Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen Muram

Konsumen muda merasa harga rumah kian tak terjangkau

Jakarta, IDN Times - Harapan untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau terpaksa diurungkan Dedy (29). Pegawai swasta yang bekerja di Ibu Kota itu sempat berencana mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) sebagai modal masa depannya.

Rumah subsidi yang berlokasi di kota-kota pinggiran semula menjadi targetnya. Namun apa daya, rencana itu harus dipikir ulang saat pemerintah akhirnya menaikkan harga rumah subsidi akhir Mei lalu.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono resmi menetapkan batasan harga jual rumah subsidi untuk rumah tapak pada 2023 dan 2024 naik, melalui Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023.

Kepmen PUPR tersebut berisi tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan yang telah ditandatangi Menteri PUPR tertanggal 23 Juni 2023.

"Saya sebagai warga yang belum punya rumah dan baru berencana beli rumah 2-3 tahun lagi sangat tidak setuju dengan kenaikan harga tersebut," ujarnya kepada IDN Times.

Baca Juga: Dana Rp32,15 Triliun Dikucurkan Buat Subsidi Rumah di 2024

1. Tren harga rumah dirasa tak terjangkau anak muda

Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen Muram(Ilustrasi rumah subsidi) ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Menurut Dedy, tren harga hunian saat ini sudah jauh di atas kemampuan mayoritas generasi muda. Ditambah lagi, pemerintah juga belum bisa mengatasi gap antara kemampuan pendapatan pekerja dengan tren harga properti.

"Kenaikan secara sepihak ini hanya akan membuat backlog makin tinggi, menguntungkan pengusaha. Pemerintah mau anak muda bisa punya rumah, tapi di sisi lain kebijakan yang direncanakan sangat kontradiktif," tambahnya.

Keresahan serupa dirasakan Nadya (24), yang kini memendam keinginannya untuk KPR. Melihat harga rumah subsidi naik, dia lebih memilih mengumpulkan uang untuk membangun rumah sendiri.

"Kalau dari pendapat aku sendiri keberatan, apalagi kalau naiknya signifikan. Sudah gitu konteks rumahnya juga kan gak bisa milih desainnya. Jadi, mending kumpulin duit dulu, terus beli tanah di lingkungan yang masih murah harganya, dan bangun rumah sendiri," ujarnya.

Dia sadar pilihan masing-masing orang berbeda tergantung kebutuhan dan kemampuannya. Dia menuturkan bagi sebagian temannya, kebutuhan untuk memiliki rumah sudah mendesak. Maka, mau tidak mau menggunakan skema KPR untuk mendapatkan rumah subsidi, walaupun harganya naik.

"Kalau aku mikirnya, daripada KPR mending beli rumah bekas yang masih bagus tapi harganya masih terjangkau juga," tambahnya.

2. Harga rumah subsidi tidak naik selama 3 tahun

Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen MuramInfografis rumah subsidi. (IDN Times/Mardya Shakti)

Harga rumah subsidi sudah tiga tahun tidak mengalami kenaikan. Sebelumnya, harga rumah subsidi mengikuti aturan Kepmen PUPR Nomor 242/KPTS/M/2020. Harga rumah subsidi dipatok paling tinggi Rp150,5 juta untuk wilayah Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Sumatra (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai).

Kalimantan (kecuali Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Mahakam Ulu) maksimal Rp164,5 juta. Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali Kepulauan Anambas), ditetapkan harga rumah subsidi paling mahal Rp 156,5 juta.

Harga rumah subsidi dipatok paling banyak Rp168 juta di Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kepulauan
Anambas, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Mahakam Ulu. Sedangkan di Papua dan Papua Barat adalah Rp219 juta per unit.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Herry Trisaputra Zuna mengatakan, kenaikan harga rumah subsidi di 2023 ini telah mempertimbangkan adanya kenaikan harga bahan bangunan dan lahan, serta keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Menurutnya, aturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan rumah supaya mengurangi backlog kepemilikan rumah.

"Kementerian PUPR melakukan pengawasan terhadap kualitas rumah subsidi yang dibangun oleh pengembang perumahan agar tetap memenuhi standar rumah layak huni," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Selasa (4/7/2023).

Baca Juga: Harga Rumah Subsidi Resmi Naik! Ini Rincian Harganya

3. Batas harga rumah subsidi yang dibebaskan PPN-nya juga dinaikkan

Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen MuramIlustrasi rumah KPR (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Kepmen PUPR terbaru juga diklaim sudah mempertimbangkan faktor untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi MBR. Salah satunya langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menaikkan batas maksimal untuk harga rumah bersubsidi yang bisa mendapatkan pembebasan PPN di 2023 dan 2024. 

Beleid tertuang dalam PMK 60/PMK.010/2023, di mana pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan PPN sebesar 11 persen dari harga jual rumah tapak di kisaran Rp16 juta hingga Rp24 juta di setiap unit rumah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, PMK tersebut ditujukan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Fasilitas pembebasan PPN ini juga akan berdampak positif, pada perekonomian nasional, termasuk terhadap investasi industri properti dan industri pendukungnya, penciptaan lapangan pekerjaan, dan peningkatan konsumsi masyarakat," ucapnya dalam keterangan tertulis pada 19 Juni 2023).

Febrio menegaskan, fasilitas pembebasan PPN ditujukan untuk mendukung penyediaan setidaknya 230 ribu unit rumah, untuk MBR yang ditargetkan oleh pemerintah.

"PMK ini merupakan bentuk perhatian khusus terhadap pemenuhan kebutuhan hunian layak huni dan terjangkau terutama bagi MBR," katanya.

4. Pengembang mengaku sudah tidak profit pakai harga lama

Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen MuramIlustrasi Rumah Subsidi/KPR (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Di sisi lain, pengembang perumahan mengaku tidak profit jika dipaksa menjual rumah subsidi dengan ketetapan harga yang dibuat pemerintah pada 2020 lalu.

"Sekarang mau dihitung cara apapun pembangunan rumah sederhana bersubsidi itu sudah tidak profit," kata Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida kepada IDN Times pada 2 Juni 2023.

Totok menyebut mayoritas pengembang perumahan di Indonesia adalah skala usaha kecil dan menengah (UKM), yaitu 80 persen sampai 90 persen. Keuntungan mereka semakin tergerus dari penjualan rumah subsidi karena tak bisa mengerek harga.

Di sisi lain, mereka tidak bisa menghentikan pembangunan rumah subsidi karena memikirkan nasib para buruhnya yang harus tetap mendapatkan gaji.

"Nah, kenapa dia bangun terus? kalau gak bangun gak bisa gajian karyawannya, gak bisa makan dia. Tapi modalnya gak kembali, tergerogoti. Nah, yang dirintis oleh Pak (Presiden) Jokowi untuk menjadi pengusaha, ini kan jadi drop ya kan," tuturnya.

Pengembang pun serba salah. Sebab, jika menjual rumah melebihi batas harga rumah yang ditetapkan pemerintah maka tidak akan mendapatkan fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPN). Jadi memang, solusinya adalah menaikkan batas harga rumah subsidi.

5. Masyarakat bakal makin susah punya rumah

Harga Rumah Subsidi Naik: Pengembang Senang, Konsumen MuramANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Kenaikan harga rumah subsidi dianggap akan memberatkan masyarakat untuk memiliki rumah, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Apalagi kenaikannya melebihi inflasi.

"Kenaikan harga rumah subsidi tentu memberatkan masyarakat berpendapatan rendah karena kenaikan rumah di atas inflasi maupun upah minimum," kata ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada IDN Times, Jumat (30/6/2023).

Kenaikan rata-rata UMP 2023 sendiri adalah sebesar 7,5 persen. Kemudian inflasi, kata Bhima, diproyeksikan 4-5 persen pada tahun ini.

Sementara itu, harga rumah subsidi di Jabodetabek misalnya, naik sebesar 7,7 persen dari Rp168 juta menjadi Rp181 juta pada 2023. Kemudian, di Papua mengalami kenaikan sebesar 6,8 persen dari Rp219 juta menjadi Rp234 di 2023.

"Berarti terjadi penyesuaian harga rumah bersubsidi di atas angka inflasi. Tekanan masyarakat kan sekarang banyak mulai dari ketidakpastian pendapatan pekerja sektor formal, masih tingginya ancaman PHK hingga porsi pekerja informal yang meningkat," ujarnya.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet melihat, dinaikkannya harga rumah subsidi tidak terlepas dari kondisi suku bunga bank yang relatif mengalami peningkatan imbas kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).

Menurut Rendy, masyarakat tentunya akan memikirkan ulang untuk mengambil program kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi dari pemerintah

"Menurut saya dengan kenaikan atau tren suku bunga yang relatif masih tinggi saat ini, dan juga kenaikan harga rumah subsidi yang juga akan dijalankan oleh pemerintah, maka permintaan terhadap rumah bersubsidi akan mengalami penyesuaian," ujarnya.

Baca Juga: Perbedaan Rumah Subsidi, Komersil dan MBR Plus Usulan Pengembang

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya