Duh, BI Ungkap Ekonomi Global Belum Ramah di 2024
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengingatkan, perekonomian global masih belum akan ramah pada tahun 2024. Kondisi ini pun harus tetap diwaspadai karena berpotensi mempengaruhi prospek ekonomi dalam negeri.
Adapun sejumlah faktor yang masih menghantui prospek ekonomi global yakni perang Rusia Ukraina, perang dagang Amerika dan China dan kini konflik Israel di Palestina.
"Fragmentasi geopolitik berdampak pada fragmentasi geoekonomi akibatnya prospek ekonomi global akan meredup pada tahun 2024 sebelum mulai bersinar kembali pada tahun 2025," ucap Perry dalam dalam Pertemuan Tahunan BI, Rabu (29/11/2023).
1. Ekonomi China lesu
Ia menjelaskan, setidaknya ada lima karakteristik ketidakpastian pada tahun depan yang harus diwaspadai.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan divergensi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 diyakini akan tumbuh 2,8 persen yoy.
Prospek kinerja ekonomi di beberapa negara akan berbeda atau tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Amerika Serikat (AS) tampaknya akan menorehkan kinerja ekonomi yang lebih baik. Namun, China akan melambat.
"Tapi ekonomi India dan dan Indonesia masih tumbuh tinggi," jelas Perry.
Baca Juga: OJK: Perang Israel-Hamas Makin Signifikan Ganggu Perekonomian Global
2. Suku bunga The Fed masih tetap tinggi
Editor’s picks
Kedua, penurunan inflasi yang lambat, walaupun pengetatan moneter agresif telah diterapkan di negara maju.
Oleh karena itu, Perry menilai harga pangan dan global masih akan meningkat, ditambah dengan adanya pengetatan pasar tenaga kerja.
Ketiga, tren suku bunga tinggi masih akan terjadi di dalam beberapa waktu ke depan. Ia mengambil contoh, suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) masih akan tinggi dan imbal hasil surat utang pemerintah AS terus naik karena membengkaknya utang pemerintah Paman Sam.
Untuk saat ini, suku bunga The Fed berada di level 5,25 persen-5,5 persen.
3. Investor cenderung memegang tunai
Keempat, dolar AS masih kuat yang mengakibatkan pelemahan nilai tukar di seluruh dunia, termasuk rupiah.
Kelima, kecenderungan investor memegang tunai (cash is the king). Pelarian modal dalam jumlah besar masih akan terlihat dari negara berkembang ke negara maju.
“Sebagian besar akan lari ke Amerika Serikat, karena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar AS,” tutur Perry.
Menurut Perry, kelima gejolak global tersebut berdampak negatif ke berbagai negara Indonesia
"Jadi kita perlu waspadai dan antisipasi dengan respon kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional yang telah susah payah kita bangun," tutur Perry.