Standar Kemasan Polos Rokok Menyulitkan Pelaku Industri

PP 28/2024 mengundang banyak pro-kontra

Intinya Sih...

  • PP 28/2024 tentang Kesehatan menimbulkan pro dan kontra di Indonesia.
  • Standarisasi kemasan tembakau dalam PP 28/2024 disebut akan menyulitkan industri tembakau.
  • Ahli Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho menyatakan peraturan ini bisa bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait industri tembakau di Indonesia.

Jakarta, IDN Times - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang diturunkan ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menimbulkan berbagai pro dan kontra. RPMK ini menyita perhatian banyak pihak, khususnya mereka yang terlibat langsung dalam industri tembakau di Indonesia, mulai dari pemangku kepentingan mata rantai industri hasil tembakau, pedagang, pekerja hingga konsumen.

Salah satunya adalah aturan tentang standarisasi kemasan pada produk tembakau dan rokok elektronik yang tercantum dalam Pasal 435 PP 28/2024.

Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan menyebutkan, pasal yang mengarah pada penerapan kemasan polos tersebut akan menyulitkan para pelaku industri hasil tembakau.

“Jika kemasan polos diterapkan, dalam industri kretek atau rokok putih di Indonesia akan mengalami persaingan tidak sehat dan makin maraknya peredaran rokok-rokok ilegal. Untuk mengubah ke kemasan polos itu juga butuh investasi yang sangat besar dan akan memengaruhi industri yang sedang mengalami masa-masa berat seperti sekarang,” tutur Henry dalam keterangan resminya, Selasa (10/9/2024).

Baca Juga: Tuai Penolakan, PP Kesehatan Dinilai Matikan Ekonomi Petani Tembakau

1. Berbenturan dengan putusan MK

Standar Kemasan Polos Rokok Menyulitkan Pelaku IndustriGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Senada, Ahli Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho mengatakan, peraturan ini bisa berbenturan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait industri tembakau di Indonesia.

“Rokok itu sudah diakui sebagai aspek yang legal, maka tidak boleh dilarang
dipublikasikan. Kalau saya memahaminya dari konstruksi hukum, seperti putusan MK Nomor 54 Tahun 2008. Jika diperbolehkan oleh putusan itu, maka kemasan juga harus jelas. Jika tidak jelas, putusan MK itu dilanggar," kata Ridho.

"Begitu juga dengan putusan MK Nomor 9 Tahun 2009 yang menyatakan sektor industri yang melakukan usaha secara legal di Indonesia memiliki hak yang sama dengan industri-industri lain dalam melakukan pengenalan dan
pemasaran produknya,” sambung dia.

2. Tidak cuma dilihat dari aspek kesehatan

Standar Kemasan Polos Rokok Menyulitkan Pelaku IndustriCalon Anggota BPK RI, Mukhamad Misbakhun ingatkan pemerintah soal dana porsi transfer ke daerah. (dok. Parlementaria)

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhammad Misbakhun mengungkapkan, polemik mengenai RPMK ini tidak hanya perlu dilihat dari aspek kesehatan. Para pengambil kebijakan juga harus mengakui ada kontribusi besar dari industri tembakau.

“Bisa dibilang ekonomi negara kita ditopang oleh rokok, inilah national interest yang saya maksud. Ada petani, industri tembakau, bisnis-bisnis kecil yang bergantung pada rokok yang harus kita hormati jika membicarakan aturan ini. Jadi saya memutuskan untuk membela mereka karena ini kepentingan nasionalisme,” ucap Misbakhun.

Selain itu, pengendalian untuk kesehatan merupakan satu hal penting, tapi satu hal yang tidak bisa dikesampingkan bahwa ada Rp300 triliun dari industri rokok ini.

Baca Juga: Dibatasi Jual Rokok, Separuh Lebih Toko Kelontong Bisa Gulung Tikar

3. Pengusaha tolak kebijakan dalam PP 28/2024

Standar Kemasan Polos Rokok Menyulitkan Pelaku IndustriOperasi rokok ilegal di kota Yogyakarta. (Dok. Istimewa)

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey turut menyampaikan penolakan kerasnya terhadap kebijakan yang akan berimplikasi serius pada para pelaku ritel di Indonesia.

“Ada beberapa poin yang kita sayangkan, seperti aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan yang tidak disosialisasikan sebelumnya. Sekarang sudah ditandatangani PP 28/2024 turunan dari UU Kesehatan Nomor 17/2023. Siapa yang akan diberatkan? Tentu para pelaku usaha, yang bisa kehilangan omzet dan terancam dipaksa bersepakat di lapangan oleh oknum terkait aturan 200 meter ini,” kata Roy.

Menurut dia, PP tersebut juga juga bisa membuat peredaran rokok ilegal makin marak. Roy berharap kementerian-kementerian terkait dapat mengkaji ulang PP tersebut karena memiliki banyak kecacatan, baik dari aspek hukum, sosial, maupun ekonomi.

Baca Juga: Industri Tembakau Alternatif Desak Revisi PP 28, Ini Alasannya

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya