TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Film tentang Femisida, Ngeri karena Lekat dengan Realitas

Bukan isu endemik, tetapi universal

film La Civil (dok. Film Festival Gent/La Civil)

Femisida atau pembunuhan yang menyasar perempuan secara spesifik merupakan isu universal yang melanda tiap negara. Menurut UN Women, manifestasi terburuk dari kekerasan terhadap perempuan terjadi karena beberapa faktor. Bisa terjadi karena perilaku diskriminatif terhadap perempuan yang dipupuk subur, stereotip gender, ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dengan laki-laki, hingga interpretasi norma sosial yang terlewat batas dan merugikan.

Femisida bukan konsep yang hanya bisa ditemukan di buku atau jurnal ilmiah. Kejadiannya sangat awam ditemukan, bahkan di lingkungan terdekatmu. Ia bisa saja diawali dengan KDRT yang berujung fatal bila dibiarkan berlarut-larut.

Bila ternyata konsep ini masih asing di telinga, kamu bisa mengekspos diri dengan enam film yang menyoal femisida berikut. Bisa jadi cara mengasah kepekaanmu terhadap masalah-masalah sosial, terutama yang berkenaan dengan gender.

1. Tempestad (2016)

film Tempestad (dok. Pimienta Films/Tempestad)

Usai sukses dengan film debutnya El lugar más pequeño (2011), Tatiana Huezo kembali menahbiskan diri sebagai sutradara dokumenter berbakat dengan merilis Tempestad (2016). Dengan latar Meksiko yang muram, jauh dari penggambaran glamor ala film Hollywood, cerita dua perempuan yang berkenaan dengan penculikan dan femisida di negeri itu mengalir. 

Satu perempuan merupakan seorang pegawai pemerintah yang pernah dituduh melakukan operasi perdagangan manusia. Ia kemudian dibawa ke penjara yang dioperasikan kartel alias geng kriminal. Untuk menjamin keselamatannya di penjara tersebut, keluarganya harus membayar sejumlah uang tiap bulannya.  

Cerita kedua datang dari seorang ibu yang kehilangan putri remajanya tanpa jejak. Putrinya yang pamit berangkat sekolah tak pernah kembali sampai bertahun-tahun lamanya. Aparat berwenang pun tak banyak membantu. Sang putri hanya satu dari daftar panjang perempuan muda yang hilang di Meksiko.

2. Prayers for the Stolen (2021)

film Prayers for the Stolen (dok. MUBI/Prayers for the Stolen)

Huezo kembali 5 tahun kemudian dengan Prayers for the Stolen. Kali ini ia mencoba menghapus batasan antara fiksi dengan dokumenter lewat format mockumentary. Masih di Meksiko, Huezo mengajak kita mengunjungi sebuah desa yang berisi anak-anak perempuan dengan rambut pendek. 

Hal ini ternyata dilakukan usai salah satu bocah perempuan di desa tersebut dibawa paksa anggota kartel dan tak pernah kembali. Dengan berpenampilan layaknya anak laki-laki, mereka berharap kartel akan mengurungkan niat menculik mereka.

Tak hanya berkutat dengan masalah tersebut, ada beberapa isu lain yang dijegal Huezo. Salah satunya kebijakan pemerintah yang tone-deaf, sehingga justru memperkeruh masalah.

Baca Juga: 7 Dokumenter tentang Eksperimen pada Manusia, Jangan Nonton Sendiri!

3. La Civil (2021)

film La Civil (dok. Film Festival Gent/La Civil)

La Civil kurang lebih juga menjegal isu serupa. Putus asa dengan kinerja aparat yang seakan tak peduli pada jumlah perempuan muda yang terus menghilang di Meksiko, seorang ibu berusaha mencari keberadaan putrinya secara mandiri. 

Film ini terinspirasi kisah nyata seorang ibu bernama Miriam Rodríguez Martínez, tentunya dengan dramatisasi di beberapa bagian. Ia menemukan banyak halangan dan cobaan, mulai dari telepon misterius dari seseorang yang mengeklaim tahu keberadaan putrinya dan minta tebusan. Sampai kegigihannya menghubungi seorang detektif untuk membantu pencariannya. 

4. Robe of Gems (2021)

film Robe of Gems (dok. Visit Films/Robe of Gems)

Robe of Gems merupakan salah satu film terbaik yang pernah tayang di Berlinale alias Berlin International Film Festival 2021. Masih berlatarkan Meksiko, film ini tidak hanya fokus pada studi gender, tetapi juga pertentangan kelas di Amerika Latin. 

Ada beberapa karakter dengan masalah masing-masing dalam Robe of Gems. Seorang perempuan dari kelas menengah atas yang sedang mengurus perceraiannya, seorang ART yang sedang gusar karena saudarinya hilang, hingga polwan yang ternyata punya kerabat anggota kartel. 

5. Dying to Divorce (2021)

film Dying to Divorce (dok. Dartmouth Films/Dying to Divorce)

Tak hanya Amerika Tengah yang punya masalah femisida, endemik kekerasan terhadap perempuan juga banyak ditemukan di Turki. Ini coba dijegal Chloe Fairweather lewat dokumenter Dying to Divorce. Film yang proses pembuatannya mencapai 5 tahun ini memotret kekerasan dan pembunuhan yang terjadi dalam lingkup pernikahan. 

Ada beberapa testimoni yang disertakan dalam film. Itu termasuk seorang perempuan yang dinikahkan pada usia 14 tahun, kemudian ditembak berkali-kali hingga lumpuh oleh suaminya saat meminta cerai. Budaya kekerasan yang berkaitan dengan machismo dan kepemilikan senjata adalah hal yang umum ditemukan di Turki dan beberapa negara Eropa Timur macam Albania.

Baca Juga: 6 Film Dokumenter yang Mendobrak Sistem, tapi Bebas Provokasi

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya