Kontroversi di Balik Film Terbaru Blake Lively, It Ends With Us
Diadaptasi dari novel problematik Colleen Hoover
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Blake Lively sedang gencar melakukan promo untuk film terbaru yang diproduseri dan dibintanginya sendiri, It Ends With Us (2024). Diadaptasi dari novel berjudul sama, buku karangan Colleen Hoover itu sebenarnya sarat kontroversi. Bukan pertama kalinya, Hoover sudah dapat ultimatum dan kritik keras dari para penikmat buku karena karya-karyanya yang meromantisasi hubungan toksik.
Masalahnya, Hoover punya pengikut setia yang susah diyakinkan. Novel romantisnya laris manis bahkan diadaptasi ke layar lebar dan dipasarkan layaknya film komedi romantis yang ceria. Benarkah plot It Ends With Us semanis materi promonya? Yuk, kupas bersama.
Baca Juga: 9 Film Blake Lively dengan Rating Tinggi di IMDb, Ada It Ends with Us
1. It Ends With Us sebenarnya bercerita tentang hubungan toksik dan kekerasan domestik
It Ends With Us sebenarnya sebuah novel yang mengeksplor hubungan toksik pasutri bernama Lily dan Ryle. Sejak awal Lily sudah tahu kalau yang dilakukan Ryle adalah kekerasan domestik, tetapi susah baginya untuk mengakui dan keluar dari lingkaran toksik itu. Sampai ia bertemu lagi dengan cinta pertamanya, Atlas yang membantu dan menyakinkannya untuk keluar dari hubungan tak sehat itu.
Kesadaran Lily sejak awal yang tidak dibarengi dengan kemauan untuk pergi dari hubungan itu sering dikritisi pembaca sebagai langkah Hoover meromantisasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hoover sendiri dikenal sebagai penulis yang problematik. Meski perempuan, caranya menulis adegan romantis justru sarat male gaze.
Dalam versi film, penulis naskah Christy Hall dan sutradara Justin Baldoni yang juga memerankan Ryle mencoba mengubah beberapa hal. Ia memastikan apa yang dilakukan Ryle di film terlihat samar, antara sengaja dan tak sengaja dengan harapan orang tidak akan menghakimi Lily secepat di novel. Ia juga cukup berhati-hati, memastikan kalau filmnya fokus pada perspektif perempuan, yakni Lily.
Dalam berbagai kesempatan promosi dan screening filmnya, Baldoni juga konsisten menyatakan bahwa film ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran soal eksistensi KDRT dan berbagai polemik di baliknya. Termasuk kesulitan korban untuk mengakui dan memahami apa yang terjadi pada mereka. Ia juga memotret Ryle sebagai lelaki yang tampak normal, bukan monster atau lelaki dengan kualitas maskulinitas tertentu dengan harapan mengedukasi penonton bahwa tak ada stereotip tertentu yang melekat pada pelaku KDRT karena mereka bisa saja siapapun di dekat kita.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.