Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times - Tren gig economy mulai menjadi sorotan di Indonesia. Itu adalah istilah yang merujuk pada sistem kerja di mana seseorang mengambil pekerjaan jangka pendek atau proyek-proyek lepas (freelance), biasanya melalui platform digital.
Pekerjaan tersebut bersifat fleksibel dan tidak melibatkan kontrak jangka panjang dengan satu pemberi kerja. Pengemudi ojek online (ojol) termasuk dalam gig economy.
Mereka adalah contoh pekerja gig karena bekerja secara independen, tidak terikat oleh kontrak jangka panjang dengan satu perusahaan, dan mendapatkan penghasilan dari setiap pekerjaan (perjalanan) yang mereka selesaikan.
1. Konsep gig economy pada ojol memberikan fleksibilitas
ilustrasi ojek online (IDN Times/Herka Yanis) Ada wacana agar pengemudi ojol menjadi pekerja formal. Hal itu muncul karena adanya dorongan untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pengemudi ojol.
Namun, perubahan status pengemudi ojol menjadi pekerja formal dikhawatirkan akan memengaruhi konsep gig economy, di mana pekerja bekerja berdasarkan proyek atau kebutuhan jangka pendek.
Jika status mereka diformalkan, pengemudi akan seperti pekerja transportasi konvensional, terikat aturan perusahaan dengan upah tetap dan target tertentu. Hal itu akan membuat pengemudi harus mematuhi aturan perusahaan, seperti jumlah penumpang, jam kerja, serta waktu masuk dan pulang.
“Ketika statusnya pekerja, maka bentuk kontraknya bukan sebagai pekerja gig lagi. Mereka akan kehilangan fleksibilitas pekerjaan dan sebagainya,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, dikutip Kamis (18/9/2024).
Baca Juga: Jokowi Minta Hati-hati dengan Tren Gig Economy, Kenapa?
2. Ada konsekuensi yang mungkin terjadi jika ojol jadi formal
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Ilustrasi lalu lintas (IDN Times/Rochmanudin) Pakar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya, Budi Santoso mengatakan, jika pengemudi ojol menjadi pekerja formal, mereka harus siap dengan konsekuensi, seperti hilangnya fleksibilitas kerja, dan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) jika tidak mencapai target atau saat bisnis menurun.
Dia mencontohkan perusahaan kurir yang menerapkan konsep serupa dan melakukan pengurangan karyawan saat bisnis sedang lesu.
"Sudah ada platform yang menerapkan konsep menjadi pekerja formal seperti itu, di perusahaan kurir atau pengantaran barang dan belum lama ini mereka melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah SDM karena bisnisnya sedang turun," tutur Budi.
Jika ojol diformalkan, peluang bagi mereka yang terkena PHK untuk menjadi pengemudi ojol akan lebih sulit karena perusahaan akan meningkatkan persyaratan. Misalnya, batasan usia maksimal.
“Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain,” ujarnya.