Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia 

Bangun kesadaran dengan narasi dan seni

Jakarta, IDN Times - Indonesia kaya akan kopi. Berbagai daerah di Indonesia menghasilkan kopi yang unik dengan ciri khas masing-masing. Bagi CEO Filosofi Kopi dan M Bloc Space, Handoko Hendroyono, kopi asal Indonesia memiliki cita rasa yang kaya, dan patut untuk dinikmati.

Handoko mengatakan, nikmatnya kopi lokal pun sudah disadari masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda.

“Kalau kita ngomong apakah kopi Indonesia sudah jadi tuan rumah di Indonesia? Saya rasa di hampir semua kota di Indonesia booming-lah ya kedai-kedai kopi, dan bagus-bagus,” kata Handoko dalam program Ngobrol Seru by IDN Times, Senin (30/9/2024).

Bukan hanya kedai kopi, pegiat kopi asal Indonesia pun tidak diragukan lagi kualitasnya. Terbaru, Mikael Jasin, seorang pegiat kopi yang menjadi pemenang World Barista Championship (WBC) 2024.

“Sekarang sih sebenarnya faktanya sudah juara ya, karena juara barista internasional sekarang nomor satu dari Indonesia ya, Mikael Jasin,” ujar Handoko.

Namun, kesadaran akan kualitas unggul itu masih belum cukup melebarkan akses kedai kopi lokal di Indonesia. Handoko mengatakan keberpihakan terhadap kedai kopi lokal di tempat-tempat komersial masih harus ditingkatkan.

“Karena harusnya ada keperpihakan terhadap kedai-kedai kopi lokal. Sama seperti yang dilakukan oleh Thailand misalnya, mal-mal utama itu diisi oleh kedai-kedai kopi lokal yang keren-keren, karena memang lebih dicari,” ucap dia.

Belum lagi bicara kancah dunia, Indonesia masih banyak 'pekerjaan rumah'. Kepada IDN Times, Handoko menceritakan bagaimana asal mula mendirikan Filosofi Kopi, serta upaya dan harapan membawa kopi lokal mendunia.

Simak hasil wawancara eksklusif IDN Times bersama CEO Filosofi Kopi dan M Bloc Space, Handoko Hendroyono.

Baca Juga: 38 Daftar Menu Filosofi Kopi di Jakarta dan Yogyakarta

Apa yang membuat Pak Handoko ingin mendirikan Filosofi Kopi?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Iya, waktu itu seru sih ya awalnya kita brainstorming. Ada saya, ada Angga Sasongko, Anggia Kharisma, produser film, ada Chicco, ada Rio. Waktu itu diskusinya bagaimana kita membuat konten sebenarnya, awalnya dari film, dan jangan lupa ada almarhum Bung Glenn Fredly.

Nah intinya, sebenarnya waktu itu kita mencoba untuk berbisnis IP, intellectual property, karena intellectual property belum menjadi sesuatu yang dilirik gitu ya. Biasanya kalau di film itu filmnya sukses dulu, terus impact dari kesuksesan itu dibikin marketing-nya gitu ya. Nah, waktu itu keinginan kita berbeda, ketika kita pengin di saat yang sama kita bikin filmnya, juga bikin kedainya, jadi ekosistemnya dibangun, dari awal.

Bapak sempat bercerita tidak suka kopi. Kenapa malah terjun membuat kedai kopi?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Ya saya tidak minum kopi sama sekali waktu itu kenapa saya terjun, karena saya sebelumnya orang branding. Saya orang branding sudah lama bikin iklan, segala macam, multinational client. Terus saya melihat momentum karena saya suka baca, saya suka nulis juga. Momentumnya adalah kebangkitan lokal sebenarnya, dan kebangkitan konten. Waktu itu ya tahun-tahun 2010-2012 itu mulailah muncul content is the king, waktu itu mulai muncul jargon-jargon itu. Dan saya merasa bahwa konten itu potensial.

Dari research kita dan cukup ngepop, dan momentum juga di internasional, munculnya artisan brand, artisanal brand itu ditandai dengan kopi salah satunya. Ada Blue Bottle, ada Stumptown Coffee dan lain-lain. Nah, kita melihatnya sebagai peluang. Akhirnya, ya kita bikinlah konten kopi. Dan saya tadi, kalau ditanyakan nggak minum kopi, bener nggak minum kopi, belajar kopi dari nol. Dan ternyata kopi itu enak banget, seru lah.

Jadi, malah sekarang nggak bisa kalau nggak minum kopi ya, Pak?

Benar. Saya jadi addict dan enjoy ya. Saya biasanya minum satu atau maksimal dua sehari. Dan saya menikmati sekali, tidak harus di Filosofi Kopi, saya suka keliling, ke teman-teman kopi, dan menikmatilah ambience kedai kopi, hasil brew-nya kedai kopi, roastery segala macam.

Apa yang membedakan kedai Filosofi Kopi dengan artisan brand atau kompetitor lokal lainnya?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Jadi kita terus terang tidak mencoba untuk menjadi berbeda gitu ya. Kita senang untuk menjadi diri sendiri. Karena kita sudah mulai dari film gitu, ya mungkin orang, akhirnya orang kan yang bicara ya, orang bilangnya adalah 'oh ini kedai kopi yang ada filmnya'. Dan ya itu menjadikan, mungkin ini salah satu bentuk diplomasi kebudayaan, atau diplomasi brand lah ya, yang menjadikan Filosofi Kopi lebih mudah dikenal.

Kalau saya misalnya ke luar negeri, cerita saya punya kedai kopi, dan kedai kopi kita itu mulai dari film, saya produsernya juga di film pertama itu. Terus, responsnya, 'oh ya?' Kaget mereka, karena gak ada di negara lain seperti itu mungkin ya. Terus dia Googling, 'wah iya bener ya'. Nah itu menjadi jembatan yang cukup mudah gitu untuk berjejaring lah. Termasuk juga dengan petani-petani kopi.

Jadi kalau kita misalnya ini baru kita pergi ke Flores, masyarakat Flores menyambut ya dengan tarian, dengan barista kita ke sana. Karena mungkin bagi publik ‘wah ini serius nih, kedai kopi yang ada filmnya’, segala macam ya, alhamdulillah seperti itulah bedanya.

Baca Juga: Pendiri Filosofi Kopi Curhat Susah Buka Gerai di Stasiun MRT-Bandara

Selama 9 tahun berdiri, apa saja perkembangan atau milestone yang sudah dicapai Filosofi Kopi?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Banyak pembelajaran di sini ya. Karena kalau cerita membangun brand, atau membangun jenama, tidak sekadar menjadikan populer atau menjadikan orang tahu, segala macam, lebih daripada itu yang penting sebenarnya juga tata kelola atau SOP, standard operation procedureI, itu pembelajaran yang sangat mahal.

Kita sekarang ada sembilan kedai, dan di situ kita belajar bagaimana membangun SOP, mengelola rantai pasok, memastikan kopi dari petani yang baik. Sekarang apalagi ada isu lingkungan dan lain-lain.

Jadi kayaknya kok nggak ada selesainya ya, kita belajar terus tentang kopi, terus kita membangun apparel juga. Jadi banyak lah. Saya nggak bisa bilang pencapaian ya, tapi prosesnya itu layak untuk dinikmati lah kasarnya gitu. Ya milestone-nya sudah banyak lah gitu.

Bagaimana kemitraan Filosofi Kopi dengan petani lokal selama ini?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Kita senang sekali, termasuk rajin berkunjung ke petani gitu. Dulu di awal-awal saya sama Rio Dewanto malah bikin program TV dulu sama salah satu stasiun TV gitu. Ya kita pergi ke petani, segala macam.

Dan sampai sekarang kita mencoba untuk apa yang kita sajikan adalah petani yang kita kenal, yang kita kunjungi atau kita kenal gitu ya. Jadi kita merasa pede gitu dengan proses tadi kan.

Ini kan istilahnya from beans to cup, dari biji kopi ke cup itu kita selalu menyertai. Bahkan, from seeds to cup, kita ikut menanam di beberapa kebun, sampai ke cup. Jadi itu mungkin semangat ya, semangat yang coba kita kembangkan.

Sudah berapa orang yang menikmati kopi dari petani-petani lokal ini setiap harinya?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Yang pasti kita jualan kopinya semua lokal, mungkin bisa dilihat karena Filosofi Kopi ya kita tahu lah ya cerita tentang kopi nusantara, kopi Indonesia. Kita hanya jualan kopi lokal.

Kalau ditanya satu kedai kopi gini, ini salah satu yang ramai ya, itu mungkin kalau weekend sekitar 600 orang gitu, kalau weekend, kalau dari biasa mungkin sekitar 350. Jadi average-nya seperti itu, cukup tinggi, makanya kemarin mesinnya rusak, mesinnya harus di-perbaiki.

Pelanggan Filosofi Kopi itu lebih banyak anak muda, atau generasi 40 tahun ke atas, Pak?

Filosofi Kopi uniknya, karena kita ambience dan approach-nya cukup nge-pop gitu, jadi kita ini bisa dibilang inklusif. Jadi ada anak muda yang mungkin punk rock gitu, sebelahnya mungkin hijaber, sebelahnya lagi orang yang sudah berusia, nggak masalah di sini.

Jadi yang sepuh tidak merasa, ‘ini kok tempatnya kok kayak gini sih’, atau sebaliknya anak muda ada yang sepuh tidak risih gitu. Kita penginnya begitu, kenapa? Karena memang kita pengin membangun ambience yang inklusif, atau istilahnya itu tidak intimidating. Jadi interiornya juga sederhana, autentik lah istilahnya gitu ya. Sehingga ke sini karena, mudah-mudahan ya, pengin dapetin suasana yang autentik, dan dengan kopi-kopi yang katakanlah yang bernarasi tadi ya, yang yang autentik juga gitu, enggak dibikin-bikin. Ceritanya memang apa adanya, kolaborasi dengan petani dan lain-lain.

Seberapa besar peran anak muda membangun awareness pada Filosofi Kopi dan merek kopi artisan lokal lainnya?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Generasi sekarang ya, anak muda itu yang menarik adalah mereka tuh suka sekali dengan narasi. Mereka tuh suka sekali dengan cerita ya. Mungkin kalau kita ke luar sedikit, sekarang kan apresiasi terhadap wastra, terhadap bumbu-bumbu juga, lokalitas itu meningkat.

Nah ini kami melihat ketika kita pameran foto, atau pameran narasi gitu ya, itu disambut sangat positif. Mungkin setelah era digital booming, itu justru orang kayaknya cari literasi. Nah disitu anak muda itu sangat sangat seneng lah dengan literasi-literasi yang ada di Filosofi Kopi. Kita sering adakan pameran foto, pameran seni, dan lain-lain. Jadi kita rajin untuk engage-lah.

Dan responsnya positif ya. Kita sering juga misalnya ngadain acara sketch, bikin sketch bareng gitu, urban sketch gitu, di sini, dan langsung dipamerkan. Penginnya sebenarnya Filosofi Kopi atau katakanlah diplomasi kopi itu diplomasi yang sifatnya komunal ya. Jadi komunikasinya lewat pendekatan-pendekatan yang sifatnya komunal gitu, komunitas, dan segala macam itu sangat efektif, karena anak muda sekali lagi, sangat suka dengan narasi-narasi yang baik. Pengin mengadakan tur juga ke kebun kopi bareng-bareng. Selama ini masih turnya sifatnya tur Blok M.

Kadang-kadang kita nggak sadar bahwa ternyata, saya pun juga baru tahu gitu ya, bahwa salah satu kebun kopi yang baik itu jaraknya cuma 2,5 jam dari Jakarta. Kebun Teh Rani, salah satu kopi terbaik yang baru masuk di majalah Standart, Standart magazine itu prestige magazine tentang kopi. Teh Rani ini masuk di situ. Kita kerja sama juga dengan Teh Rani, kita promote kopinya. Nah itu hanya 2,5 jam dari sini, Java Halu, di Garut. Jadi dari sini naik Whoosh dulu, lalu sambung ke Garut, total 2,5 jam, artinya gak jauh ya. Dan kemarin saya dari Solo, dari Jogja, sekitar Jogja itu juga banyak kedai kopi juga. Jadi sebenarnya sangat layak lah kita bikin tur gitu.

Melihat respons anak muda seperti itu bisa dibilang berpihaklah ke kopi lokal. Tapi apa lagi yang harus dilakukan untuk menjadikan kopi lokal juara di Indonesia?

Sekarang sih sebenarnya faktanya sudah juara ya, karena juara barista internasional sekarang nomor satu dari Indonesia ya, Mikael Jasin. Terus kalau kita ngomong apakah kopi Indonesia sudah jadi tuan rumah di Indonesia? Saya rasa di hampir semua kota di Indonesia booming-lah ya kedai-kedai kopi, dan bagus-bagus gitu.

Mungkin yang diperlukan adalah mungkin harus lebih dikasih akses ke commercial spaces, ke mal-mal segala macam. Karena harusnya ada keperpihakan terhadap kedai-kedai kopi lokal. Sama seperti yang dilakukan oleh Thailand misalnya, mal-mal utama itu diisi oleh kedai-kedai kopi lokal yang keren-keren, karena memang lebih dicari. Dan mungkin juga branding, nation branding kopi di kancah internasional, itu yang kayaknya harus dibangkitkan.

Plus, mungkin yang saya dan tim akan kembangkan adalah kebaikan kopi terhadap bumi, coffee for earth. Karena itu memberi kebaikan terhadap lingkungan, alam, itu mungkin yang saya ingin lakukan.

Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan awareness dunia terhadap kopi Indonesia?

Cerita Bos Filosofi Kopi: Asa Menjadi Lokal yang Mendunia Gerai Filosofi Kopi di Blok M, Jakarta Selatan. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Kita lemah di marketing. Jangan lupa sebenarnya kopi ini tempat diplomasi yang paling gampang untuk menyentuh target market. Sebagai contoh nih Ralph Lauren juga bikin kopi, sebentar lagi buka di sini juga. Kita tahu Kitsune Maison Kitsune, fesyen juga, bikin kopi. Terus kemarin Coach sudah buka kopi juga di Plaza Indonesia. Artinya sebenarnya kopi ini dilirik sekali oleh brand-brand non-kopi ya, dalam hal ini fesyen. Uniqlo saya dengar sudah mau buka juga kopi.

Jadi poin saya adalah kopi ini memiliki posisi yang sangat strategis. Strategisnya apa? Dia bisa membawa gerbong yang lain, fesyen, dan lain-lain. Plus, sebenarnya yang jadi kuat juga, jangan lupa nature dari kedai kopi itu adalah menjadi co-working space, menjadi tempat berkumpul komunitas yang produktif.

Dan kita tahu bahwa banyak kedai kopi teman-teman yang backgroundnya berbeda-beda. Ada yang background-nya arsitek, ada beberapa yang arsitek. Andra Matin bikin kedai kopi, terus Tanatap, ada Yumaju di Bandung, ada banyak sekali yang dari arsitek bikin kedai kopi, bayangkan itu baru arsitek. Komunitas sepeda juga bikin kedai kopi, dan lain-lain.

Jadi bayangkan diplomasi kopi itu sebenarnya kuat sekali untuk membawa gerbong ekonomi kreatif, sebenarnya ya. Nah ini yang harusnya dijadikan fokus, salah satu fokus untuk memajukan komunitas dan publik.

Baca Juga: 5 Tips Memulai Bisnis Coffee Shop Rumahan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya