Industri Rokok Diimpit Aturan Ketat, 5,9 Juta Pekerja Terancam

Ketatnya aturan dianggap ganggu ekosistem industri

Intinya Sih...

  • Ketua GAPPRI khawatir regulasi rokok ketat akan ganggu ekosistem industri kretek yang menyerap 5,9 juta tenaga kerja.
  • Penerimaan cukai dari industri tembakau menyumbang 10% APBN, sementara 97% bahan baku lokal. Regulasi ketat berpotensi mengganggu ekosistem yang telah berjalan harmonis.
  • Industri tembakau stabil dan berkembang di Indonesia, kebijakan kemasan polos dapat memicu peningkatan peredaran rokok ilegal dan berdampak besar pada industri.

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengingatkan pemerintah mengenai ekosistem industri kretek yang saat ini menyerap sekitar 5,9 juta tenaga kerja.

Angka tersebut meliputi petani tembakau sebanyak 1,5 juta orang. Sisanya adalah karyawan di berbagai sektor, serta pekerja di industri pendukung seperti kertas, pembungkus, dan bahan perasa.

Mereka khawatir regulasi yang semakin ketat, termasuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan, dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait kemasan rokok, dapat mengganggu ekosistem tersebut.

"Kemudian juga yang coba kami ingatkan lagi kepada pemerintah adalah ekosistem industri kretek kurang lebih sekarang ini menampung tenaga kerja kurang lebih sekitar 5,9 juta jiwa," kata dia dalam sebuah diskusi di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).

1. Pabrikan rokok klaim berkontribusi besar ke penerimaan negara

Industri Rokok Diimpit Aturan Ketat, 5,9 Juta Pekerja TerancamIlustrasi petani tembakau. (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Henry menyampaikan penerimaan cukai dari industri hasil tembakau (IHT) saat ini menyumbang sekitar 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Menurut kami itu adalah penerimaan yang cukup signifikan dan cukup bermanfaat," paparnya.

Selain itu, sekitar 97 persen bahan baku yang digunakan dalam industri tersebut berasal dari dalam negeri, sehingga ekosistem yang telah berjalan harmonis selama puluhan tahun berpotensi terganggu oleh peraturan yang semakin ketat.

Baca Juga: Pengertian Cukai Rokok dan Bedanya dengan Pajak Rokok

2. Industri mengaku menghadapi badai besar dari ketatnya aturan

Industri Rokok Diimpit Aturan Ketat, 5,9 Juta Pekerja TerancamIlustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia menekankan sentra-sentra industri tembakau umumnya memiliki perekonomian yang stabil, serta kondisi sosial budaya yang baik. Namun, dia khawatir jika PP 28 dan RPMK disetujui, industri tembakau akan menghadapi dampak yang sangat besar.

Menurutnya, RPMK tersebut bertujuan untuk membuat desain kemasan rokok menjadi seragam, meskipun tidak sepenuhnya polos karena masih ada tulisan merek, tetapi dengan tampilan yang dinilai tidak menarik.

"Kalau ini PP 28 maupun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan benar-benar akan disetujui dan diketok, kami pasti melihat akan terjadi badai yang luar biasa dan untuk itu," paparnya.

Untuk itu, dia mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan strategi keluar yang jelas, termasuk bagaimana membantu petani, pekerja, dan pengecer agar tetap memiliki sumber penghasilan yang layak setelah peraturan-peraturan tersebut diterapkan.

Baca Juga: Buruh Rokok: Kemasan Polos Tanpa Merek Bikin Produk Ilegal Marak

3. Indonesia tak bisa disamakan dengan negara-negara non-produsen

Industri Rokok Diimpit Aturan Ketat, 5,9 Juta Pekerja TerancamIlustrasi petani tembakau (IDN Times/Istimewa)

Henry mengungkapkan di beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan kemasan polos, justru terjadi peningkatan peredaran rokok ilegal. Dia menyebutkan, di Prancis, rokok ilegal mencapai sekitar 30 persen dari total pasar, dan situasi serupa juga terjadi di beberapa negara Uni Eropa lainnya.

Menurutnya, kebijakan kemasan polos yang diusulkan Kementerian Kesehatan dianggap mengikuti sejumlah negara di ASEAN dan G20, namun dia mengingatkan Indonesia tidak dapat dibandingkan langsung dengan negara-negara tersebut.

Negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Australia bukanlah produsen tembakau, berbeda dengan Indonesia yang memiliki ekosistem pertembakauan mulai dari petani, produsen, hingga pengecer yang semuanya lokal.

"Beda dengan kita di Indonesia, bahwa ekosistem pertembakauan sangat baik dan sangat harmonis, tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara non-produsen," tambahnya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya