[Cerpen] Kencleng Masjid

"Ikram itu bermasalah, Mas. Anak-anak yang tadi datang bukan yang pertama kali. Sudah puluhan orang datang dengan laporan sama."

 

Selesai mengucapkan salam di rakaat terakhirnya, lelaki itu langsung mengeluarkan telepon genggam dari saku baju kokonya.

Sebuah pesan masuk, dari istrinya di rumah.

'Mas, Ikram bikin masalah lagi.'

Lelaki itu menarik napas panjang. 

Kriiing ...

Teleponnya berbunyi.

"Halo, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Sahut suara di seberang.

"Gimana, Zul?" Tanyanya.

"Sudah siap Pak Haji. Hanya tinggal koordinasi dengan remaja masjid nih" Zulkifli, lawan bicaranya menerangkan.

"Kok lama? Bukannya sudah saya instruksikan dari awal rapat? Sudah mendesak ini menuju Idul Adha,"

"Iya Pak Haji, kemarin sempet kepikiran untuk mengerahkan bapak-bapak saja ..."

"Kita kurang orang Zul, komplek kita itu besar, penanganan qurban tahun lalu saja kita hampir keteteran, makanya kita butuh remaja masjid."

"Iya, iya Pak Haji. Cuma sekarang katanya lagi musim ujian. Beres qurban anak-anak itu akan langsung menghadapi tes. Beberapa orangtua sempat keberatan, takut kecapean besoknya ga bisa ..."

"Omong kosong! Anak remaja itu perlu diajari bagaimana menempatkan kepentingan agama di atas segalanya. Nanti malam saya umumkan di Masjid!"

Ia menutup telepon.

"Assalamualaikum!!"

Istrinya tergopoh-gopoh keluar rumah sambil menjawab salam. Terdengar ia bercakap-cakap di pintu pagar.

Tak lama, istrinya muncul.

"Mas, ada yang cari Ikram lagi"

Ia masih asik membuka lembaran-lembaran koran hari ini. Bersantai sejenak.

"Mas?"

"Suruh pergi saja."

"Ga enak Mas, sama tetangga. Ada berlima sekarang. Katanya Ikram berhutang pada mereka semua."

"Kamu tanya ga buktinya apa?"

Istrinya terdiam.

"Tuh kaan ... Sudahlah suruh pergi saja. Kecuali mereka datang dengan bukti kongkrit hitam di atas putih, baru aku mau layani"

Istrinya beranjak ke pintu depan. Tak lama terdengar para tamu di luar mengucapkan salam dan hening.

Ia membuka lembaran terakhir. Huh, berita gosip ternyata.

"Mas?"

Ia menoleh. Istrinya sudah muncul lagi di hadapannya. Wajahnya takut-takut.

"Apa lagi?"

Istrinya menarik napas panjang.

"Sampe kapan sampeyan mau pura-pura?"

"Maksud kamu?" Koran ia lipat.

"Ikram itu bermasalah, Mas. Anak-anak yang tadi datang bukan yang pertama kali. Sudah puluhan orang datang dengan laporan sama. Ikram pinjam uang mereka, merampas jaket, meminjam motor tanpa dikembalikan. Untung saja tidak ada yang lapor polisi."

"Lah, itu kan kata mereka ..."

"Kalo cuma 1 atau 2 mungkin mereka bohong, Mas. Ini puluhan loh."

"Maksud kamu apa?!" Suaranya mulai meninggi.

Istrinya langsung mingkem.

"Jangan mentang-mentang Ikram anak dari pernikahanku yang sebelumnya, kamu jadi seenaknya menuduh dia! Sebagai ibu tirinya seharusnya kamu ikutan sayang ... Dia itu anak yang baik."

"Mas, bukan itu maksud aku ..."

"Kamu mau permalukan aku, begitu? Ikram bukan anakmu jadi kamu merasa lepas tangan, begitu? Asal kamu tahu saja, di sini tidak ada yang tidak kenal aku. Ketua DKM Masjid itu bukan jabatan main-main."

Istrinya tak berani ngomong apa-apa lagi. Dari pengalamannya, ia tahu, lebih baik ia diam.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Demikianlah, hari demi hari puluhan orang berduyun-duyun, bergantian menyambangi rumah Pak Haji, dengan tujuan melaporlan perbuatan Ikram, anak tertuanya. Semua pulang dengan tangan hampa dan rasa segan. Bagaimanapun Pak Haji orang terpandang di sana.
"Bagaimana? Semua sudah dihitung?" Pak Haji duduk melingkar di pelataran Masjid bersama Bapak-bapak DKM lainnya.

"Sudah Pak, semua data warga yang mau qurban, yang infak dan shodaqoh semua sudah tercatat," Pak Masnal, bendahara DKM menjawab.

"Alhamdulillah, bagus, bagus."

Ia menoleh pada Pak Gustian, yang menangani kepanitiaan qurban.

"Kepanitiaan?"

"Siap pak. Personil semua sudah siap, termasuk para remaja masjid. Kita optimis sebelum zuhur semua daging qurban sudah dibagikan."

Pak haji manggut-manggut.

"Euuuh, Pak Haji ... Ada satu masalah." Pak Masnal kembali angkat bicara.

"Kenapa, Pak?"

"Begini Pak, untuk nambahin upah jagal dan konsumsi panitia, saya mengandalkan kencleng masjid selama 3 bulan terakhir ini. Sengaja saya tidak buka selama 3 bulan supaya agak besar jumlahnya. Kalau masih ada sisa bisa untuk shodaqoh fakir miskin juga"

"Ya bagus, itu ... Lalu?"

"Mmh ... Masalahnya kencleng Masjid kemarin sore raib, Pak."

"Apa??!! Kok bisa??"

"Itulah Pak, terakhir saya sudah menyuruh beberapa remaja untuk siap-siap menghitung, eh taunya keburu hilang."

"Kapan hilangnya? Kenapa ga ada yang tau? Ga dijaga?" Suaranya meninggi sekarang.

"Eh, saya sudah suruh para remaja masjid untuk melakukan investigasi. Apakah ada diantara mereka yang lihat atau dengar sesuatu yang mencurigakan"

"Lah iya! Kencleng Masjid itu besar toh, kalopun digotong berat sekali itu"


Tiba-tiba terdengar bunyi ribut-ribut di luar.


"Pak! Pak!" Sekitar lima orang remaja mendatangi yang sedang berkumpul. Mereka datang sambil menyeret seorang pemuda lainnya. Pemuda itu mengalami lebam di pipi dan ujung bibirnya berdarah.

Bapak-bapak yang sedang duduk sontak berdiri.

"Ada apa ini? Itu siapa??"

Ilham, salah satu remaja masjid,menjawab

"Kami temukan dia di semak-semak ujung komplek Pak, bersama kencleng Masjid kita."

Si pemuda yang berdarah-darah kemudian didudukkan begitu saja di lantai. Ia mengaduh pelan. Sekarang terlihat memar-memar lain di setiap sudut wajahnya. Nampaknya ia sempat mendapatkan "oleh-oleh" dari para remaja masjid.


"Hei, benar kamu mencuri kencleng masjid kami?" Suara Pak Haji menggelegar.

Si pemuda diam saja.

"Hei, jawab!"

Salah seorang remaja masjid menyenggol kaki si pemuda.

"Saya cumaaaa ... Suruhan pak," ia meringis merasakan perih di sudut bibirnya.

"Bohong! Mana uang kencleng?"

"Bener Pak, sumpaaaah. Saya cuman diminta bantuan menggotong kotak kencleng. Habis itu saya diupah 200 rb. Semua isi kencleng sudah diambil."

"Diambil siapa?!!"

"Orang sini juga pak"

"Iya, siapa?!!"

"Yang rumahnya di ujung jalan Melati."

Jantung Pak Haji serasa berhenti berdetak. 

"Mas yang suka pake motor matic warna hitam. Sering nongkrong di warung kopi, makanya ketemu saya."

Beberapa bapak-bapak mulai saling melirik.

Pak Haji mundur selangkah.

"Kalo ga salah, namanya Mas Ikram."

Semua bapak-bapak, berikut para remaja masjid memandang Pak Haji.

Hening.

 


 

 

 

Irma Susanti Irsyadi Photo Writer Irma Susanti Irsyadi

hanya seorang pecinta kata-kata, yang menghabiskan waktunya untuk menonton film dan membaca buku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya