Pengamat Sebut Power Wheeling Gak Bisa Masuk RUU EBET, Kenapa?
Intinya Sih...
- Skema power wheeling tidak sesuai UUD 1945
- Sektor ketenagalistrikan harus dikuasai negara
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar menilai skema power wheeling tidak dapat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan menyoroti pembahasannya yang tidak transparan.
“Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” katanya dalam keterangannya, Selasa (6/8/2024).
1. Usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara
Dalam pasal 33 itu, sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan hal itu dan menolak klausul power wheeling yang sempat masuk dalam dalam UU Nomor 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan demikian, usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara dengan cara mengelola, mengatur, mengambil kebijakan, mengurus hingga memberikan pengawasan,” kata Bisman.
Baca Juga: Skema Power Wheeling Picu Tambahan Biaya bagi Pokok Penyediaan Listrik
2. Pembentukan RUU UU EBET harus dengarkan masukan berbagai pihak
Editor’s picks
Selain itu, pemerintah dan DPR juga harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET.
DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas transparansi keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU EBET.
Baca Juga: Skema Power Wheeling Percepat Adopsi Energi Terbarukan
3. Penyusunan RUU harus terbuka
Dalam penyusunan, kata Bisman, seharusnya DPR dan pemerintah menyelesaikan syarat formil pembentukan undang-undang (UU).
"Mulai paparan ke publik, menerima masukan hingga pembahasan harus dibuka secara gamblang. Tidak dilakukan secara tertutup di hotel-hotel. Penyusunan RUU EBET menjadi tidak transparan," ujarnya.