TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Film Terbaik Sineas Kamboja Davy Chou, Termasuk 'Return to Seoul'

Berjasa menghidupkan industri film di Kamboja

Return to Seoul, film terbaru Davy Chou. (dok. Anti-Archive/Return to Seoul)

Pada usia yang relatif muda, Davy Chou berjasa besar dalam menghidupkan kembali geliat industri film Kamboja yang mati selama rezim komunis Khmer Merah. Sutradara dan produser yang menetap di Prancis ini sudah menelurkan beberapa film fitur dan dokumenter. Ia juga mengorbitkan sejumlah sutradara Kamboja dengan membantu proses produksi film-film independen mereka. 

Chou benar-benar sosok yang prominen saat ingin menilik film-film Asia Tenggara di luar Indonesia dan Thailand. Penasaran dengan karya-karyanya? Mari menyelam bersama lewat 6 film terbaik sineas Kamboja David Chou berikut ini!

1. Golden Slumbers (2011)

Golden Slumbers (dok. Icarus Films/Golden Slumbers)

Golden Slumbers adalah karya debut Chou sebagai sutradara. Disusun dalam format dokumenter, film ini mengikuti kehidupan para seniman Kamboja beberapa tahun setelah kejatuhan rezim komunis. Chou dengan tekun mengumpulkan testimoni dari para pegiat film dan teater Kamboja.

Tak lupa, ia menyertakan footage sanggar-sanggar seni dan drama yang kini telah beralih fungsi. Dokumenter ini berhasil tayang perdana di Berlinale 2012. Momen itu pula yang menandai kebangkitan industri film Kamboja yang sempat mati suri. 

2. Diamond Island (2016)

Diamond Island (dok. Anti-Archive/Diamond Island)

Sejak perilisan Golden Slumbers, Chou pun bekerja sama dengan para sineas Kamboja lainnya. Ia turut membantu proses produksi beberapa film pendek karya sutradara-sutradara muda Kamboja. Setelah bereksperimen dan melakoni proyek kolaborasi, Chou akhirnya merilis film fitur pertamanya pada 2016. 

Diamond Island berkisah tentang Bora, seorang remaja 18 tahun yang tergoda untuk meninggalkan desanya dan bekerja di kota. Di sana ia menemukan banyak hal baru, gemerlapnya hiburan duniawi, pertemanan baru, bahkan kesempatan rekonsiliasi dengan kakak laki-lakinya yang sudah bertahun-tahun tak pernah pulang. 

Baca Juga: Film Pendek Sineas Makassar Masuk Festival Film Cannes 2023

3. Last Night I Saw You Smiling (2019)

Last Night I Saw You Smiling (dok. Anti-Archive/Last Night I Saw You Smiling)

Kavich Neang adalah salah satu sutradara muda yang diorbitkan Davy Chou. Pada 2019, Chou menjadi produser untuk film debut Neang yang bertajuk Last Night I Saw You Smiling. Ini adalah dokumenter yang memotret sebuah rumah susun warisan rezim komunis. 

Saat penghuni yang tersisa sepakat menerima kompensasi pemerintah, bangunan pun siap dikosongkan. Neang yang menghabiskan masa kecilnya di bangunan itu pun mencari kisah dan menggali kembali kenangan yang pernah ia pahat di sana. Ini salah satu film yang tak segan mengulik dan membicarakan sejarah kelam negara sendiri serta isu-isu yang berkaitan dengan trauma pascaperang. 

4. White Building (2021)

White Building (dok. Anti-Archive/White Building)

Masih berkaitan dengan film sebelumnya, kali ini Kavich Neang mencoba mengulik sisi lain dari rencana pembongkaran rumah susun warisan rezim komunis. Film yang diproduseri Davy Chou ini fokus pada kehidupan warga Phnom Penh yang seyogyanya menyimpan keraguan kala harus meninggalkan rumah susun yang sudah mereka tempati sejak 1960-an.

Dengan format film fitur dan tokoh fiktif, Neang tak hanya bercerita, tetapi juga melontarkan kritik pada pengembang dan pemerintah. Ini tentang gentrifikasi, kapitalisme, inflasi, dan tuntutan ekonomi lain yang terus menggerus rakyat tanpa ampun. 

5. Onoda: 10,000 Nights in the Jungle (2021)

Onoda:10 000 Nights in the Jungle (dok. Anti-Archive/Onoda:10 000 Nights in the Jungle)

Selain Neang, Davy Chou juga berkolaborasi dengan sineas asal Prancis, Arthur Harari dalam proyek berjudul Onoda: 10,000 Nights in the Jungle. Sinema ini adalah biopik seorang tentara Jepang bernama Hiroo Onoda yang dikirim ke Lubang, Filipina untuk melawan sekutu pada Perang Dunia II. 

Onoda menolak fakta bahwa Jepang kalah pada 14 Agustus 1945. Ia menolak menyerahkan diri atau mengakhiri hidup seperti rekan-rekannya. Selama 30 tahun lamanya, ia tinggal di hutan dengan masih berpegang teguh pada misinya untuk hidup dan mempertahankan harga dirinya sebagai serdadu yang setia. 

Baca Juga: Mengapa Singapura Jadi Venue Konser Musisi Dunia di Asia Tenggara?

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya