TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kelas Menengah RI Susut, Ironi di Tengah Ambisi Jadi Negara Maju

Jumlah menjadi 17,44 persen dari total penduduk

Ilustrasi masyarakat kelas menengah (Pixabay)

Intinya Sih...

  • Jumlah kelas menengah turun menjadi 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta jiwa pada 2019 lalu
  • Kelas menengah harus ditingkatkan menjadi 70 persen dari populasi Indonesia pada 2045 untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi

Jakarta, IDN Times - Turunnya jumlah masyarakat kelas menengah merupakan alarm bagi pemerintah karena di saat kelompok ini susut jumlahnya, berarti semakin berkurang kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan, semakin jauh untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2019 lalu, jumlah masyarakat kelas menangah masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Ironinya, jumlah mereka kian terkikis hingga kini menjadi 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta jiwa.

Mereka turun kelas ke kelompok calon kelas menengah atau aspiring middle class. Kelompok ini berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin.

Padahal, setiap tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo berjanji meminimalisir angka kemiskinan dari 9,41 persen pada 2019 menjadi 9,36 persen pada 2023, setelah sempat melonjak ke 10,14 persen pada 2021 gara-gara pandemik COVID-19.

Namun upaya yang diandalkan pemerintah untuk mengurangi kaum kelas bawah tersebut hanya melalui bantuan sosial (bansos) secara rutin, dengan harapan tingkat kemiskinan dapat berkurang. Apabila cara ini terus dilakukan maka mereka akan sulit untuk naik menjadi calon kelas menengah.

1. Penurunan kelas menengah harus diantisipasi

kelas menengah kian terhimpit

Indonesia memiliki cita-cita menjadi negara maju pada 2045 atau sekitar 21 tahun lagi dari sekarang. Untuk mencapai tujuan ambisius itu dibutuhkan proporsi populasi kelas menengah yang besar.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyatakan, untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi, jumlah kelas menengah harus ditingkatkan menjadi 70 persen dari populasi Indonesia pada 2045.

Meskipun identifikasi kelas menengah adalah bentuk klasifikasi kelas sosial dan ekonomi, sebagian besar ekonom lebih memilih mengukurnya berdasarkan pendapatan atau tingkat konsumsi.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah menaruh perhatian serius atas turunnya jumlah kelas menengah yang terjadi saat ini. Alasannya, karena kelas menengah memiliki peranan penting untuk mendorong konsumsi dan pembangunan negara.

Apabila jumlah kelas menengah terus tergerus, dikhawatirkan Indonesia berpotensi mengarah kepada revolusi. 

Berkaca pada negara-negara Amerika Latin, seperti Kolombia hingga Panama, memiliki sedikit jumlah kelas menengah atau bahkan disebut sebagai hollow middle alias lubang di tengah, yang menunjukkan adanya jurang pemisah antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi yang timpang tersebut membuat suatu negara rentan terhadap tekanan dan guncangan. 

“Kekosongan kelas menengah juga jelek. kalau turun terlalu jauh, lalu menjadi kosong, dan kita ngeri revolusi," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Di samping itu, kelas menengah juga memainkan peran sosial-politik yang penting dan mempengaruhi atau menentukan governance, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Ternyata, Ini Sederet Sumber Penerimaan Negara dari Kelas Menengah 

2. Kontribusi kelas menengah terhadap pajak bisa drop

ilustrasi pajak (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Menurunnya kelas menengah juga bisa berdampak pada penerimaan negara dari pajak. Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2022 berada di angka 9,1 persen, relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Hal ini menekankan pentingnya kontribusi pajak yang kuat dari kelompok kelas menengah untuk memperkuat keuangan publik. Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah, yang berujung mengganggu kemampuan pemerintah menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan.

Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan, berdasarkan subsidi yang sudah diberikan, calon kelas menengah adalah penerima terbesar subsidi, sementara kelas atas tidak menerima subsidi sama sekali, dan kelas menengah menerima subsidi yang  lebih kecil relatif terhadap kontribusi pajaknya.

“Distribusi ini menekankan pentingnya mendukung kelas menengah untuk menjaga keseimbangan fiskal. Jika daya beli kelas menengah menurun, hal ini dapat memaksa mereka untuk berpindah ke calon kelas menengah atau rentan, mengurangi peran mereka sebagai kontributor pajak dan meningkatkan ketergantungan mereka pada dukungan fiskal,” tutur dia.

Akibatnya, pemerintah akan menghadapi tekanan keuangan yang lebih besar lagi, dan mungkin perlu meningkatkan pengeluaran publik untuk subsidi, yang selanjutnya memengaruhi rasio pajak terhadap PDB, dan mempersulit upaya mencapai keberlanjutan fiskal serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

3. Perubahan pola konsumsi kelas menengah

Ilustrasi Belanja (unsplash.com/ simon2579)

Adapun pola konsumsi kelas menengah mengalami perubahan, di mana prioritas pengeluaran berupa perumahan dan makanan terpantau menurun, sementara belanja hiburan dan keperluan pesta meningkat. Jika ditelisik lebih jauh, dalam satu dekade atau sejak 2014, sebesar 45,5 persen pengeluaran kelas menengah untuk makanan minuman, namun saat ini turun menjadi 41,67 persen. 

Belanja perumahan yang tadinya lebih dari 32 persen, sekarang hanya sekitar 28,5 persen.  Sebaliknya, terdapat peningkatan dalam pengeluaran untuk hiburan dan keperluan pesta, dan barang jasa lainnya.

Pengeluaran untuk hiburan naik dari 0,22 persen pada  2014 menjadi 0,38 persen  pada 2024. Sementara pengeluaran untuk pesta meningkat secara signifikan dari 0,75 persen pada 2014 menjadi 3,18 persen pada 2024.

Hiburan yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan tersier, kini telah menjadi prioritas utama kelas menengah, mengakibatkan berkurangnya alokasi dana yang biasanya digunakan untuk kebutuhan dasar lainnya. 

Di sisi lain, dengan pendapatan yang stagnan dan kebutuhan yang meningkat, maka ruang untuk menabung kelas menengah semakin terbatas, yang berdampak pada stabilitas keuangan kelas menengah.

"Nah, ini kan bisa menunjukkan bahwa yang tadinya discretionary spending yang untuk baju atau mungkin malah untuk jalan-jalan. Ini memang menjadi suatu hal yang perlu dicermati betul," kata Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II, Thomas Djiwandono.

BPS sebelumnya menunjukkan data masyarakat yang masuk dalam kelas menengah pada tahun ini adalah individu dengan pengeluaran antara Rp2.040.262-Rp9.909.844 per kapita per bulan. Namun hitungan ini masih mengikuti standar lama Bank Dunia, belum termuktahir.

Baca Juga: Kelas Menengah di Era Prabowo Ditargetkan Naik Jadi 38 Persen

4. Gelontoran stimulus untuk dongkrak kelas menengah

Ilustrasi bansos (kemensos.go.id)

Sementara itu, pemerintah mengklaim telah memberikan beragam stimulus untuk mempertahankan kelas menengah agar tidak mengalami penurunan yang berimbas pada sokongan pertumbuhan ekonomi.

Apabila mengacu data LPEM FEB UI, kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara. Mereka menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen.

Kontribusi ini sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memandang peranan dan potensi kelas menengah untuk mendorong visi Indonesia Emas 2045 sangat besar. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus bagi kelas menengah agar lebih sejahtera.

"Kelas menengah punya peran strategis untuk mendorong perekonomian, oleh karena itu pemerintah telah memberikan beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok kelas menengah," kata dia dalam keterangannya, dikutip dari akunnya di Instagram.

Gelontoran berbagai program dari pemerintah digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah. Pertama, melalui program perlindungan sosial (perlinsos), pemberian subsidi dan kompensasi, insentif perpajakan seperti insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah.

Kemudian pemberian bantuan iuran kesehatan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hingga jaring pengaman seperti Kartu Prakerja sebagai jaminan kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, pemerintah berharap deretan insentif tersebut bisa membantu meningkat kesejahteraan kelas menengah.

5. Pekerjaan rumah Prabowo-Gibran cari solusi atasi turunnya kelas menengah

Presiden terpilih Prabowo Subianto, Selasa (27/8/2024). (IDN Times/Amir Faisol)

Wamenkeu Thomas mengatakan, penurunan kelas menengah pada tahun ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan atau kabinet baru Prabowo Subianto. Menurutnya, perlu ada kebijakan jangka panjang untuk mengatasinya.

"Saya rasa ini memang menjadi PR pemerintahan Pak Prabowo, yang utama bagaimana kita mencari solusi jangka panjang," kata Thomas saat menjawab pertanyaan IDN Times, pekan lalu.

Thomas pun menengaskan bahwa penurunan kelas menengah disebabkan oleh pamdemik COVID-19, yang saat itu geliat perekonomian dan kinerja industrinya tengah merosot.

Oleh karena itu, dia membantah bila penurunan kelas menengah disebabkan oleh masih kurangnya kebijakan pemerintah. Karena hingga saat ini, pemerintah terus memberikan afirmasi dan stimulus kepada masyarakat.

"Itu (menurunnya kelas menengah) kan ada kaitannya sama pandemik. Jadi jangan dianggap bahwa ada kebijakan-kebijakan tertentu yang kurang atau apa, tiba-tiba kelas menengahnya turun terus," ucap dia.

Namun masalahnya, tanpa penciptaan lapangan kerja formal, masyarakat kelas menengah juga terus bertumbangan. Hal ini sebagai dampak pemerintahan yang orientasi pembangunannya hanya pertumbuhan dan investasi.

Saat ini pun investasi yang tumbuh adalah sektor padat modal dan ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA). Sektor ini memang cepat bergerak, membuat pertumbuhan ekonomi terlihat stabil di angka 5 persen setiap tahunnnya, tapi pertumbuhan tersebut sangat timpang karena efeknya tidak merata.

Itu karena sektor tersebut tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan seperti halnya industri manufaktur. Jika PR terkait kelas menengah tak diatasi maka mimpi menjadi negara maju pada 2024 akan sulit tercapai.

Sri Mulyani sebelumnya menyebut ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi Indonesia untuk menjadi negara maju. Syarat ini sekaligus membuat Indonesia lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah alias middle income country menjadi negara berpendapatan tinggi atau high income cuontry.

Keempat syarat itu, pertama, investasi SDM. Hal ini menjadi alasan pemerintah mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan dan reformasi pendidikan. Kedua, pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan serta mendorong produktivitas dan mobilitas masyarakat.

Ketiga, melakukan transformasi ekonomi dengan kebijakan hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah. Keempat, membangun institusi dan tata kelola yang baik dan bersih, sehingga policy yang baik dapat dieksekusi dan dilaksanakan secara efektif.

Baca Juga: Terungkap, Ini Alasan Pentingnya Keberadaan Kelas Menengah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya