TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Alien: Romulus—Aksi, Teror, dan Nostalgia dalam 1 Paket Lengkap

Hadirkan sosok protagonis terbaik setelah Ellen Ripley!

poster film Alien: Romulus (dok. 20th Century Studios/Alien: Romulus)

Intinya Sih...

  • Film Alien: Romulus (2024) kembali hadir dengan sentuhan unik yang menawarkan aksi menegangkan, horor mencekam, dan nostalgia bagi para penggemar.
  • Sutradara Fede Álvarez mengajak penonton kembali pada esensi dasar film horor fiksi ilmiah dengan ketegangan, ketakutan, dan pertarungan melawan makhluk mengerikan.
  • Naskah yang agak goyah pada awal film menjadi pemanasan sebelum Alien: Romulus benar-benar meledak dengan ketegangan yang meningkat pesat dan visual angkasa luar yang memukau.

Alien merupakan salah satu waralaba yang paling ikonik dalam sejarah perfilman horor dan fiksi ilmiah. Sejak film pertamanya yang dirilis pada 1979, karya Ridley Scott ini telah berhasil menciptakan ketakutan yang mendalam di benak penonton dengan sosok Xenomorph yang mengerikan. Waralaba ini terus berkembang dengan berbagai sekuel dan prekuel. Masing-masing membawa sentuhan unik sambil tetap menjaga suasana horor yang mencekam.

Kini, setelah absen 7 tahun, waralaba ini kembali dengan film terbaru yang bertajuk Alien: Romulus (2024). Film ini membawa penonton kembali ke angkasa luar yang penuh teror dan berlatar antara peristiwa dalam Alien (1979) serta Aliens (1986). Disutradarai oleh Fede Álvarez, yang sebelumnya sukses dengan Evil Dead (2013) dan Don't Breathe (2016), Alien: Romulus menjanjikan aksi menegangkan, horor mencekam, serta sentuhan nostalgia yang akan memuaskan para penggemar.

Penasaran bagaimana Álvarez menghadirkan teror baru dalam waralaba ikonik ini? Yuk, simak ulasan film Alien: Romulus berikut. Penulis akan membahas secara mendalam tentang plot, karakter, efek visual, dan bagaimana film ini berhasil (atau tidak) menghidupkan kembali kengerian Xenomorph.

1. Misi pencurian di ruang angkasa yang berakhir tragedi

Alien: Romulus (dok. 20th Century Studios/Alien: Romulus)

Seri Alien telah menjelajahi berbagai tema selama lebih dari 4 dekade ini, mulai dari aksi mendebarkan dalam Aliens (1986) sampai perenungan filosofis dalam Prometheus (2012). Namun, Alien: Romulus memilih jalan berbeda. Fede Álvarez, sang sutradara, mengajak penonton kembali pada esensi dasar film horor fiksi ilmiah: ketegangan, ketakutan, dan pertarungan hidup mati melawan makhluk mengerikan.

Bahkan, Álvarez memulai Alien: Romulus layaknya karya horornya sebelumnya, yakni Don't Breathe (2016), yang para karakternya menyusun rencana untuk mencuri sesuatu. Namun, alih-alih rumah yang dihuni oleh seorang lansia difabel netra, target mereka adalah sebuah stasiun ruang angkasa yang terbengkalai. Stasiun bernama Romulus tersebut konon menyimpan semacam energi yang dapat membawa mereka ke galaksi yang baru.

Awalnya, rencana ini ditentang oleh Rain Carradine (Cailee Spaeny), sang protagonis, karena berisiko membahayakan Andy (David Jonsson), android yang telah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Namun, mengingat ini adalah kesempatan emas untuk bisa lepas dari perusahaan yang memperbudaknya dan pergi ke planet yang diimpikannya, Rain lantas ikut dalam misi tersebut. Benar saja, misi yang seharusnya penuh dengan harapan itu berubah menjadi misi "bunuh diri".

Di Romulus, mereka dihadapkan pada bentuk kehidupan ekstraterestrial mengerikan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Hal itu semakin diperparah dengan perubahan sikap Andy setelah berinteraksi dengan android misterius yang mereka temukan di stasiun tersebut. Akankah mereka berhasil lolos dari mimpi buruk ini? Atau justru menjadi korban selanjutnya dari makhluk paling menakutkan di alam semesta?

2. Dimulai dengan skeptis, Alien: Romulus berubah menjadi petualangan penuh teror

Cailee Spaeny dalam film Alien: Romulus. (dok. 20th Century Studios/Alien: Romulus)

Sejujurnya, naskah garapan Fede Álvarez dan Rodo Sayagues (Evil Dead, Don't Breathe) dimulai dengan agak goyah. Perkenalan para karakternya terkesan agak lambat, bahkan mengingatkan pada film slasher remaja medioker dengan segala karakterisasinya yang generik. Namun, percayalah, semua ini hanyalah pemanasan sebelum Alien: Romulus benar-benar meledak!

Di tengah perjuangan Rain dan teman-temannya untuk kabur dari stasiun ruang angkasa Romulus, ketegangan meningkat pesat. Mereka harus melewati lorong-lorong gelap dan berliku serta dihantui oleh Facehugger yang siap menerkam dari setiap sudut. Dengan cerdas, Álvarez memanfaatkan set untuk menciptakan suasana klaustrofobia. Adapun, setiap langkah terasa seperti pertaruhan hidup dan mati.

Salah satu adegan paling mendebarkan terjadi ketika para karakternya harus melewati cairan asam alien yang melayang di udara akibat kondisi gravitasi nol. Bayangkan betapa mengerikannya mencoba menghindari tetesan asam yang bisa melubangi tubuh dari berbagai arah! Ngeri!

Dengan tema retro ala Alien orisinal, desain produksi yang ditampilkan semakin memperkuat suasana mencekam ini. Musik latar garapan Benjamin Wallfisch (It Chapter Two, The Invisible Man), yang terinspirasi dari horor klasik era 70-an, turut membangun atmosfer ketakutan. Sementara, CGI yang solid—hanya bermodalkan 80 juta dolar AS! (Rp1,2 miliar)—mampu menyuguhkan visual angkasa luar yang memukau sekaligus mengerikan. Tak mengherankan jika aspek teknis dalam film ini akan mendominasi Oscar tahun depan.

Walau adegan-adegan gore-nya mungkin tak sebrutal yang diharapkan oleh para penggemar sang sutradara, beberapa tetap efektif membuat para penggemar waralaba Alien bersorak kegirangan. Tubuh yang ditembus oleh ekor Xenomorph maupun perut yang dirobek oleh Chestburster menjadi pemandangan yang bakal kamu temui di sini. Ini adalah bukti kemampuan Álvarez dalam memadukan horor, aksi, ketegangan, dan fan service dengan sempurna.

Baca Juga: 14 Rekomendasi Film tentang Alien di Netflix, Penuh Aksi Menegangkan!

3. Para pemain muda menyuguhkan penampilan brilian. Spaeny jadi penerus Ripley!

Cailee Spaeny dan David Jonsson dalam film Alien: Romulus. (dok. 20th Century Studios/Alien: Romulus)

Dalam Alien: Romulus, Cailee Spaeny dan David Jonsson tampil bersinar sebagai dua bintang muda yang membawa angin segar bagi waralaba ini. Spaeny, yang mencuri perhatian dalam Priscilla (2023), berhasil menjelma menjadi seorang protagonis tangguh. Transformasinya sebagai Rain Carradine begitu meyakinkan. Ia mampu menghadirkan kembali sosok perempuan pemberani yang menjadi ciri khas Alien setelah Ellen Ripley (Sigourney Weaver).

Sementara itu, Jonsson sukses menghidupkan Andy, android yang memiliki konflik batin antara logika dan emosi. Bintang Industry (2020–sekarang) ini piawai menampilkan dualitas karakternya. Ini terlihat dari gestur tubuhnya yang kaku bak robot hingga ekspresi wajahnya yang sarat makna. Chemistry antara Spaeny dan Jonsson juga terasa begitu kuat. Ini membuat hubungan Rain dan Andy terasa begitu menyentuh dan relevan dengan tema-tema kemanusiaan yang diangkat film ini.

Tak ketinggalan, Isabela Merced, yang selama ini lebih sering tampil dalam film-film bernada ringan, berhasil memberikan kejutan dengan perannya sebagai scream queen pada Alien: Romulus. Meski karakternya, Kay, terbilang dangkal, Merced mampu memaksimalkan setiap adegan dengan jeritannya yang melengking dan ekspresinya yang penuh ketakutan. Yap, siapa yang bisa melupakan teriakan Kay dalam sebuah adegan krusial menjelang ending memilukan itu?

Verified Writer

Satria Wibawa

Movie and series enthusiast. Please, visit my IG: @satriaphile90 or my Letterboxd: @satriaphile to see my other reviews. Gracias!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya