Aman, Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia Terjaga di Q2
RI waspada dampak inflasi negara maju yang masih tinggi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan stabilitas sistem keuangan Indonesia pada triwulan atau kuartal II 2023 masih terjaga di tengah tantangan dan dinamika pasar keuangan global. Hal ini didukung oleh berbagai indikator ekonomi yang masih positif.
Adapun KSSK terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Ketua KSSK, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
“Seluruh pihak perlu berkomitmen untuk melanjutkan penguatan kordinasi dan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan risiko global ke depan, termasuk rambatannya pada perekonomian dan sektor keuangan Indonesia," ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (1/8/2023).
Baca Juga: Indonesia Upayakan Penguatan Stabilitas Keuangan ASEAN
Baca Juga: The Fed Diproyeksikan Masih Kerek Suku Bunga Tahun Ini
1. Tekanan inflasi di negara maju masih tinggi
Sri Mulyani mengatakan, ketidakpastian global sebenarnya masih tinggi hingga semester I tahun ini. Namun, ada faktor positif yang berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang merevisi kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3 persen (year on year/yoy) pada tahun ini. Proyeksi terbaru ini lebih baik dibandingkan dari proyeksi April sebesar 2,8 persen (yoy).
"Pertumbuhan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara maju di Eropa diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi China tetap sama, namun risiko tertahannya konsumsi dan investasi terutama sektor properti negara tersebut harus terus diwaspadai," ucap Menkeu.
Sementara itu, tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi dipengaruhi oleh perekonomian yang lebih kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat. Hal ini diperkirakan akan mendorong kenaikan lebih lanjut suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR) The Fed.
"Perkembangan tersebut menyebabkan aliran modal ke negara berkembang akan lebih selektif dan meningkatkan tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan global," jelasnya.
Editor’s picks
Baca Juga: OJK: Stabilitas Keuangan Indonesia Aman di Tengah Gejolak Global