[CERPEN] Kereta, Kenangan, dan Rasa yang Tak Tersampaikan

Pandangan pertama, aku langsung tertarik padanya 

Perkenalkan namaku Elzee Ramadhan, orang-orang biasa memanggilku Elzee. Aku berasal dari Desa Jejeg, sebuah wilayah yang terletak di kaki Gunung Slamat. Sekarang ini aku tinggal di Kampung Utan, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.

Sudah 3 bulan ini kegiatanku hanya di kosan saja. Biasanya setiap hari Senin dan Jumat aku pergi ke kantor di kawasan Kramat Raya, bekerja sebagai seorang redaktur media massa bernama Rembes Online. Di media tersebut, aku menggawangi rubrik sastra dan budaya. Bahkan aku punya rubrik tersendiri bernama Poleng, di mana di rubrik tersebut aku menjawab pertanyaan dari pembaca berkaitan dengan hal-hal horor.

Tetapi, bulan Mei yang lalu aku dipecat secara sepihak. Masih mending kalau dapat pesangon, gaji saja hanya dibayar separuh. Aku malas untuk protes dan tidak mau berlarut-larut.

Semua ini bermula ketika Bulan Januari, Pemimpin Redaksi (Pimred) lamaku, Mas Alwi, mengundurkan diri. Sebabnya, ia diminta pulang ke rumah, mengurus sekolah warisan ayahnya. Kami para kru tentu saja merasa berat hati, sebab ialah yang selalu pasang badan, membela hak-hak kami dari kesewenangan manajemen.

Hanya selang beberapa hari, Rembes Online sudah mendapatkan Pimred baru. Avin namanya, sebelumnya merupakan Pimred Keset Online. Tentu aku merasa heran, bisa-bisanya Rembes Online menerima Avin sebagai Pimred. Barulah aku tahu kalau dia ternyata memiliki kedekatan dengan Direktur Utama Rembes Online. Aku banyak mendengar cerita tentang Avin dari teman-temanku yang bekerja di Keset Online. Kata mereka, Avin suka memecat karyawan secara sepihak, istilahnya meng-cut.

“Dia tuh suka mabuk dan main cewek,” ujar Suci saat menelponku menanyakan terkait kebenaran Avin yang diangkat menjadi Pimred Rembes Online.

“Pokoknya suruh cewek di sana pada hati-hati dah.”

Dari Suci pula aku mendapatkan informasi bahwa Avin dikeluarkan dari Keset Online karena melakukan pelecehan seksual kepada salah satu jurnalis. Ketika mau diusut, ia menghilang, dicari ke mana-mana tidak ketemu. Akhirnya korban pun memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus itu karena minimnya bukti dan jejaring Avin yang kuat.

“Hati-hati kamu, jangan-jangan nanti kamu dikeluarkan,” kata Suci.

Apa yang dikatakan Suci benar-benar terjadi. Awalnya, aku tidak langsung dikeluarkan, tetapi diturunkan kembali menjadi jurnalis lapangan pada bulan Februari. Rubrik yang aku kelola pun dihapuskan tanpa ada alasan apa-apa, beberapa kru dikeluarkan secara sepihak. Pada tanggal 27 Mei Aku dipanggil ke ruang kerjanya. Tanpa basa-basi ia memecat diriku dengan alasan tidak memiliki ijazah sarjana.

“Perusahaan harus profesional. Salah satu upaya profesional itu, karyawan harus memiliki ijazah sarjana.” Hari itu juga aku langsung membereskan barang-barangku dan berpamitan kepada yang lain.

Aku pun kembali menjadi penulis partikelir, penulis tanpa tuan, bergerilya dari satu media ke media lain. Akan tetapi hasil honorku jauh dari UMR Jakarta, hanya cukup untuk membayar kosan dan makan dengan sehemat-hematnya.

Di bulan kedua menganggur, aku mencoba membuka jasa klenik, mulai dari memindahkan setan, hingga menghitung weton. Tentu saja yang positif-positif, tidak menerima yang negatif-negatif. Namun, usaha klenikku sepi, tidak banyak pasien yang datang untuk berkonsultasi. Keluargaku dari pihak ibu memang dikenal memiliki kemampuan semacam itu. Bahkan kakek buyutku terkenal sebagai ahli kebatinan tanpa tanding.

Pada akhirnya ibuku pun menelepon memintaku untuk menetap di kampung saja, toh pekerjaanku sebagai penulis partikelir bisa dari mana saja. Dengan menetap di kampung, menurut ibu honorku bisa utuh, sebab aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk bayar kosan dan makan.

“Honormu itu dikumpulkan buat modal nikah, Ibu tuh pengen kamu segera menikah, umurmu sudah 29 tahun.”

“Calon aja belum ada, gimana mau nikah.”

“Ya, makanya cari.”

“Kedua adikmu itu, nggak mau ngelangkahin kamu.”

“Nggak papa, kalau mau langkah-langkah saja. Aku nggak marah kok.”

Barang-barang seperti buku yang banyak jumlahnya, baju-baju, lemari, dan kasur, aku kirimkan lewat ekspedisi dua sebelum kepulangan.

Pulang ke Tegal, aku memutuskan untuk naik kereta api dari Stasiun Pasar Senen. Aku sudah duduk di tempat duduk. Sementara orang-orang masih banyak yang lalu lalang masuk, mencari tempat duduk sesuai dengan nomor kursi pada tiket. Kursi sampingku dekat jendela masih kosong.

Ketika suasana sudah kondusif dan beberapa menit lagi kereta melaju, seorang perempuan berkerudung hitam, menjinjing koper berdiri di sampingku. Lalu menaruhnya di bagasi.

“Permisi….”

Ouh iya silahkan,” ucapku berdiri memberikan untuknya jalan lewat.

Perempuan itu duduk. Lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. “Hai….? 

“Hai…..” ujarku kaget.

Aku masih berusaha untuk mengingat-ngingat, siapa perempuan ini. Mukanya tidak asing, rasanya pernah bertemu, tetapi entah di mana. Aku pun kembali menatap lurus ke depan, mengambil bukuku yang tadi kututup sebab sudah tamat kubaca. Lalu, aku pura-pura membacanya.

“Mau ke mana?,” tanyanya

“Tegal.”

“Kamu Elzee, kan?”

Aku pun menoleh kaget. Belum sempat aku bertanya, ia mengatakan “Aku Winda”.

Seketika ingatanku terbawa ke 6 tahun yang lalu, saat di mana aku masih berumur 23 tahun. Waktu itu aku bersama Kang Syakur ditugaskan untuk mengisi pelatihan jurnalis baru pada subdomain Rembes Online yang bernama Rembes Jateng Online.

Pandangan pertama, aku langsung tertarik padanya. Sesampainya di Jakarta, aku mulai mencari tahu lebih jauh tentang Winda. Kang Syakur tentu saja menjadi tempat dalam aku mencari informasi tentangnya. Tetapi sayang, bukan informasi yang didapat, justru darinya lah tersebar kalau aku sedang berusaha untuk mendekati Winda. Sudah barang tentu informasi itu sampai ke Winda.

Aku berusaha untuk mengirimkan pesan Instagram kepadanya, namun tak kunjung dibalas, bahkan sampai detik ini. Tidak menyerah, aku pun mencari tahu alamatnya. Sehingga didapatkanlah alamat kosannya di Semarang. Segera aku mengirimkan beberapa buku ke alamatnya, tentu disertai dengan sepucuk surat, berisi ketertarikanku terhadap dirinya.

Berhari-hari, berbulan-bulan menunggu, sampai aku lupa. Ia tak pernah membalas surat dariku.

“Kenapa kamu tidak menghubungiku?,” tanyanya lagi.

“Gimana-gimana,” ujarku.

“Jawaban surat dari kamu, sudah aku kirimkan.”

“Lewat apa?.”

“Lewat Rezi.”

“Ah, pantas saja, nggak akan nyampai. Dia kan ada rasa sama kamu.”

Jawabanku ini lantas membuat ia mengernyitkan. Ia lalu menanyakan kepadaku, apakah aku sudah menikah. Aku pun menggelengkan kepala. Jawaban inipun membuat raut wajahnya berubah.

“Kamu sendiri bagaimana?” tanyaku memecah keheningan.

“Bagaimana apanya?,” Winda bertanya balik.

“Ya, sudah menikah apa belum?.”

“Sudah, empat tahun yang lalu.”

“Kok, aku nggak diundang?.” Ia pun hanya tersenyum manis dengan pertanyaanku ini.

Lalu aku pun menanyakan dengan siapa Ia menikah. Winda pun nampak ragu untuk menjawabnya. Tetapi kemudian ia memberanikan diri untuk menjawab, bahwa ia menikah dengan Rezi.

Suasana menjadi hening kembali, hanya ada suara roda kereta yang berjalan di rel. Hatiku sakit rasanya, seperti tercabik-cabik. 

Rezi sendiri masih temanku, ia pernah menjadi Kepala Biro Rembes Jateng Online. Pantas saja, satu tahun yang lalu ketika ia menikah, aku satu-satunya yang tidak diberi undangan. Ketika aku menanyakan kepada temanku yang lain Rezi menikah dengan siapa, tidak ada satupun yang memberikan jawaban. Ya, mungkin mereka takut aku terluka.

“Maaf,” ujarnya.

“Maaf untuk apa?,” tanyaku.

“Ya, pokoknya maaf.”

Suasana pun kembali hening lagi. Lalu ia menanyakan kenapa tulisanku sudah tidak pernah muncul lagi di Rembes Online. Aku menjawab bahwa sudah tidak lagi di Rembes Online. Ia pun mengatakan kalau dirinya sekarang sudah tidak lagi bekerja di Rembes Jateng Online, sekarang ia menjadi dosen di Semarang.

“Kalau Mas Rezi sekarang meneruskan perusahaan bapaknya di bidang tambang.”

Hatiku sedang kacau, jika sudah demikian rasa kantuk akan hinggap. Aku pun pamit untuk tidur, dengan alasan semalam belum tidur. Tak lupa, aku meminta Winda untuk membangunkan diriku, tatkala sampai Tegal.

Tak butuh waktu lama bagi diriku untuk berpindah ke alam mimpi. Memang inilah aku, mudah tidur jika sedang galau.

Winda membangunkanku tiga menit sebelum kereta api sampai stasiun Tegal. Segera aku ambil tasku di bagasi atas. Aku melihat wajahnya tampak sembab, ia berusaha untuk memalingkan wajahnya dariku. Sebenarnya aku tahu dia mau menceritakan sesuatu, namun melihat responku tadi yang memilih untuk tidur ia tidak jadi menceritakannya. Aku tidak mau menebak-nebak apa yang terjadi pada Winda. Akupun tidak berharap untuk memilikinya, bagiku ia adalah masa lalu dan fokusku adalah hari ini serta masa depan.

“Win, hati-hati, ya.”

“Iya mas.”

Baca Juga: [CERPEN] Jejak Renungan di Bawah Langit Senja

Malik Ibnu Zaman Photo Writer Malik Ibnu Zaman

Penulis Partikelir

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya