TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[PUISI] Peci Hitam Kiai

Tegal, kau saksi bisu perjuangan dan pengorbanan

ilustrasi puisi berjuang (pixabay/Mohamed Hassan)

Dalam kisah yang tak lekang oleh masa, Tegal menyimpan cerita penuh luka.
Pada agresi pertama, Belanda berkuasa, Pondok Babakan menjadi markas utama.

Pasukan Hizbullah dengan semangat berkobar, dipimpin oleh Kiai Ma’shum Mufti yang sabar.
Namun, Belanda mencium kehadiran mereka, menyerbu pondok, memecah damai yang ada.

Kiai Ma’shum sempat pergi meninggalkan pondok.
Namun, peci hitamnya tertinggal ia pun kembali bertolak.
Saat ia mengambilnya, Belanda telah tiba.
Dengan peluru, mereka menghantarnya ke surga.

Syahidnya Kiai Ma’shum dalam kesetiaan, peci hitam menjadi simbol penghormatan.
Para santri mengenakannya setiap waktu, mengenang sang kiai yang teguh dan lugu.

Kiai Muhammad Syafi’i Mufti, Panglima Hizbullah yang gagah.
Tertangkap Belanda, diarak penuh resah.
Diikat pada panser, dipertontonkan tanpa belas, dari Desa Kajen hingga Desa Kalibakung yang beralas.

Berbagai upaya Belanda untuk menghabisinya.
Namun, Kiai Muhammad tetap tegar dan setia.
Hingga akhirnya ia memberi tahu cara, membaca bismillah, penutup hidup yang mulia.

Di Hutan Kalibakung, di Bukit Tempeh ia terbaring.
Syahid dengan 16 jasad lain yang mering.
Termasuk empat prajurit ALRI yang gagah berani.
Menghadap Ilahi dalam syahid yang hakiki.

Tegal, kau saksi bisu perjuangan dan pengorbanan.
Kisah ini akan selalu terkenang dalam ingatan.
Kiai Ma’shum dan Kiai Muhammad, pahlawan bangsa, dalam doa dan cerita, nama mereka selalu terpatri dalam rasa.

Baca Juga: [PUISI] Rintik Rasa yang Terucap

Writer

Malik Ibnu Zaman

Penulis Partikelir

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya