Invasi Genre Horor-Sosial dalam Industri Film

Apa yang mendorong kemunculannya?

Horor merupakan salah satu genre film paling populer. Setidaknya berdasarkan data yang dihimpun Statista dari total penghasilan film horor di Amerika Serikat dan Kanada selama 1995–2023. Horor berada di peringkat keempat sebagai genre film dengan penghasilan terbesar, di bawah genre petualangan, aksi, dan drama.

Banyak yang berargumen, popularitas ini berangkat dari kenyataan bahwa film horor merupakan cerminan kekhawatiran dan ketakutan manusia sendiri. Namun, dengan popularitas ini pula, kolam genre horor sempat jenuh. Ditandai dengan kemiripan cerita dan berbagai adegan klise lainnya.

Ini yang mungkin mau tak mau mendorong sineas untuk berinovasi. Sejak akhir 2010-an, film-film horor mulai hadir dengan kedalaman cerita yang beda dari biasanya. Tak hanya modal ngeri dan pelintiran alur yang cerdas, muatan kritik sosial turut disertakan untuk memperkaya karya sinematik mereka. Inilah yang memunculkan genre horor-sosial. Selain kejenuhan pasar, apa sih yang sebenarnya mendasari dan menginspirasi tren film genre horor-sosial? Mari ulik bersama!

1. Gerakan wokeness jadi salah satu faktor pendorongnya

Invasi Genre Horor-Sosial dalam Industri Filmfilm Get Out (dok. Blumhouse Productions/Get Out)

Bila diperhatikan, kemunculan genre horor-sosial beriringan dengan gerakan wokeness (sadar sosial politik). Melansir tulisan Aja Romano untuk Vox, istilah woke sudah ada sejak awal abad 20. Kala itu, istilah itu dipakai sebagai ajakan untuk komunitas kulit hitam global agar lebih sadar akan isu politik dan sosial. Ini didorong oleh kasus-kasus ketidakadilan sistemik yang mengorbankan ras kulit hitam di berbagai negara. 

Pada 2008, woke semakin familier usai penyanyi kulit hitam Amerika Serikat, Erykah Badu merilis lagu 'Master Teacher'. Dalam lagu itu, ia menggunakan frasa "stay woke" untuk mengingatkan pendengar soal ketidakadilan sistemik dan penyalahgunaan kekuasaan. Woke pun terus dipakai warga kulit hitam di Amerika Serikat saat menuntut keadilan bagi rekan-rekan mereka yang tewas di tangan polisi. Tak heran bila kata itu sampai sekarang lekat dengan gerakan Black Lives Matter. 

Bertepatan dengan itu, muncul gerakan-gerakan sosial politik lain seperti #MeToo yang jegal pelecehan seksual di ranah profesional dan personal, pengenalan istilah non-cisgender (tipe-tipe gender di luar gender normatif laki-laki dan perempuan), hingga kesadaran soal neurodiversitas, disabilitas, dan keberagaman lainnya. Arti wokeness pun terus meluas menjadi kesadaran sosial politik, kepantasan bersikap, hingga idealisme progresif. Selain isu keadilan rasial, wokeness turut andil dalam isu-isu gender dan inklusivitas secara umum. 

Spesifik dalam industri hiburan, film Get Out  (Jordan Peele) dan The Witch (Robert Eggers) sering dianggap sebagai pelopor penyertaan isu sosial dalam karya sinematik. Kalau Get Out menjegal isu rasisme, The Witch menyiratkan pesan pemberdayaan perempuan. Sejak dua karya legendaris itu pula, film horor pun naik kelas. Tak lagi mentok soal monster, iblis, penguntit, psikopat, penyusup, dan pendendam, ada isu-isu sosial yang memantik diskusi di dalamnya. 

Baca Juga: Film 101: Mengenal Lebih Jauh 6 Sub Genre Horor dalam Film

2. Bukan genre yang benar-benar baru

Invasi Genre Horor-Sosial dalam Industri Filmfilm Train to Busan (dok. Next Entertainment World/Train to Busan)

Meski horor-sosial masuk ke ranah mainstream sejak kesuksesan Get Out, sebenarnya genre ini sudah dikembangkan sejumlah sineas sebelum Peele dan Eggers. Misalnya saja Berberian Sound Studio (2012) yang menjegal isu misogini dalam industri hiburan; American Psycho (2000) yang mengkritik maskulinitas toksik dan konsumerisme; Train to Busan (2016) yang menyinggung isu kelas; Battle Royale (2000) yang isyaratkan hierarki dan ketidakadilan di ranah sekolah; hingga The Wailing (2016) yang soroti isu xenofobia.

Bahkan film horor lawas legendaris Night of the Living Dead (1968) dan Carrie (1976) sudah menyoroti kultur diskriminasi rasial dan bullying di Amerika Serikat. Artinya, horor sosial bukan genre yang benar-benar baru. Hanya saja jumlahnya meningkat pesat jelang 2020-an. Ditandai dengan kemunculan film-film horor sekaliber Hereditary (2018), Midsommar (2019), The Platform (2019), Us (2019), dan Promising Young Woman (2020). 

3. Tren yang tak terhentikan, menginspirasi kemunculan horor Gen Z

Invasi Genre Horor-Sosial dalam Industri Filmadegan film Talk to Me (dok. Causeway Films/Talk to Me)

Tren horor sosial belum mereda. Pada 2022, premis-premis serupa bermunculan. Sebut saja Barbarian (2022), Fresh (2022), Nope (2022), X (2022), Pearl (2022), Sissy (2022), Bodies Bodies Bodies (2022), M3GAN (2023) dan Talk to Me (2023). Selain menggunakan elemen wokeness, tak sedikit sineas yang mulai mendapuk gen Z sebagai lakon. 

Digambarkan sebagai generasi yang melek teknologi dan sadar sosial politik, formula kengerian yang dimunculkan pun tak jauh-jauh dari kebimbangan atas identitas dan keinginan untuk dapat penerimaan lewat media sosial. Ini jelas inovasi baru yang belum dikembangkan pada 2010-an kala wokeness dan media sosial belum begitu masif. 

Menariknya, menurut survei yang dilakukan Morning Consult pada seribu gen Z di Amerika Serikat tahun 2022 lalu, horor adalah genre film terfavorit kedua. Horor hanya kalah dari komedi yang menempati posisi teratas. Antusiasme gen Z untuk nonton film horor jelas berkontribusi dalam kesuksesan beberapa judul seperti Fresh, Barbarian, Pearl, M3GAN, dan Talk to Me. 

Menyeruaknya film genre horor sosial ke ranah arus utama bisa dilihat sebagai hal positif, terutama untuk mengangkat kembali isu-isu sosial yang masih sering terabaikan. Namun, tak sedikit yang menganggap fenomena ini sebagai upaya memaksakan woke agenda. Bagaimana menurutmu? 

Baca Juga: 7 Film Horor Terlaris Sepanjang Masa, Sarat akan Teror!

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Hella Pristiwa

Berita Terkini Lainnya