Ancam Iklim Usaha Tembakau, IHT Diusulkan Dipisah dari RPP Kesehatan

P3M kritik kurangnya prtisipasi publik

Intinya Sih...

  • KH Sarmidi Husna kritik kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan RPP pelaksanaan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
  • P3M mendesak Menkes untuk memisahkan pembahasan terkait produk tembakau dari RPP Kesehatan karena ekosistemnya berbeda.
  • Pengesahan RPP Kesehatan dengan pasal tembakau akan berdampak buruk pada industri hasil tembakau (IHT).

Jakarta, IDN Times - Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna menyoroti kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan RPP pelaksanaan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya pasal Pengamanan Zat Adiktif. Hal itu sebagai respons terhadap Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin yang diperkirakan akan segera mengerahkan RPP Kesehatan.

P3M juga menegaskan pasal-pasal terkait produk industri hasil tembakau seharusnya diatur dalam regulasi tersendiri sesuai dengan mandat UU Kesehatan. Pihaknya mendesak Menkes, Budi Gunadi Sadikin untuk memisahkan pembahasan terkait produk tembakau dari RPP Kesehatan, mengingat ekosistemnya berbeda signifikan dengan sektor kesehatan.

"P3M meminta Menteri Kesehatan untuk menghapus pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP Kesehatan karena bertentangan dengan berbagai undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, serta dapat merusak ekosistem dan tata niaga pertembakauan," kata KH Sarmidi Husna dalam keterangan tertulis, Rabu (10/7/2024).

Baca Juga: Kebijakan Cukai 2025 Dinilai Makin Beratkan Petani Tembakau

1. Kajian P3M: RPP Kesehatan ancam iklim usaha IHT

Ancam Iklim Usaha Tembakau, IHT Diusulkan Dipisah dari RPP KesehatanIlustrasi pertanian. IDN Times/ Riyanto.

Menurut kajian P3M, pengesahan RPP Kesehatan dengan pasal tembakau akan berdampak buruk pada industri hasil tembakau (IHT). Banyaknya larangan, seperti bahan tambahan dan pembatasan tar serta nikotin, dapat membuat IHT nasional gulung tikar. Kretek, produk khas IHT nasional, menggunakan bahan tambahan rempah untuk penggenap rasa.

"Kretek khas Indonesia juga menggunakan tembakau dan cengkeh dalam negeri dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, yang terkena dampak terlebih dahulu industri kretek nasional," kata Sarmidi.

Dia menjelaskan sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT sudah kesulitan akibat kebijakan fiskal yang berlebihan. Sejak 2020, tarif cukai hasil tembakau terus naik dua digit, sementara IHT tertekan oleh pandemi COVID-19 dan ketidakpastian global.

Kondisi IHT legal saat ini semakin buruk, yang terbukti dari penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target dan turunnya produksi rokok. Pemerintah diharapkan memberikan kesempatan untuk pemulihan dengan tidak menaikkan tarif CHT pada 2025, karena sudah ada kenaikan tarif PPN hasil tembakau.

"Sedangkan untuk tahun 2026 dan tahun berikutnya, kenaikan tarif cukai HT disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi," ujar Sarmidi.

Oleh karenanya, pengesahan RPP dianggap akan memperburuk kondisi IHT. IHT akan semakin terbebani dengan ketentuan RPP seperti perubahan kemasan dan bahan baku yang memerlukan biaya besar serta pengaturan yang semakin ketat.

"IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Ada 446 regulasi yang mengatur IHT. 400 (89,68%) berbentuk kontrol, 41 (9,19%) mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12%) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan," tukas KH Sarmidi.

2. Pemerintah diingatkan soal prinsip kemaslahatan dalam RPP Kesehatan

Ancam Iklim Usaha Tembakau, IHT Diusulkan Dipisah dari RPP KesehatanIlustrasi petani tembakau (IDN Times/Istimewa)

UU Kesehatan Pasal 152 Ayat (1) UU 17/2023 menyatakan bahwa pengaturan pengamanan zat adiktif, termasuk produk tembakau, harus diatur melalui Peraturan Pemerintah. Ayat (2) juga menetapkan pengaturan lebih lanjut mengenai rokok elektronik harus melalui Peraturan Pemerintah.

"Kata 'diatur dengan' Peraturan Pemerintah pada Pasal 152, sangat tegas amanatnya, sehingga seyogyanya, rokok konvensional diatur tersendiri, rokok elektronik diatur tersendiri. Keduanya, juga sebaiknya terpisah dari RPP yang memiliki ekosistem berbeda," jelas KH Sarmidi.

Dia menegaskan perumusan RPP Kesehatan untuk produk tembakau harus berdasarkan prinsip-prinsip pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, sesuai amanat Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"P3M mendesak pemerintah bersama multi-stakeholder untuk merumuskan pasal-pasal alternatif terkait RPP yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan dan berkedaulatan," ujarnya.

Sarmidi juga mengingatkan bahwa RPP tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif harus mengacu pada prinsip kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bil mashlahah.

"Kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan," tegasnya.

Baca Juga: Pengusaha Ungkap 6 Juta Pekerja Sektor Tembakau Terancam

3. Kemenkes disebut tutup komunikasi dengan pemangku kepentingan tembakau

Ancam Iklim Usaha Tembakau, IHT Diusulkan Dipisah dari RPP KesehatanMenkes Budi Gunadi Sadikin dalam konpers kesiapsiagaan sektor kesehatan menghadapi libur Nataru. (youtube.com/Kementerian Kesehatan RI)

Selama pembahasan RPP Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diduga menutup komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem pertembakauan, termasuk P3M yang memberikan masukan namun tidak diakomodasi oleh Kemenkes.

"Kami menduga mungkin ada tekanan global yang membuat pemerintah terutama Kemenkes tidak melibatkan ekosistem pertembakauan," tutur Sarmidi.

Hal itu merujuk pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana Pasal 5.3 menyatakan dalam membuat kebijakan terkait pengendalian tembakau, pemerintah harus melindungi dari pengaruh industri tembakau karena adanya konflik mendasar yang tidak dapat didamaikan antara kepentingan industri tembakau dan kebijakan kesehatan masyarakat.

"Karena ketentuan tersebut, tampaknya hampir tidak mungkin ekosistem pertembakauan dilibatkan oleh Kemenkes. Padahal, petani tembakau, petani cengkeh, dan pekerja IHT yang akan menjadi korban pertama kali jika RPP disahkan. Seharusnya, dalam membuat kebijakan melibatkan objek yang hendak diatur sehingga ketemu titik tengah," tambah KH Sarmidi.

Baca Juga: Pelaku Industri Minta Aturan Tembakau Dipisah dari RPP Kesehatan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya