Harga Obat RI 5 Kali Lebih Mahal dari Malaysia, Jokowi Minta Turunkan

Minta penyebab obat mahal dibereskan

Intinya Sih...

  • Presiden Jokowi menggelar rapat internal soal relaksasi pajak industri kesehatan
  • Menteri Kesehatan menyampaikan harga alat kesehatan dan obat-obatan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga
  •  

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko “Jokowi” Widodo menggelar rapat internal membahas relaksasi pajak industri kesehatan. Rapat tersebut menyoroti poin penting terkait harga alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di Indonesia.

Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengatakan, harga alat kesehatan dan obat-obatan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga. Dalam pembahasan tersebut, presiden menginginkan agar harga di Indonesia bisa setara dengan negara tetangga.

“Harga alat kesehatan dan obat-obatan itu bisa sama dong dengan negara tetangga. Kan di kita harga alkes dan obat-obatan mahal,” kata Budi kepada jurnalis di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2024).

Budi juga menyampaikan, Presiden Jokowi menekankan pentingnya membangun industri alkes dan obat-obatan dalam negeri agar lebih tangguh menghadapi pandemik di masa depan.

Baca Juga: Badai PHK Berlanjut, Peserta BPJS Ketenagakerjaan Menciut

1. Obat mahal imbas tata kelola, inefisiensi dan pajak

Harga Obat RI 5 Kali Lebih Mahal dari Malaysia, Jokowi Minta Turunkanilustrasi obat (pixabay.com/Pexels)

Budi menyampaikan bahwa ada beberapa masalah dalam jalur perdagangan alkes dan obat-obatan di Indonesia yang menyebabkan inefisiensi. Menurutnya, tata kelola harus dibuat lebih transparan dan terbuka untuk menghindari peningkatan harga yang tidak perlu dalam proses pembelian.

“Tata kelolanya juga mesti dibikin lebih transparan dan terbuka sehingga tidak ada peningkatan harga yang tidak unnecessary dalam proses pembelian alkes dan obat-obatan. Kan itu masalah tata kelola dan desain proses pembelian kita itu sebenarnya,” ujarnya.

Selain itu, Budi juga membahas mengenai perpajakan. Dia menekankan sistem perpajakan perlu dibuat lebih efisien dan sederhana tanpa mengganggu pendapatan pemerintah.

Hal itu penting karena masalah arus kas dan bunga di Indonesia yang relatif tinggi. Penundaan arus kas selama tiga hingga enam bulan dapat menyebabkan biaya bunga mencapai 5 persen hingga 8 persen per tahun.

“Karena setahunan kan beban bunganya masih sekitar 8 persen sampai 10 persen. Itu juga yang tadi dibicarakan,” ucapnya.

Baca Juga: Cara Klaim Kaki dan Tangan Palsu BPJS Kesehatan

2. Jokowi minta koordinasi antarkementerian diperbaiki

Harga Obat RI 5 Kali Lebih Mahal dari Malaysia, Jokowi Minta TurunkanPresiden Jokowi pimpin Sidang Kabinet Paripurna terkait ekonomi di Istana Negara, Senin (24/6/2024). (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Presiden Jokowi, kata Budi, juga menekankan pentingnya koordinasi antara menteri teknis, baik menteri keuangan, menteri perindustrian, dan menteri perdagangan dalam membentuk ekosistem yang mendukung industri yang sedang dikembangkan.

Dia memberikan contoh pembelian 10 ribu unit USG, di mana Indonesia menginginkan agar pabrik USG berada di dalam negeri. Namun, terdapat ketidakkonsistenan kebijakan, di mana bea masuk USG impor adalah 0 persen, sementara impor komponen USG untuk diproduksi di dalam negeri dikenakan pajak hingga 15 persen.

Budi menyatakan inkonsistensi tersebut menghambat tujuan untuk mendorong produksi dalam negeri. Untuk itu, dia menekankan perlunya kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan untuk menyesuaikan kebijakan agar mendukung pembangunan pabrik lokal.

“Nah, koordinasi ini yang tadi bapak presiden minta, ya coba dirapikan. Tadi kan ada Pak Luhut di sana, 2 minggu akan rapat lagi,” ujarnya.

3. Harga obat di Indonesia bisa 5 kali lebih mahal dari Malaysia

Harga Obat RI 5 Kali Lebih Mahal dari Malaysia, Jokowi Minta TurunkanApotek Kimia Farma. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Dia mengungkapkan, harga obat di Indonesia bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat lebih mahal dibandingkan di Malaysia, dengan selisih mencapai 300 persen hingga 500 persen. Menurutnya, dampak pajak hanya sekitar 20 persen hingga 30 persen terhadap harga obat, sehingga masalahnya bukan hanya di pajak.

Menurutnya, terdapat banyak efisiensi dalam perdagangan dan tata kelola pembelian obat-obatan yang perlu diperbaiki. Selain itu, transparansi dalam proses pembelian perlu ditingkatkan untuk mengurangi biaya yang tidak perlu.

Budi juga menekankan karena banyak layanan kesehatan saat ini dibiayai oleh BPJS Kesehatan, harga obat yang tinggi pada akhirnya akan membebani pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menemukan kombinasi harga yang paling murah.

“Jadi balik lagi kalau mahal nanti pemerintah juga yang akan bayar di ujungnya. Itu yang sebabnya kita harus mencari kombinasi yang semurah mungkin, tapi isunya bukan hanya di pajak saja,” tuturnya.

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya