Pengusaha Keberatan Harus Ikut Bayar Iuran Tapera

Pengusaha sebut Tapera jadi beban baru

Intinya Sih...

  • Iuran Tapera yang wajib dibayar pekerja dan perusahaan sebesar 3 persen, menimbulkan keberatan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
  • Beban pungutan yang ditanggung perusahaan sudah mencapai 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja.

Jakarta, IDN Times - Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan dipotong setiap bulan dibebankan pemerintah kepada pekerja dan pemberi kerja alias pengusaha.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024, iuran Tapera sebesar 3 persen yang diwajibkan bagi seluruh pekerja baik PNS, swasta, maupun pekerja lepas (freelance).

Dalam aturan itu, pegawai membayar iuran sebesar 2,5 persen, dan 0,5 persen dibayar oleh perusahaan. Atas hal tersebut, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan keberatannya.

Baca Juga: Pro Kontra Masyarakat soal Potongan Gaji 2,5 Persen buat Tapera

1. Tapera dianggap sebagai beban baru

Pengusaha Keberatan Harus Ikut Bayar Iuran TaperaIlustrasi uang tunai rupiah (pixabay.com/Mohamad Trilaksono)

Dalam pernyataan resmi Apindo, Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani menyatakan aturan baru Tapera hanyalah menambah beban baru bagi pegawai dan pengusaha.

Sebab, beban pungutan yang telah ditanggung perusahaan sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja.

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” bunyi pertanyaan resmi Apindo, dikutip Selasa (28/5/2024).

Baca Juga: Tapera Jadi Trending Topic, Pernah Ditolak Wapres Boediono

2. Rincian beban yang ditanggung pengusaha

Pengusaha Keberatan Harus Ikut Bayar Iuran TaperaKantor pusat BPJS Kesehatan di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Apindo pun menjabarkan beban iuran yang harus ditanggung pengusaha setiap bulannya, sebagai berikut:

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU Nomor 3/1999)

  1. Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7 persen
  2. Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,3 persen
  3. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,24-1,74 persen
  4. Jaminan Pensiun (JP) sebesar 2 persen.

Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004)

Jaminan Kesehatan sebesar 4 persen.

Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003)

Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.

3. Pengusaha minta pemerintah manfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan

Pengusaha Keberatan Harus Ikut Bayar Iuran TaperaLogo BPJS Ketenagakerjaan. (dok. BPJS Ketenagakerjaan)

Dalam hal mewujudkan akses pembiayaan hunian bagi masyarakat, Apindo meminta pemerintah menggunakan dana yang terhimpun dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

“Hal ini sesuai dengan regulasi PP Nomor 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” ujar Shinta.

Dalam PP tersebut, maksimal 30 persen (Rp138 triliun), maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan Pekerja.

“Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,” ujar Shinta.

Lebih lanjut Shinta mengatakan, dana dari JHT untuk program MLT itu bisa disalurkan menjadi empat manfaat, yakni:

  1. Pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta
  2. Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta
  3. Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta
  4. Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK).

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya