TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pelaku Usaha Ingatkan Dampak Negatif Kemasan Polos Rokok Elektronik

Pemerintah diharap pertimbangkan ulang

ilustrasi vape (pexels.com/kikx bulacan)

Jakarta, IDN Times - Pelaku usaha rokok elektronik menentang Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang mewajibkan kemasan polos tanpa merek.

Aturan itu dianggap bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024, serta berpotensi melemahkan industri, mengurangi pendapatan negara, dan mengancam lapangan kerja, terutama di sektor UMKM.

Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menilai kebijakan tersebut akan mendorong peredaran rokok elektronik ilegal tanpa cukai, yang merugikan industri serta mengurangi penerimaan cukai dan tenaga kerja terkait dengan industri kreatif.

"Kami tidak sepakat dengan aturan ini, mengingat industri rokok elektronik bukan hanya sebagai solusi alternatif menurunkan risiko terhadap adiksi. Ada banyak faktor yang menyertau dalam industri rokok elektronik seperti industri kreatif, content creator, bahan baku, dan lainnya. Pengaturan kemasan yang terlalu ketat akan membatasi inovasi dalam industri kreatif," kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Senin (30/9/2024).

1. Pelaku usaha minta pemerintah mempertimbangkan risikonya

Ilustrasi vape ELFBAR 600V2 (Dok.ELFBAR)

Budiyanto menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi pencegahan. Terlebih, industri rokok elektronik berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan pendapatan negara.

Dengan target pertumbuhan ekonomi nasional delapan persen, menurutnya, industri tersebut bisa berperan penting jika regulasi mendukung keberlanjutan usaha.

Dia berharap pemerintah meninjau ulang aturan yang ada, karena regulasi saat ini justru menghambat pertumbuhan industri rokok elektronik, yang memiliki potensi besar untuk mendukung ekonomi inklusif dan berkelanjutan.

"Industri rokok elektronik memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan. Namun, regulasi yang ada saat ini justru mengancam pertumbuhan industri ini," paparnya.

Baca Juga: Cukai Rokok Gak Naik, Kemasan Polos Rokok Jadi Tantangan IHT pada 2025

2. Pemerintah diharap lebih bijak dalam mengeluarkan aturan

Ilustrasi hukum dan undang-undang (IDN Times/Sukma Shakti)

Praktisi hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hari Prasetiyo menyatakan RPMK seharusnya memperkuat UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan PP 28/2024, bukan bertentangan dengan keduanya.

Dia menilai kebijakan kemasan polos tanpa merek dapat memicu masalah baru, seperti persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Menurutnya, aturan tersebut terkesan dipaksakan tanpa mempertimbangkan risiko, dan pemerintah terlalu fokus pada kemasan polos, tanpa memberikan edukasi yang cukup kepada masyarakat.

"Ini tidak bijak dilakukan pemerintah. Harus ada usaha lebih untuk memastikan edukasi itu sudah cukup disampaikan kepada masyarakat," ujarnya.

3. Kebijakan yang keliru juga berdampak ke pemerintah dan masyarakat

Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)

Hari menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan berdampak pada pelaku usaha, untuk mencegah kerugian bagi pihak yang telah berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan cukai.

Aturan yang tidak berpihak itu justru merugikan masyarakat, terutama pekerja di industri rokok elektronik. Dia juga mengkritik aturan Kemenkes yang justru memperumit situasi, menyebabkan tekanan bagi pelaku usaha dan memicu peredaran rokok ilegal.

"Pelaku usaha tertekan, masyarakat tidak diuntungkan. Siapa yang mau dilayani sebenarnya oleh aturan ini? Cukai terdampak, peredaran rokok ilegal pasti ada. Untuk apa Kementerian Kesehatan membuat peraturan yang merumitkan dirinya sendiri?" kata Hari.

Baca Juga: GAPPRI Apresiasi Pemerintah yang Tidak Naikkan Cukai Rokok pada 2025

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya