[CERPEN] Perginya Perempuan Sunyi

Sesaat lagi, aku tak akan merasakan kesunyian itu

 

Matahari begitu semangat menjilati setiap sudut kota Surabaya. Kegemasannya tak mampu dibendung oleh kelembutan barisan awan yang tangguh. Beratus bahkan beribu pasang mata menyipit, menyerah dengan kegarangan sinar matahari yang terang benderang.

Di suatu sudut pinggiran kota Surabaya, ia duduk terdiam. Matanya menerawang kosong. Hampa. Mengiris-iris hati siapapun yang melihatnya.

“Mengapa bersedih? Adik dan keponakanmu bahkan belum benar-benar hilang dari pandanganmu,” ujar malaikat yang telah menjaganya selama 70 tahun ini.

“Aku bahagia,” senyumnya mengembang tipis. Terasa kecut. Malaikat duduk di sampingnya. Ia membuka catatannya. Perempuan itu memandang takjub pada wajah malaikat yang bersinar, senyumnya sungguh mendamaikan. Ia melirik sekilas buku catatan si malaikat, tapi ia tak menemukan apapun, selain kumpulan kertas putih yang bersinar. Kosong. Tanpa tulisan.

“Apa yang kamu lihat? Mengapa senyummu begitu bahagia?” tanya perempuan tua itu penasaran.

“Catatan hidupmu.”

Kening perempuan tua berkerut. Ia yakin, hidupnya tak semanis senyum malaikat itu. Ia berusaha keras mengingat-ingat bagian hidupnya yang membahagiakan.

“Kamu menunggu suami dan anak-anakmu, bukan?” kali ini malaikat yang bertanya, memotong jalan kenangan si perempuan tua.

“Kamu sungguh mengetahui isi hatiku. Ini hari ke tujuh, dan mereka masih belum datang. Hari pertama, aku memaklumi karena pasti sibuk mempersiapkan malam-malam doa untukku. Hari ke dua, aku masih memaklumi karena mereka pasti sibuk beradaptasi dengan berbagai perubahan setelah kepergianku. Di hari ke tiga, aku berharap mereka merindukanku dan mengunjungiku. Tapi ini sudah hari ke-tujuh. Sekalipun mereka tidak merindukanku, seharusnya hari ini mereka merindukanku.

Wajah pucatnya semakin pucat. Sinar matanya kosong, gelap, tidak menunjukkan kehidupan sama sekali. Kali ini, ia tidak menangis. Tidak seperti biasanya. Ia tertunduk rapuh. “Aku merindukan mereka,” ujarnya lirih. Begitu lirih. Terasa perih di hati malaikat penjaga, dan perih itu semakin menjadi-jadi ketika panasnya matahari menjilat-jilat kulit.

**

Malam belum beranjak jauh, saat Wiparita merasakan sesak di dada yang luar biasa. Dunia berubah menjadi remang dalam pandangannya. Tubuhnya terasa dingin, saat keringat sebiji beras merobek kulitnya satu per satu. Ia mengalami kesulitan bernapas yang hebat. Tangan kanan dan kirinya bergantian memijit-mijit dada yang terasa sakit.

Wiparita yang sedari tadi memijit setiap sudut dadanya, tak mampu menemukan titik sakit yang pasti. Bibirnya yang merah jambu mulai mengering. Warnanya semakin lama semakin memudar. Bibirnya setengah terbuka, seperti ikan yang mencoba bernapas untuk bertahan hidup.

“Aku harus ke rumah sakit,” katanya terbata-bata, napasnya terengah-engah. Suaminya hanya mampu meringis prihatin. Tak ada inisiatif untuk menelepon putri sulung, dan menyuruhnya segera pulang. Wiparita buru-buru meraih ponsel dan memanggil taksi. Dengan terhuyung-huyung, ia memasukkan beberapa dokumen kesehatan miliknya, dompet, dan ponsel.

Untunglah taksi yang dipesan segera tiba. Ia masuk dengan langkah yang lemah, padahal otaknya telah memerintahkan untuk berlari masuk ke dalam taksi. Supir taksi yang sigap, segera beranjak dan menuntun Wiparita untuk masuk ke dalam taksi.

“Ibu sakit? Apa tidak ada keluarga di rumah?” tanya supir prihatin. Wiparita menggeleng lemah.

“Tolong ke rumah sakit di depan, pak.”

“Baik bu, hati-hati masuknya.”

Sang supir seperti tak ingin kalah dari waktu, ia segera menjejak pedal gas secepat mungkin. Jarak dari rumah Wiparita ke rumah sakit tidaklah jauh, mungkin hanya 1 kilometer. Meski dekat, suaminya yang begitu bergantung dengan kursi roda tidak bisa melakukan banyak hal untuknya. Mengantarkan ke rumah sakit pun, ia tak mampu.

Wiparita tergolek lemah di dalam taksi. Waktu terasa begitu lamban, Wiparita merasa tak mampu bertahan lebih lama. Ia berdoa dalam hati,, agar Tuhan memotong jarak satu kilometer itu menjadi seratus meter saja. Ia sungguh tak memiliki daya untuk bertahan. Dunia semakin terasa gelap dari waktu ke waktunya.

“Pak! Tolong kursi rodanya! Ibu ini dalam keadaan darurat!” suara supir taksi mengejutkan jantung Wiparita. Ia seperti kembali ke dunia, setelah sesaat ruh-nya sempat melayang ke dunia yang lain.

Samar-samar, Wiparita melihat segerombolan manusia berseragam dengan warna yang tak jelas, berlari ke arahnya. Ada yg menyiapkan kursi roda, ada yang membopong tubuhnya yang lemah, dan seketika dia merasakan tubuhnya melesat ke dalam sebuah ruangan yang terasa riuh. Mereka membaringkan tubuhnya yang lemah ke atas tempat tidur.

Sayup-sayup terdengar suara dokter yang timbul tenggelam. Dengan sekuat tenaga, Wiparita mencoba membuka matanya. Perlahan, wajah dokter dan perawat tergambar jelas dalam pandangannya. Mereka terlihat cemas. Wiparita mencoba mendengar dengan seksama yang mereka tanyakan.

 “Ibu, saya boleh pinjam ponsel ibu? Saya harus menelepon keluarga ibu, kami harus minta mereka datang kemari.”

Wiparita menggeleng. Ia menggenggam ponselnya lebih kuat. “Jangan hubungi mereka dok, beritahu saya saja apa yang harus saya lakukan?” Wiparita memohon dengan menahan rasa sakit.

“Tidak bisa ibu, kami harus menghubungi keluarga ibu. Dengan keadaan ibu yang seperti ini, kami memerlukan kehadiran keluarga ibu,” dokter mendesak. Namun Wiparita tak goyah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Berbagai tindakan nekat diambil dokter demi menyelamatkan Wiparita. Mereka berusaha memperpanjang usia Wiparita dengan kejut jantung, memompanya dengan kedua telapak tangan, namun gagal. Wiparita telah memilih rumah sakit sebagai tempat berpulangnya. Dalam keadaan sendiri. Sunyi. Seperti biasanya.

“Dokter Melinda, kita sudah berusaha. Pasien meninggal dunia pukul 20.30 wib. Tanpa sanak keluarga yang mendampingi,” ujar perawat saat melepaskan masker oksigen dari wajah Wiparita.

Dokter Melinda yang terduduk lemas, mengusap air matanya yang menetes tanpa kendali. Ia melepaskan ponsel dari tangan Wiparita yang masih kuat menggenggam.

“Coba cari KTP ibu ini,” pinta Melinda pada perawat yang segera saja menemukan KTP dalam tas Wiparita.

“Halo?” suara lelaki di seberang sana terdengar panik. Mungkin hatinya sudah merasakan sesuatu yang tidak beres.

“Selamat malam bapak, saya dokter Melinda yang menerima pasien atas nama ibu Wiparita. Apa beliau keluarga bapak?”

“Ya benar! Ada apa dengan istri saya dok?” suara lelaki tua itu bergetar.

“Mohon maaf sebelumnya pak… kami sudah berusaha menyelematkan nyawa ibu, namun Tuhan berkehendak lain. Pukul 20.30, ibu Wiparita te…”

“Hahh!” terdengar teriakan histeris dari pria yang terdengar lemah, “Innalillahi wa innaillaihi rojiun,” sambungnya dengan rintihan sedih yang memilukan hati.

“Mohon bapak dan keluarga segera menjemput jenazah ibu Wiparita.”

**

“Setelah ini, kamu akan memiliki kehidupan yang baru. Kamu harus mengiklaskan kehidupanmu yang sebelumnya, Wiparita,” ujar malaikat. Terdengar teduh.

“Aku ingin memulai kehidupan yang baru, setelah aku memastikan sesuatu,” sahut Wiparita, dengan suara yang masih menyayat hati..

Jauh di dalam lubuk hatinya, Wiparita ingin agar Tuhan menjawab pertanyaannya selama ini. Pertanyaan yang sudah ada sejak ia masih menghirup udara bumi. Pertanyaan yang tak pernah terjawab hingga detik ini. Apakah ia pernah berarti di hati anak dan suaminya?

Bahkan di hari perpisahan yang benar-benar akhir pun, Wiparita tidak melihat kehilangan di hati suami dan anaknya. Jenazahnya baru dijemput 5 jam setelah kematiannya. Ketika jenazah Wiparita tiba, si sulung bahkan tak berada di dekatnya. Tidakkah kamu ingin melihatku untuk terakhir kalinya, nak? Tanya Wiparita dalam ketiadaannya.

“Mereka lebih memilih berada di mobil menemani sanak keluarga yang lain, daripada berada di ambulans menemani jasadku yang dalam hitungan menit benar-benar menghilang dari pandangan mereka. Selama-lamanya.”

“Untuk apa menyesalinya? Toh kamu sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik. Kamu sudah menjadi istri yang setia menjaga suami dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakitnya. Kamu tak pernah mengeluh, sekalipun kamu sendiri nyaris pingsan karena kelelahan merawatnya.”

Malaikat membalik lembaran dalam bukunya, dan melanjutkan, “Kamu juga sudah menjadi ibu yang baik. Kamu berikan pendidikan yang baik, kamu penuhi segala kebutuhannya. Kamu doakan masa depan yang terbaik untuk mereka. Tak perlu kamu risaukan pertanyaanmu. Cinta yang tulus, tak mengharapkan apa-apa, Wiparita,” ucap malaikat dengan lembut, namun terdengar tegas dan bijaksana.

“Apakah permintaan untuk selalu dikenang oleh mereka adalah sebuah permintaan yang berlebihan, malaikat?” tanya Wiparita ragu-ragu.

Malaikat menggeleng pelan. Ia tersenyum menyejukkan. “Aku bocorkan satu rahasia untukmu, Wiparita. Suatu hari nanti, kedua anakmu akan selalu mengenangmu dalam setiap langkahnya. Mereka akan sangat berterima kasih karena telah lahir dari rahim perempuan tangguh sepertimu.”

“Kapan itu terjadi?” Wiparita bertanya dengan penuh semangat.

“Saat mereka menjadi orang tua. Menjadi seorang ayah dan ibu dari darah daging mereka. Kamu akan bahagia mendengar doa tulus mereka.”

Wiparita tersenyum. Dalam hati, ia tak sabar menanti waktu itu tiba. Tatapan matanya kembali berbinar. Ia bangkit dari duduknya, dan mengikuti langkah malaikat yang hanya beberapa langkah di depannya.

Kenangan semasa hidup kembali mengitarinya. Ia tersenyum, sekalipun kenangan yang melintas bukanlah kenangan yang manis. Ia lega telah melakukan sesuatu yang benar. Ia lega telah menjadi istri dan ibu yang baik.

Benar kata malaikat, cinta yang tulus tak mengharapkan balasan apapun. Aku berterima kasih pada Tuhan atas semua yang telah diberikan-Nya padaku. Sekalipun aku pergi sebagai perempuan yang sunyi, aku bahagia. Sesaat lagi, aku tak akan merasakan kesunyian itu. Tuhan telah menarikku dari kesunyian yang panjang. Lirih Wiparita saat memasuki kehidupan yang baru.

 

 

Astrid Septaviani Photo Writer Astrid Septaviani

Tulisan adalah sahabat terbaik manusia.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya