Menimbang Urgensi Menghapus Pertalite

Rencana produksi BBM ramah lingkungan menghadapi tantangan

Jakarta, IDN Times - PT Pertamina (Persero) punya rencana menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) dengan RON 90 alias Pertalite. Rencana tersebut masih dalam tahap kajian di internal perusahan milik negara itu.

Rencana tersebut merupakan bagian dari program Langit Biru, yang pada tahap pertama telah menghapus keberadaan BBM RON 88 alias Premium.

"Nah, ini kita lanjutkan sesuai dengan rencana adalah program Langit Biru Tahap 2, di mana BBM subsidi kita naikan dari RON 90 ke RON 92 (Pertamax)," kata Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI pada 30 Agustus 2023.

Hal itu, kata Nicke, sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di mana BBM yang diperbolehkan beredar nantinya minimal RON 91.

Baca Juga: Harga Pertamax Naik, Konsumen Diminta Tak Pindah ke Pertalite

1. Nantinya cuma ada tiga jenis BBM gasoline yang dijual Pertamina

Menimbang Urgensi Menghapus PertaliteSoft launching Pertamax Green 95 di SPBU Pertamina 31.128.02 MT Haryono, Jakarta Selatan. (IDN Times/Trio Hamdani)

Berdasarkan rencana yang disiapkan Pertamina, Nicke menjelaskan nantinya BUMN energi tersebut hanya menjual tiga jenis BBM jenis bensin (gasolin).

Pertama adalah Pertamax Green 92 yang jika tak ada aral melintang akan diluncurkan mulai tahun depan. Pada dasarnya, ini adalah produk Pertalite yang dicampur etanol 7 persen sehingga oktannya meningkat menjadi setara Pertamax.

Kedua adalah Pertamax Green 95 yang sudah diperkenalkan di sejumlah SPBU Jakarta dan Surabaya per 24 Juli 2023. Ini adalah BBM jenis Pertamax 92 yang dicampur dengan 5 persen etanol sehingga kadar oktannya naik ke 95.

Kemudian, yang ketiga adalah Pertamax Turbo. Keberadaan bahan bakar minyak ini tetap dipertahankan karena sudah memenuhi ketentuan dengan RON 98.

"Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah. Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” ujar Nicke dalam RDP di Komisi VII DPR RI.

Baca Juga: Pengembangan Pertamax Green Terkendala Pasokan Etanol

2. Pasokan etanol jadi tantangan dalam mengembangkan Pertamax Green

Menimbang Urgensi Menghapus PertaliteIlustrasi alat berat pemanen tebu. IDN Times/Abdul Halim

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan ketersediaan pasokan etanol dalam negeri untuk mengakselerasi produk campuran BBM dan etanol (biofuel).

Untuk mengakselerasi BBM yang lebih ramah lingkungan itu, perlu dipastikan bahwa pasokan etanol dalam negeri cukup memenuhi kebutuhan tersebut. Etanol bersumber dari molases tebu.

"Kalau bioetanol kita punya gak lahan sebesar seperti sawit itu kan? Itu yang harus kita perhatikan, harus realistis," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji ditemui di dalam acara Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Park Hyatt Jakarta pada 7 September 2023.

Pemerintah sebenarnya sudah pernah menjajal pemanfaatan bahan bakar bioetanol dalam skala kecil pada periode 2008 hingga 2009, dan periode 2015 hingga 2016.

Namun, program tersebut harus dihentikan karena sejumlah faktor, yaitu tingginya biaya bahan baku hingga rendahnya kapasitas produksi. Selain itu, terjadi konflik dengan penggunaan etanol untuk pemakaian nonbahan bakar. Ditambah, tidak adanya insentif.

Akhirnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

"Serta melakukan studi pemanfaatan batang kelapa sawit tua dan sorgum manis untuk memproduksi bioetanol agar produksinya tidak bersaing dengan bahan baku pangan, pakan, dan pupuk," tuturnya.

Sejalan dengan itu, Nicke mengatakan pihaknya menyadari pentingnya keberlanjutan dalam memproduksi BBM ramah lingkungan.

"Strategi Pertamina yang paling utama adalah kita bagaimana membangun atau memiliki sustainable energy, sustainable artinya adalah semua materialnya dan bahan bakunya dimiliki oleh Indonesia," kata dia.

"Jadi bukan cuma bicara 'green' saja, tapi juga harus sustainable, suplainya harus ada terus menerus. Kemudian kita memiliki kemampuan untuk mengelolanya menjadi energi lebih baik yang disebut low carbon energy," tambahnya.

Baca Juga: Pertamina: Pertalite Tak Dihapus, Tapi Kaji Peningkatan Kualitas

3. Pemerintah belum putuskan kapan hapus Pertalite

Menimbang Urgensi Menghapus PertaliteIlustrasi - SPBU Pertamina (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Kementerian ESDM belum memberikan restu kepada Pertamina untuk menghapus Pertalite dan digantikan dengan Pertamax Green 92. Namun, perusahaan pelat merah tersebut dipersilakan mengkaji bahan bakar bioetanol.

"Kalau Pertamina membahas silakan. Tapi, pemerintah belum. Jadi, industri dulu silakan membahas, kan dibahas kan katanya, ya sudah silakan. Tapi pemerintah belum," kata Dirjen Migas Tutuka.

Pemerintah, kata Tutuka, belum memutuskan apakah penjualan Pertalite akan dihentikan mulai 2024 seperti yang sempat diwacanakan Pertamina. Menurutnya, keputusan tersebut tidak sederhana.

"Kita itu kalau sudah (membahas) ada atau tidak (Pertalite mulai 2024) masalahnya tidak sederhana, tergantung masalah polusi, tidak demikian. Kan harus ada pertimbangan ekonomi dan sosial dan itu tidak bisa dari Kementerian ESDM saja, harus ada kementerian lain," ujarnya.

Senada, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menegaskan belum ada pembicaraan terkait penghapusan Pertalite untuk digantikan dengan Pertamax Green 92.

"Gak ada. Semua pembicaraannya dibentuk media katanya Pertalite akan dihapus. Tidak pernah ada statement itu," ucap Erick kepada awak media di Rumah BUMN, Tangerang Selatan pada 7 September 2023.

Pertamina, sambung Erick, juga belum berbicara dengannya terkait usulan atau rencana penghapusan Pertalite.

Baca Juga: Cek! Harga Pertamax di Pertashop Lebih Murah Dibanding SPBU

4. Pengamat ingatkan tiga faktor yang berpotensi bikin blunder

Menimbang Urgensi Menghapus PertaliteSoft launching Pertamax Green 95 di SPBU Pertamina 31.128.02 MT Haryono, Jakarta Selatan. (IDN Times/Trio Hamdani)

Menurut Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi sejauh ini belum ada urgensi menghapus Pertalite dan menggantikannya dengan Pertamax Green 92.

Ada tiga alasan yang dia sampaikan kenapa Pertamina sebaiknya tak buru-buru menghapus Pertalite. Pertama, karena harga BBM penggantinya, dalam hal ini Pertamax Green 92 pasti lebih mahal karena biaya produksinya lebih besar.

Jika nanti Pertamax Green 92 disubsidi pemerintah, itu akan membebani APBN. Sementara jika tidak disubsidi akan memicu inflasi.

"Ini akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan inflasi. Nah, peningkatan inflasi akan menurunkan daya beli, bisa menyebabkan harga-harga naik. Nah, menurut saya itu yang blunder karena beban kenaikan itu diberikan pada rakyat," tuturnya.

Alasan kedua, menggantikan Pertalite dengan Pertamax Green 92 untuk mengurangi polusi udara, juga kurang tepat karena kualitas BBM tersebut masih di bawah standar Euro 4.

"Jadi dalam standar Euro 4 itu yang memenuhi itu Pertamax Turbo (RON 98) atau RON 95. Nah, sehingga kebijakan itu, itu tidak banyak memberikan kontribusi dalam hal pengurangan polusi udara," ujar Fahmy.

Alasan terakhir, produk Pertamax Green 92 yang memanfaatkan campuran etanol membutuhkan kecukupan pasokan. Sayangnya, ketersediaannya di dalam negeri terbatas. Alhasil, produksi massal jenis BBM tersebut berpotensi menyebabkan meningkatnya impor etanol yang dapat menggerus devisa.

"Maka dengan tiga alasan tadi, tadi saya katakan bahwa kebijakan itu adalah kebijakan blunder," kata dia.

Oleh karena itu, dia menyarankan agar dilakukan transisi dari Pertalite ke Pertamax Green 92 secara bertahap dengan menggunakan intervensi harga, sehingga selisih harganya tidak terlalu lebar. Dengan begitu, pengguna kendaraan pribadi akan pindah dengan sukarela.

"Tapi Pertalite-nya masih dipertahankan sampai 2 tahun misalnya. Ini sebenarnya Pertamina sudah menerapkan itu pada saat menghapus Premium, mau menghapus Premium diciptakanlah Pertalite sebagai bridging, sebagai jembatan dengan segi harga yang tidak begitu besar. Nah, kemudian konsumen Premium setelah 90 persen pindah ke Pertalite, Premiumnya dihapus tanpa ada gejolak. Nah, maksud saya adalah bertahap seperti itu," tambahnya.

Baca Juga: Luhut Buka Suara soal Rencana Campur Pertalite dengan Etanol

5. DPR minta penghapusan Pertalite dikaji secara mendalam

Menimbang Urgensi Menghapus PertaliteInfografis rencana penghapusan Pertalite. (IDN Times/Mardya Shakti)

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai wacana penghapusan Pertalite adalah isu sensitif bagi masyarakat. Sebab, daya beli masyarakat masih relatif lemah setelah terpukul pandemik COVID-19.

Dia memperkirakan Pertamax Green 92 sebagai pengganti Pertalite akan lebih mahal. Terlebih, produksi bahan baku bioetanol terbatas di dalam negeri sehingga berpotensi harus impor.

"Itu kan sama artinya dengan memaksa rakyat untuk membeli BBM yang lebih mahal, karena BBM yang murah, yakni Pertalite, dihapus. Juga memaksa negara untuk mengimpor bioetanol, karena produksi dalam negeri minim," katanya dalam keterangan tertulis.

Dia menolak jika Pertalite diganti Pertamax Green 92 mulai 2024. Menurutnya rencana tersebut masih perlu dikaji lebih dalam karena menyangkut aspek teknis, keekonomian, besaran subsidi untuk produksi dan distribusi.

Ditambah, DPR belum pernah membicarakan rencana tersebut. Begitu pun dari sisi kebijakan subsidi BBM, dalam asumsi makro APBN 2024, tidak ada pembicaraan terkait penghapusan Pertalite dan diganti Pertamax Green 92 pada tahun depan.

Topik:

  • Dheri Agriesta
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya