Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat Prabowo

Bikin ruang fiskal menjadi terbatas

Intinya Sih...

  • Pemerintahan Prabowo-Gibran akan menghadapi beban utang jumbo dari pemerintahan Jokowi.
  • Utang pemerintah tembus Rp8.000 triliun lebih, dengan utang jatuh tempo 2025 mencapai Rp800,33 triliun dan bunga Rp552,854 triliun.

Jakarta, IDN Times – Pemerintahan Presiden Joko "Jakowi" Widodo tak lama lagi akan kelar, berganti pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk lima tahun mendatang. Ada beban utang jumbo yang menjadi warisan Jokowi untuk penerusnya. 

Per akhir Agustus tahun ini, utang pemerintah tembus Rp8.000 triliun lebih. Sementara  utang jatuh tempo pada tahun depan mencapai Rp800,33 triliun, dengan bunga utang sebesar Rp552,854 triliun.

Besarnya anggaran untuk membayar bunga utang dan utang jatuh tempo tersebut berdampak terhadap semakin menyempitnya ruang fiskal pemerintah untuk mengutak-atik anggaran di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

1. Prabowo harus bayar bunga utang Rp552 triliun

Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat Prabowoilustrasi utang dengan suku bunga tinggi (pexels.com/Pixabay)

Total jumlah utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah pada tahun depan mencapai Rp1.353 triliun. Jumlah ini nyaris 40 persen dari belanja negara 2025.

Mengacu data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, belanja negara dipatok sebesar Rp3.621,3 triliun, termasuk belanja non-K/L pada belanja pemerintah pusat Rp1.541,4 triliun. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp616,2 triliun.

Adapun bunga utang yang jatuh tempo pada tahun depan sebesar Rp552,8 triliun menjadi yang paling tinggi dibandingkan realisasi pembayaran bunga utang pada periode 2020-2024.

Pada 2020, bunga utang yang dibayar sebesar Rp314,1 triliun, 2021 senilai Rp343,5 triliun, 2022 mencapai Rp386,3 triliun, 2023 sebesar Rp439 triliun, dan outlook pembayaran bunga utang tahun ini mencapai Rp499 triliun.

Perhitungan besaran pembayaran bunga utang tahun anggaran 2025 secara garis besar, meliputi pembayaran bunga atas outstanding utang yang berasal dari akumulasi utang tahun-tahun sebelumnya, rencana pembiayaan utang tahun anggaran 2024 dan tahun anggaran 2025, serta rencana program pengelolaan portofolio utang (liabilities management).

Selain itu, perhitungan besaran pembayaran bunga utang juga didasarkan pada beberapa asumsi, antara lain nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat, yen Jepang, dan euro.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan  Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Riko Amir mengungkapkan, pentingnya menekan besaran bunga utang. Salah satu caranya, dengan melakukan reprofiling atau penataan ulang.

"Kita reprofiling, timing yang tepat dan kita punya cost yang cukup, kita lakukan buyback. Jadi utang yang masih beberapa tahun kita tarik ke depan, sehingga tidak perlu bayar bunganya," ucap dia Kamis pekan lalu.

"Ada juga dengan debt switch, kita cari nanti dengan bunga utang yang lebih murah, dan kita switch dengan yang lebih tinggi kita ganti. Jadi liability management aktif dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini," sambungnya.

Baca Juga: Utang Pemerintah Turun di Agustus, Apa Penyebabnya? 

2. Rencana penarikan utang baru tembus Rp775 triliun pada 2025

Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat PrabowoIlustrasi Utang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Tak hanya beban bunga utang, pemerintah pun merancang akan menarik utang baru atau pembiayaan utang pada tahun depan mencapai Rp775 triliun. Tujuannya untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dengan mengutamakan pembiayaan yang innovative, prudent, dan sustainable.

Riko menjelaskan, untuk memenuhi pembiayaan APBN, pengelolaan utang juga diarahkan sebagai sarana untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik. Pembiayaan itu utamanya bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

"(Penarikan utang) Rp775 triliun dengan penerbitan SBN itu sebesar Rp642,5 triliun, dan penarikan pinjaman sebesar Rp133 triliun," kata Riko.

Secara rinci, penarikan utang berasal dari penerbitan SBN secara neto sebesar Rp642,2 triliun, pinjaman neto sebesar Rp133,3 triliun, pinjaman dalam negeri neto Rp5,17 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,13 triliun.

Penarikan utang pada 2025 bukan yang paling tinggi karena pemerintah pernah menarik utang hingga Rp1.229.6 triliun pada 2020 lalu. Hal itu dilakukan seiring dengan kebutuhan pembiayaan untuk penanganan COVID-19, dan pemulihan ekonomi nasional.

"Fenomena yang menarik adalah pinjaman yang besar, baik dari pinjaman dalam negeri, dan pinjaman luar negeri dibandingkan APBN 2024 secara neto. Salah satu alasannya adalah karena ini tahun kelima dari periode 2020-2024," tutur Riko.

Baca Juga: Pemerintah Bayar Bunga Utang Rp315,6 Triliun per Agustus

3. Utang menggunung bikin ruang fiskal terbatas pada 2025

Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat Prabowoilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Tingginya beban bunga utang juga disebabkan oleh imbal hasil SBN yang relatif tinggi, membuat pemerintah bakal mengeluarkan biaya lebih mahal untuk berutang.

Dalam APBN 2025, asumsi tingkat suku bunga SBN dengan tenor 10 tahun mencapai 7 persen. Ini lebih tinggi daripada asumsi tahun lalu yang sebesar 6,9 persen. Suku bunga yang tinggi itu akan menyebabkan beban bunga utang melonjak.

Peneliti Center of Trade, Industry, Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo Irhamna mengatakan, kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp 775 triliun pada 2025 bakal mempersempit ruang gerak fiskal pemerintahan Prabowo.

"Pembayaran bunga utang mengalami peningkatan sangat besar sejak 2022 yang secara proporsi menjadi belanja pemerintah terbesar kedua setelah belanja lain-lain," ujar Ariyo dalam diskusi di Jakarta, belum lama ini. 

Proporsi tingginya pembayaran beban utang di atas belanja modal, belanja barang, belanja pegawai sudah terjadi sejak 2020. Hal ini menjadi alarm untuk pemerintah dan membuat ruang fiskal 2025 semakin terbatas untuk periode pemerintahan yang baru.

Sempitnya ruang fiskal juga tercermin dari penurunan alokasi belanja pemerintah untuk belanja kementerian/lembaga (K/L). Hal itu berbanding terbalik dengan peningkatan alokasi belanja pemerintah untuk sektor non-K/L.

Tahun depan, belanja negara mencapai sebesar Rp3.621,3 triliun, dengan rincian belanja K/L sebesar Rp1.160 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp1.541,4 triliun.  Belanja pemerintah pusat. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53 persen dari PDB atau sebesar Rp616,2 triliun.

"Ini menunjukkan ruang fiskal yang semakin terbatas akibat pembayaran utang semakin besar. Kenaikan alokasi belanja non-K/L dialokasikan untuk pembayaran utang," ucap Ariyo.

Belanja K/L pun naik Rp182,39 triliun dari yang dianggarkan semula dalam RAPBN 2025 sebesar Rp976,78 triliun.

Namun di tengah tingginya utang dan beban bunga utang pemerintah, nyatanya pemerintah menyiapkan anggaran Rp121 triliun atau naik Rp8 triliun dari sebelumnya Rp113 triliun sebagai langkah quick win untuk mengakomodir sejumlah program Prabowo Subianto dalam 5 tahun mendatang.

4. Utang selama pemerintahan Jokowi melesat

Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat PrabowoPresiden Jokowi dan Iriana dalam upacara Hari Bhayangkara ke-78 (dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Jelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024 mendatang justru menorehkan catatan utang yang sangat tinggi. Tercatat pada akhir Agustus, utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun.

Berdasarkan dokumen APBN, secara nominal posisi utang pemerintah tersebut berkurang Rp40,76 triliun atau turun 0,47 persen dibandingkan posisi utang akhir Juli sebesar Rp8.502,69 triliun.

Sebagai catatan, Jokowi memimpin Indonesia sejak 20 Oktober 2014. Posisi utang pemerintah pada September 2014 atau sebelum Jokowi memimpin tercatat Rp2.601,72 triliun atau setara 26,5 persen dari PDB.

Artinya, utang pemerintah bertambah Rp5.860 triliun atau melesat 225 persen selama Jokowi memimpin Indonesia.  Lonjakan utang terbesar terjadi pada 2020, dengan peningkatan sebesar Rp1.383 triliun. Lonjakan ini imbas pandemik COVID-19.

Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,49 persen. Angka ini menurun dari rasio utang terhadap PDB bulan sebelumnya yang sebesar 38,68 persen.

Rasio utang yang tercatat per akhir Agustus 2024 masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara.

Riko menyampaikan, sebelum menerbitkan surat utang, pemerintah akan mempertimbangkan momentum yang tepat untuk menerbitkan utang, baik itu dari sisi waktu penerbitan, tenor, hingga kondisi pasar.

Menurutnya, batas aman dan ideal utang jatuh tempo dengan jangka waktu 8 hingga 10 tahun. Namun untuk tenor utang yang jatuh pada Agustus 2024 mencapai 7, 9, dan 5 tahun.

“Jadi tidak tiba-tiba melonjak di tahun pertama tinggi, tahun kedua rendah, tahun ketiga sangat tinggi, dan kita profiling utang kita dalam kondisi yang lebih merata,” tuturnya.

Baca Juga: ADB Beri Pinjaman Rp7,59 Triliun, Bantuan atau Jebakan Utang Baru?

Warisan Utang Jumbo Jokowi, Beban Berat PrabowoInfografis DPR Setujui APBN Pertama Prabowo, Belanja Negara Tembus Rp3.621 T (IDN Times/Aditya Pratama)

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya