Come and See dan Format Film Antiperang yang Seharusnya

Dirilis pada 1985 dan masih relevan hingga kini

Sebagian orang beranggapan film antiperang itu hanya mitos. Faktanya, industri film didominasi film yang justru mengglorifikasi peperangan. Caranya cukup subtle alias tak kentara. Salah satunya menampilkan akhir yang mengharukan atau melegakan untuk para protagonisnya.

Kecenderungan itu seolah berkata kalau tetap ada inspirasi yang bisa dipetik dari sebuah peperangan, padahal yang sebenarnya terjadi tak sesederhana itu. Ini yang akhirnya memunculkan argumen kalau film antiperang itu hampir tak ada.

Coba luangkan waktu untuk menonton film jadul berjudul Come and See (1985) karya Elem Klimov. Film ini disebut sebagai salah satu film yang pesan antiperangnya paling tepat, layak bersanding dengan All Quiet on the Western Front versi asli yang rilis 55 tahun sebelumnya. 

Apa elemen yang membuat film ini dipuji khalayak dan disebut salah satu film antiperang terbaik? Mari bedah beberapa poin penting yang berhasil dieksekusi Klimov dalam Come and See. 

Baca Juga: 7 Film Perang dengan Kisah Romantis yang Menggetarkan Hati

1. Fokus pada nasib warga sipil ketimbang mengekspos situasi di medan perang

Come and See dan Format Film Antiperang yang SeharusnyaCome and See (dok. Criterion/Come and See)

Seperti All Quiet on the Western Front, film Come and See juga berlakonkan seorang remaja naif. Ia bernama Flyora (Aleksei Kravchenko), bocah yang awalnya begitu yakin dengan keputusannya jadi bagian dari partisan Soviet (pasukan gerilya Soviet selama Perang Dunia II yang tujuan utamanya melawan Nazi). Meski dapat penolakan keras sang ibu, ia tetap nekat berangkat dan akhirnya tertampar kenyataan. 

Film dengan jelas menggambarkan perubahan karakter Flyora. Dari bocah naif yang murah senyum, ia berubah jadi murung dan tampak jelas mengalami trauma berat. Ia harus menyaksikan sendiri berbagai sifat terburuk manusia yang bermuara pada nafsu dan ketamakan.

Meski mengambil sosok Flyora sebagai pemilik perspektif, film tidak fokus pada situasi medan perang. Flyora yang terpisah dari rekan-rekannya justru jadi saksi nasib apes warga sipil yang ikut jadi korban. 

2. Tak ada kesan heroik yang melekat pada karakter tentara dan simpatisan perang

Come and See dan Format Film Antiperang yang SeharusnyaCome and See (dok. Criterion/Come and See)

Tak seperti sinema lain yang mengeklaim sebagai film antiperang, tetapi mencoba memanusiakan karakter tentara dan para simpatisan perang, Come and See karya Klimov cukup konsisten memotret mereka dengan cara sebaliknya. Tentara dan para simpatisan perang dalam film ini dipotret sebagai sosok yang lekat dengan sifat toksik dan self-absorbed. Mereka dibutakan propaganda dan dilengkapi senjata hingga lupa untuk bersimpati dan cenderung berlaku seenaknya karena superioritas itu. 

Salah satu adegan paling brilian untuk menggambarkannya adalah ketika tentara Nazi terkepung dan mulai membela diri, mengeklaim sebagai orang yang hanya menjalankan perintah. Adegan ini adalah demonstrasi mob-mentality (kecenderungan untuk mengikuti arus untuk dapat rasa aman dan memiliki) yang bisa memotivasi manusia untuk melakukan tindakan yang tak sesuai hati nurani demi dapat validasi eksternal. Tidak terjebak untuk hanya mendemonisasi Nazi layaknya film-film perang Hollywood, Klimov tak lupa mengkritisi partisan Soviet lewat kecanggungan dan berbagai aksi penyalahgunaan kekuasaan lainnya. 

Baca Juga: 10 Film Perang Terbaik yang Diadaptasi dari Buku, Wajib Ditonton!

3. Penuh adegan dan audio yang mengganggu, salah satu film yang bikin penonton trauma

Come and See dan Format Film Antiperang yang SeharusnyaCome and See (dok. Criterion/Come and See)

Menariknya, Klimov tak perlu menampakkan adegan mengganggu di depan kamera secara eksplisit. Lewat audio dan potongan adegan, semua kekerasan dan kengerian langsung terpatri di benak penonton. Berbagai hal buruk yang bisa dilakukan manusia, seperti misogini, pembunuhan massal, dan kegilaan lainnya, tak luput dari film ini. Klimov tak memberikan secuil ruang pun untuk adegan mengharukan dan heroik.

Berbekal pengalaman pribadinya sendiri sebagai penyintas perang yang harus merasakan sendiri migrasi paksa, filmnya sarat elemen survivor's guilt (rasa bersalah yang biasa menyelimuti korban selamat dari sebuah tragedi). Ini tampak dari sosok Flyora yang setelah berhasil selamat dari segala kegilaan itu tetap menyimpan amarah dan rasa tak nyaman. Tak ada yang diuntungkan dari perang adalah pesan utama Come and See dan harusnya jadi pakem untuk film-film lain yang hendak mengeklaim label antiperang. 

Sayangnya, sering kali film dibuat untuk menjawab ego penonton yang haus adegan-adegan heroik dan inspiratif. Akhir melegakan sering dipakai sebagai jalur aman karena benar saja, akhir tragis dan mengganggu seperti yang dipakai Come and See dan All Quiet on the Western Front jelas menciptakan trauma buat penonton dan tak sedikit yang memilih untuk tidak menontonnya lagi.  

Baca Juga: 6 Rekomendasi Film Anime Bertema Sihir, Magical!

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya