TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Transaksi Jual Beli Karbon di RI Tembus Rp84,17 Miliar

Sebesar 7,1 juta ton CO2 ekuivalen

ilustrasi emisi gas rumah kaca (freepik.com/wirestock)

Intinya Sih...

  • Nilai transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik mencapai Rp84,17 miliar dengan total transaksi sebesar 7,1 juta ton CO2 ekuivalen.
  • Peta jalan perdagangan karbon berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sedikitnya 100 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030, dibagi menjadi tiga fase.

Jakarta, IDN Times - Sepanjang 2023, transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik mencapai nilai Rp84,17 miliar, dengan total transaksi karbon sebesar 7,1 juta ton CO2 ekuivalen.

Informasi tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana.

Penerapan perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik, kata dia memiliki tujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, mendorong efisiensi energi, meningkatkan peran pelaku usaha dalam mitigasi perubahan iklim.

“Dan juga tentunya mendorong transisi energi nasional, khususnya di sisi suplai energi," kata Dadan dalam keterangannya, Rabu (24/7/2024).

Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Norwegia ‘Hadiahi’ RI karena Kurangi Emisi Karbon

1. Perdagangan karbon berpotensi turunkan emisi 100 juta ton

Warga melintas dengan latar belakang PLTU Suralaya di Kota Cilegon, Banten, Rabu (6/12/2023). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sedikitnya 100 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030.

Peta jalan tersebut dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama pada 2023-2024, fase kedua pada 2025-2027, dan fase ketiga pada 2028-2030.

Dadan menerangkan, tiga fase dalam peta jalan perdagangan karbon akan secara bertahap meningkatkan standar emisi karbon dioksida untuk pembangkit tenaga listrik, terutama yang berbasis tenaga uap atau menggunakan bahan bakar batubara.

“Jadi makin ke sana nanti standarnya akan semakin ditingkatkan, emisinya akan semakin kecil sehingga pada saatnya nanti diperlukan kombinasi antara perdagangan karbon dan juga offset,” ujarnya.

Baca Juga: PHE-ExxonMobil Bakal Bor Cekungan Asri Basin buat Penyimpanan Karbon

2. Perdagangan karbon diterapkan bertahap pada pembangkit listrik fosil

PLTU Suralaya, Cilegon (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Dadan menyatakan perdagangan karbon akan diterapkan secara bertahap pada seluruh pembangkit tenaga listrik berbahan bakar fosil, termasuk yang terhubung dengan jaringan PT PLN, pembangkit di wilayah usaha non-PLN, serta pembangkit untuk kepentingan sendiri.

Pada 2023, terdapat 99 unit pembangkit listrik dengan kapasitas minimal 100 MW yang terhubung jaringan PLN menjadi peserta perdagangan karbon. Pada 2024, jumlah peserta meningkat menjadi 146 unit, dengan tambahan unit PLTU berkapasitas minimal 25 MW.

Dadan menekankan bahwa dengan potensi besar untuk penurunan emisi dan pengembangan energi bersih, sinergi antara pemanfaatan energi bersih dan perdagangan karbon dapat menjadi solusi win-win bagi penyediaan energi dan penurunan emisi secara nasional.

“Kita bisa mensinergikan mengoptimalkan pemanfaatan energi bersih sekaligus juga dengan perdagangan karbonnya sehingga ini terjadi win-win solution dari sisi penyediaan energi dan juga dari sisi penurunan emisi secara nasional," ujarnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya