Sejarah Undang-Undang Tapera: Ditolak di Era SBY, Disahkan Jokowi

UU Tapera disahkan Jokowi pada 2016

Intinya Sih...

  • Presiden Jokowi mewajibkan iuran Tapera 3 persen dari upah bulanan pekerja, dengan 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen oleh perusahaan.
  • RUU Tapera pertama kali diusulkan pada periode 2014-2019, ditolak di era pemerintahan SBY, tetapi disahkan oleh Jokowi pada 24 Maret 2016.
  • Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2020 dan PP Nomor 21 Tahun 2024 terkait penyelenggaraan Tapera.

Jakarta, IDN Times  - Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mewajibkan seluruh pekerja di Indonesia membayar iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera).

Iurannya sebesar 3 persen dari upah atau gaji bulanan pekerja, di mana 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja (perusahaan). Iuran Tapera akan mulai dipotong setiap bulannya pada 2027.

Tapera adalah kebijakan yang diinisiasi melalui Undang-Undang (UU) Tapera. UU tersebut diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, UU Tapera merupakan Rancangan Undang-Undang (RUU) pertama yang diusulkan DPR pada periode 2014-2019.

Baca Juga: Buruh Ancam Aksi Besar-besaran Tolak Program Tapera

1. Gagal disahkan di masa Pemerintahan SBY

Sejarah Undang-Undang Tapera: Ditolak di Era SBY, Disahkan JokowiSBY saat menemui kader Partai Demokrat di Malang. (Dok. Partai Demokrat)

RUU Tapera masuk dalam Prolegnas 2014. Namun, RUU itu gagal disahkan karena ditolak oleh pemerintahan SBY.

Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang berada di bawah Kantor Wakil Presiden, Ari Perdana membeberkan RUU itu ditolak oleh Wakil Presiden ke-11 Boediono.

Dalam cuitannya di platform media sosial X, Ari mengatakan Boediono berupaya agar Tapera tidak lolos di DPR. Sebab, Boediono melihat manfaat bagi peserta tidak jelas, sementara iurannya memberatkan.

“Beliau (Boediono) melihat ide ini memberatkan, sementara benefit buat yang iuran nggak jelas. Tapi ya cuma berhasil ditunda aja sampe akhir periode," tulis Ari melalui akun X @ari_ap yang dikutip Rabu, (29/5/2024).

Baca Juga: Polemik Tapera: Dihujat Pegawai Swasta, Ditolak Pengusaha

2. Disahkan pada 2016 oleh Jokowi

Sejarah Undang-Undang Tapera: Ditolak di Era SBY, Disahkan JokowiIlustrasi Tapera Mobile. (IDN Times/Trio Hamdani)

Meski diberhentikan di masa Pemerintahan SBY, ternyata pembahasan RUU Tapera berlanjut. Pada akhirnya, Jokowi mengesahkan UU Tapera pada 24 Maret 2016.

Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa seluruh pekerja, baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) pemegang visa yang telah bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan disebut sebagai peserta Tapera.

Kemudian, ditekankan lagi pada pasal 7 ayat (1), disebutkan setiap pekerja termasuk pekerja mandiri wajib menjadi peserta Tapera.

Baca Juga: Partai Buruh: Tapera Dibutuhkan Tapi Tak Tepat Harus Potong Gaji

3. Kewenangan untuk menentukan besaran iuran ditetapkan Jokowi pada 2020

Sejarah Undang-Undang Tapera: Ditolak di Era SBY, Disahkan JokowiInfografis asal mula lahirnya potongan Tapera ((IDN Times)

Di periode keduanya, Jokowi kembali mengeluarkan regulasi terkait Tapera. Regulasi itu ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

PP itu mengatur besaran iuran Tapera, kepesertaan, pemupukan dana Tapera, pengerahan, dan sebagainya.

Sembilan hari yang lalu, yakni pada Senin, 20 Mei 2024, Jokowi kembali mengesahkan regulasi mengenai Tapera, yakni PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020.

PP terbaru itu hanya penyempurnaan dari PP sebelumnya, yang mengubah satu pasal terkait pihak-pihak yang berhak menentukan perkalian dari besaran iuran Tapera.

Pada PP Nomor 25 Tahun 2020, kewenangan menentukan perkalian besaran iuran Tapera diberikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu); Menteri BUMN; Menteri Dalam Negeri (Mendagri); Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker); yang berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2024, kewenangan itu diberikan hanya kepada Menkeu, Menaker, dan Komisioner BP Tapera yang berkoordinasi dengan Menteri PUPR.

Topik:

  • Dheri Agriesta
  • Jumawan Syahrudin
  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya