TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal Rasio Pajak 23 Persen, Gibran Dinilai Bikin Takut Pengusaha

Pengusaha bakal sangsi berinvestasi di Indonesia

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka saat debat cawapres perdana pada Jumat (22/12/2023). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta, IDN Times - Executive Director Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti target rasio perpajakan 23 persen yang ada di visi misi Capres-Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Peningkatan rasio perpajakan 23 persen itu menjadi salah satu topik di dalam debat cawapres 2024 yang digelar pada Jumat (22/12/2023).

Dalam debat tersebut, Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, bertanya kepada Gibran mengenai target peningkatan rasio pajak 23 persen yang ada dalam visi misinya.

"Jadi Gibran itu belum berhasil mengelaborasi apa saja sebenarnya potensi perpajakan yang ada untuk menerima rasio pajak 23 persen," kata Bhima kepada IDN Times, Selasa (26/12/2023). 

1. Menimbulkan ketakutan pengusaha

ilustrasi bayar pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Bhima pun meyakini, penjelasan yang belum rinci dari Gibran terkait kenaikan rasio pajak 23 persen bisa menimbulkan ketakutan dari kalangan pengusaha.

"Nah pengusaha ini kan sudah wait and see nih karena adanya pemilu, tahun politik ditambah ditakuti rasio pajak tinggi tanpa penjelasan dari mana dasar rasio pajak itu. Nah itu khawatir memang bisa menunda keputusan investasi," tutur dia.

Baca Juga: Sepakat dengan Gibran, Ekonom UI Sebut Hilirisasi Majukan Perekonomian

2. Membentuk badan penerimaan pajak di bawah presiden langsung

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka saat debat cawapres perdana pada Jumat (22/12/2023). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Bhima turut mengomentari ucapan Gibran yang ingin menaikkan rasio pajak dengan membentuk badan penerimaan negara langsung di bawah komando presiden.

Menurut Bhima, pembentukan badan penerimaan negara di bawah presiden langsung tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap.

Satu periode pemerintahan yang berjalan lima tahun pun dinilai Bhima tidak cukup untuk mengoptimalkan kinerja dari badan penerimaan tersebut. Terlebih, jika nantinya ada peleburan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menjadi satu.

"Pembentukan badan penerimaan negara ini bukan waktu yang sebentar ya. Tentu butuh waktu bahkan 3-5 tahun, artinya hanya sibuk memisahkan Kemenkeu dengan DJP dan Bea Cukai itu membutuhkan waktu sangat lama, karena ada berbagai birokrasi yang harus disesuaikan, nomenklatur yang disesuaikan, anggaran pos untuk tiap lembaga juga harus disesuaikan, dan tarik menarik kewenangannya juga pasti kuat sekali," tutur Bhima.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya