[CERPEN] Teror di Desa

Sekarang di desa berlaku jam malam...

Intinya Sih...

  • Desa menerapkan jam malam dan ronda bergilir
  • Warga lebih memilih membayar denda daripada melakukan ronda
  • Anak kepala desa kesurupan, protagonis melakukan astral projection untuk menyelamatkannya

Di tempat parkir Stasiun Tegal, pamanku sudah menunggu, Bashor namanya. Begitu aku naik ke jok, Paman langsung mengatakan “Situasi kampung sekarang tidak kondusif, banyak kejadian aneh terjadi.”

“Kejadian aneh seperti apa?.”

“Banyak, pokoknya lihat nanti sendiri dah.”

“Ibumu juga ikut kewalahan akibat hal ini.”

Paman menceritakan bahwa sekarang di desa diberlakukan jam malam dan diadakan ronda bergilir. Tetapi masalahnya, para warga yang jadwal ronda lebih memilih untuk membayar denda.

“Alahasil Pamanmu ini hampir ronda setiap malam, lumayanlah dapat rokok, dapat uang pula.”

“Kenapa warga memilih untuk membayar denda?,” tanyaku.

“Kamu masih ingat Jalil?”

“Ingat.”

“Dia meninggal. Kejadiannya tiga Minggu yang lalu, waktu itu ia kebagian jadwal ronda. Nah, di jam 3 dini hari, dia pamit untuk menengok sapinya. Eh, jam 7 dia ditemukan tak bernyawa.

“Dibunuh maling?”

“Nggak tahu, tetapi badannya tercabik-cabik, seperti digigit binatang buas.”

“Teror lainnya apa?”

“Kamu lihat saja nanti di rumah.”

Rumahku terletak di pinggiran desa, berbatasan dengan hutan desa dan juga kuburan desa. Di situ hanya ada dua rumah yakni rumahku, lebih tepatnya rumah ibuku dan rumah kakekku.

“Kenapa kakek lebih memilih membangung rumah di sini?,” tanyaku kepada Almarhum Kakek 10 tahun yang lalu.

“Murah,” jawabnya singkat padat.

“Angker tetapi kek.”

“Kan angkernya di luar rumah, di dalam rumah kan nggak,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.

“Tetapi mereka suka mengganggu. Setiap malam, drakula dari Pohon Manggis suka ngetok-ngetok jendela kamarku. Hantu tentara Jepang juga sama.”

“Kamu takut sama mereka?.”

“Nggak.”

“Bagus.”

“Apa yang kamu miliki itu kelebihan dan harus digunakan untuk menolong orang, jangan malah sebaliknya. Sana masuk rumah, wayah tanggung.”

Rumahku dikerumuni oleh banyak orang, dari dalam terdengar suara teriakan menjerit-jerit. Anak-anak kecil yang berusaha untuk melihat apa yang terjadi segera diusir oleh orang-orang. “Pulang sana, nanti hantunya pindah ke kamu.” Mendapatkan larangan, bukannya malah menjadi takut, tetapi mereka mencari celah untuk bisa melihat apa yang terjadi di dalam.

“Ternyata belum sadar juga si Idzan,” ujar pamanku sambil berlalu ke rumahnya.

Aku pun menerobos masuk kerumunan orang-orang di depan rumahku. “Muan, ini anakmu pulang.”

“Iya,” ujar ibuku dari dalam rumah.

“Idzan dari kemarin sore kesurupan belum sadar-sadar,” ujar Tris tetanggaku.

Idzan sendiri merupakan anak dari kepala desa, Pak Saef. Aku tak langsung masuk ke kamar, tetapi berdiri di samping ibuku. Idzan meronta-ronta, menjerit-jerit, matanya melotot. Ibuku berusaha melakukan berbagai cara untuk menyadarkan Idzan, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Sepeninggal kakek, Ibu lah yang dimintai tolong oleh warga kampung untuk menangani hal-hal demikian.

Paman Bashor juga sebenarnya bisa, namun ia tidak percaya diri untuk melakukan itu. Kalau benar-benar terdesak, ia baru menggunakan kemampuannya itu.

“Kapten Londo bu,” ujarku.

“Sana masuk kamar, jangan ikut-ikut” kata ibu.

Ibu memang tidak suka kalau aku ikut campur hal-hal demikian. Ibu seringkali mengatakan bahwa cukup kakek dan dirinya saja lah yang harus berurusan dengan para dedemit. “Carilah profesi lain,” demikianlah ujarnya.

“Kalapun kamu memang ditakdirkan untuk menjadi seperti kakek dan ibu, kamu harus menggunakannya di umur 27 tahun.”

Kekhawatiran ibu sebenarnya beralasan. Sebab, dulu sewaktu aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, aku dibawa ke dimensi gaib. Pelakunya tentu saja Kapten Londo yang tinggal di hutan dekat rumahku. Beruntung kakek berhasil menyelamatkan diriku, atas informasi dari hantu biksu yang tinggal di kuburan.

Jika dulu aku dibawa ke alam gaib beserta badanku, maka yang terjadi pada Idzan ialah sukmanya yang dibawa ke alam gaib. Lalu siapa yang mendiami jasad Idzan sekarang? Tentu saja anak buah Kapten Londo.

Segera aku masuk ke kamar, meletakan tas, lalu bergegas mengambil wudhu. Setelah itu aku mengunci pintu kamar dan jendela. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba melakukan astral projection.

Kini aku sudah berada di jalan setapak menuju hutan. Di jalan setapak itulah aku bertemu dengan hantu biksu. Pertemuan pertamaku dengan dia cukup berbekas di kepala. Saat itu aku dan teman-temanku hendak ke sungai, di situlah ia muncul dari semak-semak mengejutkan dan menghadang kami. Tentu hanya aku yang bisa melihatnya, aku pun lari ketakutan pulang ke rumah. Teman-temanku pun keheranan, melihat aku lari sambil nangis.

Aku pun melaporkan kejadian itu kepada Kakek. Dari situlah Kakek tahu kalau aku memiliki kemampuan untuk melihat setan.

Ternyata tujuan dari hantu biksu itu baik, dia ingin mencegah kami untuk datang ke sungai. Namun, sayangnya hanya aku yang bisa melihatnya. Dua temanku yang mandi di sungai itu hilang, hingga sekarang jasadnya belum ditemukan. Katanya mereka dibawa ke kerajaan gaib Buaya Putih.

Hantu biksu itu bernama Jhina. Awalnya ia tinggal di belakang rumah salah seorang warga bersama dengan hantu suwing atau sumbing bernama Runtah. Namun, mereka berdua selalu mendapat perlakuan diskriminasi dari hantu-hantu yang lain. Akhirnya oleh kakek mereka dipindahkan ke kuburan desa.

Aku sendiri tidak tahu pasti bagaimana dan kenapa Jhina ini bisa menjadi hantu, tetapi yang pasti ada urusannya di dunia yang belum selesai. Tetapi menurut kakek, Jhina diperintahkan oleh gurunya untuk mencari keris pusaka, hingga sampailah ia ke daerah yang sekarang menjadi kampungku. Namun, belum sempat ia menemukan keris itu, Jhina dibunuh oleh perampok.

Sementara Runtah, dia pernah menceritakan kepadaku kenapa ia bisa menjadi hantu. Ia merupakan anak yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Setelah ia lahir ke dunia ini, Runtah langsung dibuang ke panti asuhan. Ketika memasuki sekolah dasar, ia mulai bertanya-tanya tentang siapa orang tuanya.

Pengasuh panti asuhan kemudian memberitahu kejadian 6 tahun silam kepada Runtah. Kemudian ia kabur dari panti asuhan hendak mencari kedua orang tuanya. Di jalan ia tidak terurus sama sekali, hidup menggelandang. Sampai kemudian ketika di pagi hari buta di depan mall, ia tertabrak kontainer.

Meskipun sudah meninggal ia terus mencari kedua orang tuanya, hingga sampai di kampungku. Di sini ia bertemu dengan Jhina, sejak saat itu ia tidak ke mana-mana. Mungkin ia menemukan kasih sayang dari sosok Jhina, sehingga kemudian ia lupa akan tujuannya mencari orang tuanya.

Lalu aku pun menceritakan tentang apa yang dialami oleh Idzan. Jhina pun meminta untuk ikut denganku.

Aku pun masuk ke dalam hutan, tidak ada hambatan yang berarti. Aku pun heran ke mana penghuni hutan yang lain.

“Tadi aku minta ke Runtah untuk menculik anak-anak hantu penunggu hutan ini,” ujar Jhina.

Ternyata Idzan terikat pada sebuah pohon di tengah hutan, wajahnya pucat ketakutan. Aku pun segera melepas tali yang mengekangnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara teriakan di ujung hutan. Jhina pun meminta agar aku segera kembali ke rumah.

Setelah mengucapkan doa yang diajarkan oleh kakek, dalam sekejap kini aku kembali ke kamarku. Aku pun bangun dari tempat tidur, bersamaan dengan itu di luar orang-orang mengucapkan Alhamdulillah. Tak berselang lama, orang-orang pun pada pulang ke rumahnya masing-masing.

Lalu ibu mengetuk pintu kamarku. Aku pun membuka pintu kamar, ia langsung menanyakan keadaanku. Dari raut wajahnya tampak jelas terlihat kekhawatiran.

“Kamu dibilangin rewel. Ibu itu takut kalau terjadi apa-apa sama kamu.”

“Kan kata Ibu kalau umurku sudah 27 tahun, Aku boleh menggunakan kemampuan yang aku miliki. Sekarang umurku 29 tahun.”

“Iya deh, iya,” ujar ibu sambil tersenyum.

“Kan umur 29 tahun, kapan kamu mau ngenalin calon ke Ibu.”

“Ah, ibu sama kayak yang lain, nanyanya nikah. Tuh suruh Paman Bashor untuk menikah dulu, baru nanti aku.”

Ibu Lalu menyuruhku untuk makan. Ia telah menyiapkan makanan kesukaanku, ayam goreng. “Makan yang banyak yah, Ibu mau ke rumah Nenek dulu.”

Baca Juga: [CERPEN] Jejak Renungan di Bawah Langit Senja

Malik Ibnu Zaman Photo Writer Malik Ibnu Zaman

Penulis Partikelir

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya