TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

The Boy and the Heron, Refleksi Masa Kecil Miyazaki yang Filosofis

Meski personal, film ini tak luput dari setumpuk kekurangan

adegan dalam film The Boy and the Heron (dok. Studio Ghibli/The Boy and the Heron)

Setelah sekian lama ditunggu, The Boy and the Heron (2023) akhirnya bisa dinikmati para penggemar film animasi Studio Ghibli di Indonesia sejak Rabu (13/12/2023) di sejumlah bioskop. Film ini begitu ditunggu karena tercantumnya nama Hayao Miyazaki di kursi sutradara. Selain dikenal sebagai salah satu pendiri Studio Ghibli, Miyazaki juga tersohor lewat beberapa karyanya yang brilian, seperti My Neighbor Totoro (1988), Spirited Away (2001), dan The Wind Rises (2013).

Di Rotten Tomatoes, film yang mempunyai judul lain How Do You Live? ini meraih rating sangat tinggi, yakni 96 persen. Film ini mendapat pujian dari para kritikus atas temanya yang substansial, visualnya yang puitis, serta elemen fantasinya yang nostalgik. Bahkan, baru-baru ini, Golden Globe Awards 2024 memberikan film ini nominasi Best Animated Film, yang menjadi nominasi pertama Studio Ghibli dalam ajang bergengsi tersebut.

Dengan segala pencapaian tersebut, apakah The Boy and the Heron lantas menjadi tontonan yang sempurna? Meski memiliki banyak kelebihan, film yang terinspirasi dari masa kecil sang sutradara ini mempunyai sejumlah kekurangan yang patut dijadikan catatan. Sepertinya, review film The Boy and the Heron ini bisa kamu baca dulu, nih.

Baca Juga: 5 Animator Legendaris di Balik The Boy and the Heron

1. Anak laki-laki yang berduka, bangau yang bisa berbicara, dan menara misterius

adegan dalam film The Boy and the Heron (dok. Studio Ghibli/The Boy and the Heron)

The Boy and the Heron memulai ceritanya dengan memperkenalkan penonton kepada Mahito Maki, bocah laki-laki berusia 12 tahun yang kehilangan ibunya, Hisako, dalam kebakaran rumah sakit di Tokyo pada saat Perang Pasifik berlangsung. Ayahnya, Shoichi, memutuskan menikah lagi dengan Natsuko, adik perempuan mendiang ibunya. Mereka lalu pindah ke pedesaan, tempat di mana Natsuko tinggal bersama beberapa pelayan tua eksentrik.

Mahito, yang merasa kesepian, marah, dan bersalah karena tak mampu menyelamatkan ibunya, bersikap apatis kepada Natsuko yang sedang mengandung adik tirinya. Ia sering bermimpi tentang ibunya yang terlalap api dalam insiden kebakaran tersebut. Dalam suatu momen, ia bahkan melukai dirinya sendiri dengan batu setelah terlibat perkelahian dengan teman sekolahnya.

Seakan belum cukup, Mahito dihadapkan oleh seekor bangau abu-abu yang bisa berbicara. Bangau misterius tersebut mengatakan kalau ibunya masih hidup dan tinggal di dalam menara di dekat danau, yang konon dibangun oleh kakek buyutnya yang hilang secara misterius. Awalnya, Mahito menganggap bangau tersebut adalah makhluk jahat yang suka berbohong dan berusaha mengusirnya.

Namun, ketika Natsuko menghilang, Mahito terpaksa mengikuti bangau itu ke menara yang dimaksud. Siapa sangka, menara tersebut rupanya adalah pintu masuk dari dunia fantasi yang belum pernah dilihat Mahito seumur hidupnya. Di sana, Mahito mengalami petualangan tak biasa, menemukan teman-teman baru, dan menguak rahasia keluarganya, sambil berusaha menemukan Natsuko dan membawanya kembali ke dunia nyata.

2. Tak hanya sajikan visual indah, The Boy and the Heron juga bertabur referensi film animasi ikonik

adegan dalam film The Boy and the Heron (dok. Studio Ghibli/The Boy and the Heron)

Tak bisa dimungkiri, salah satu alasan yang membuat penonton jatuh hati dengan film animasi karya Studio Ghibli adalah gaya animasinya yang sederhana dan mengingatkan pada film-film animasi klasik. Namun, di balik kesederhanaan tersebut, film animasi Ghibli selalu menyimpan rasa estetika yang teramat kuat. "Rasa" tersebut kembali dimunculkan dalam The Boy and the Heron.

Teknik hand-drawn yang menjadi ciri khas Studio Ghibli mampu memberikan nuansa hangat dan hidup pada setiap adegan. Entah itu berupa adegan sederhana, seperti sinar matahari yang mengintip dari sela-sela pepohonan, sampai yang bernuansa magical, seperti sewaktu Mahito "tenggelam" ke dunia fantasi, semuanya tak pernah gagal memancing decak kagum. Semua itu terasa lengkap berkat musik indah gubahan Joe Hisaishi, komposer yang telah bekerja sama dengan Hayao Miyazaki sejak Nausicaä of the Valley of the Wind (1984).

Selain visual dan musik yang tiada duanya, The Boy and the Heron juga memanjakan penontonnya dengan referensi sejumlah film animasi karya Studio Ghibli sebelum ini maupun karya studio animasi lain. Adegan kebakaran rumah sakit mengingatkan penonton pada chaos-nya bencana dalam Grave of the Fireflies (1988) dan The Wind Rises (2013), worldbuilding dan keanehan dalam dunia fantasi kental dengan nuansa Spirited Away (2001), sementara karakter Warawara bak gabungan dari Kodama dalam Princess Mononoke (1997) dan 22 dalam Soul (2020) milik Pixar.

Bahkan, kalau mau lebih detail, tujuh pelayan tua yang selalu mengikuti Natsuko bagaikan representasi dari tujuh kurcaci dalam film animasi klasik Disney, Snow White and the Seven Dwarfs (1937). Bagi yang sudah menontonnya, kamu juga nyadar akan easter eggs menarik ini, gak?

Baca Juga: 10 Makhluk Ajaib Paling Ikonik di Film Ghibli, Ada The Grey Heron!

3. Sayangnya, penceritaan The Boy and the Heron tak semulus visualnya

adegan dalam film The Boy and the Heron (dok. Studio Ghibli/The Boy and the Heron)

Dari segi plot, The Boy and the Heron menawarkan cerita yang menyentuh dan mendalam. Film ini bukan hanya sekadar petualangan di dunia fantasi, tapi juga sebuah kisah tentang kehidupan, kematian, dan penciptaan. Film ini mengeksplorasi tema-tema krusial, seperti trauma, kesepian, penerimaan, keluarga, dan cinta, dengan cara yang jujur dan emosional—di beberapa bagian bahkan terasa seperti "curhatan" dari sang sutradara.

Karakter-karakter dalam film ini juga sangat menarik dan berkembang seiring berjalannya cerita. Mahito, misalnya, berubah dari seorang anak yang dingin dan pendiam, menjadi pribadi yang jauh lebih tangguh dan berani. Ia juga belajar untuk menghargai orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama ayah dan ibu tirinya, Natsuko, yang awalnya ia hindari. Hubungan cinta-benci antara Mahito dan The Grey Heron juga menambah unsur komedi dalam film ini.

Namun, bukan berarti The Boy and the Heron hadir tanpa cela. Meskipun memiliki banyak kelebihan, film ini juga mempunyai beberapa kekurangan yang dapat mengurangi kenikmatan menonton. Salah satu kekurangannya adalah pacing alias pergerakan cerita yang agak berantakan, terutama pada bagian kedua film, ketika Mahito masuk ke dunia fantasi.

Beberapa adegan yang seharusnya terasa magis, malah terkesan terlalu panjang dan terlalu singkat. Bahkan, film ini juga memiliki banyak sekuen yang lambat dan berulang-ulang, sehingga berpotensi membuat penonton merasa bosan. Bagi penggemar arthouse, hal tersebut mungkin bukan masalah. Namun, bagi penonton modern yang lebih suka adegan yang cepat dan dinamis, hal tersebut tentunya melahirkan kontradiksi.

Meski demikian, The Boy and the Heron tetap menyuguhkan sejumlah twist seru mengenai latar belakang karakter-karakter manusia yang ditemui Mahito di dunia fantasi. Terutama, ketika Hayao Miyazaki memasukkan sedikit unsur time travel pada klimaksnya.

Verified Writer

Satria Wibawa

Movie and series enthusiast. Please, visit my IG: @satriaphile90 or my Letterboxd: @satriaphile to see my other reviews. Gracias!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya