Kematian Anak Konglomerat

3. Ancaman bisa datang dari orang terdekat, salah satu pesan utamanya

[REVIEW] How to Have Sex, Sebuah Edukasi Penting Buat Anak MudaHow to Have Sex (dok. Film4/How to Have Sex)

Penonton mungkin mengira Tara akan jatuh ke perangkap orang asing yang memanfaatkannya. Namun, Walker kembali dengan fakta bahwa justru orang-orang yang Tara kira kenal yang justru membuatnya tak nyaman sepanjang liburan itu. Sebagian tak sadar dan menganggap Tara menikmati waktu dan pengalamannya. Di sisi lain, ada beberapa yang curiga, tetapi memilih untuk tidak mengatakan apa yang mereka pikirkan.

Ini membuat How To Have Sex jadi film yang bisa mewakili beberapa pihak. Tak hanya korban pelecehan seksual, tetapi juga orang-orang yang terjebak dalam hubungan toksik dan belum menemukan suaranya. Lewat karakter Tara, kita bisa melihat bagaimana sebagian orang butuh waktu untuk memproses hal buruk yang terjadi padanya, apalagi mengakui, meminta pertolongan, dan mengobati luka itu. 

Film ini rasanya cocok ditonton sebagai pedoman bergaul, terutama untuk anak-anak muda yang masih butuh penerimaan eksternal. Ini bukan soal moralitas belaka, tetapi bagaimana menghadapi krisis, memahami betapa kompleksnya konsep consent (persetujuan) dalam hubungan, hingga tipisnya batas antara saran yang membangun dan asertif dengan yang manipulatif.

Baca Juga: 5 Cara Membekali Anak untuk Sadar Bahaya Pelecehan Seksual

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya